![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXe6cE5joXeZVBp_W4gT-B8GNGaC4pCj24fe6EPU-A0ocLl2CfiOIVwyRH25eySCa_0hVAJi91PsX8CuCmVWQOQRH1g2versj7vFpHVTX0Q1VFFfBA8zBJI3EBxD9aOjzaxXaedYBNstmf/s200/CG3C27.png)
Dalam menjelaskan
ilmu, Abil Hadid menuliskannya demikian: ”Ali bin Abi Thalib adalah sumber dan
mata air ilmu. Semua ilmu berujung kepadanya dan dia adalah penghulu ulama.”
Salah satu ilmunya
yang paling mulia adalah ilmu Ilahi yang bersumber dari ucapan Imam Ali (sa).
Mazhab Mu’tazilah
mengambil ilmunya dari Washil bin Atha’ dan dia adalah murid Abu Hasyim, dan
Abu Hasyim adalah murid Muhammad bin Hanafi, dan Muhammad mengambil ilmunya
dari ayahnya yang bernama Ali bin Abi Thalib.
Mazhab Asy’ariyah
dinisbatkan kepada Ismail bin Abi Baysar Asy’ari murid Abu Ali Jubai. Nama
terakhir merupakan salah seorang pemuka Mu’tazilah. Maka, Asy’ariyah akhirnya
juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Adapun penisbatan ilmu Ilahi Mazhab
Imamiyah dan Mazhab Zaidiyah kepada Ali bin Abi Thalib adalah suatu perkara
yang jelas.
Dalam ilmu fikih, Ali
merupakan sumber dan mata air. Semua ahli fikih adalah murid beliau dan
menggunakan fikihnya. Para sahabat Abu Hanifah, seperti Yusuf, Muhammad, dan
orang-orang lainnya dalam fikih adalah murid Abu Hanifah. Syafi’i juga belajar
fikih dari Muhammad bin Hasan. Maka, fikih Syafi’i, pada akhirnya, juga
berujung kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah dalam fikih juga belajar dari Ja’far
bin Muhammad sementara ilmu Imam Ja’far Ash-Shadiq berasal dari ayahnya yang melalui
jalur ini berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa).
Malik bin Anas dalam
ilmunya adalah murid Rabiah ar-Ra’yu sedangkan Rabiah adalah murid Akramah.
Akramah sendiri adalah murid Abdullah bin Abbas sementara Ibnu Abbas adalah
murid Ali bin Abi Thalib. Adapun marja’iyah fikih Imam Ali (sa) bagi umat Syiah
adalah suatu perkara yang jelas.
Umar bin Khattab dan
Abdullah bin Abbas adalah di antara para ahli fikih yang belajar dari ilmu Ali.
Ibnu Abbas adalah murid Imam Ali tiada yang meragukan dan tidak lagi memerlukan
saksi. Dalam kaitan dengan Umar, semua mengetahui bahwa dalam menyelesaikan
problema dan kesulitan, di banyak kesempatan, ia merujuk kepada Ali. Dalam
kaitan ini, Umar berkata, “Seandainya tidak ada Ali, Umar pasti celaka.” Ia
juga berkata, “Aku tidak akan dapat tenang jika tidak ada Abul Hasan (Ali).” Ia
juga berkata: “Tidak seorang pun memberikan fatwa di masjid sementara Ali
berada di situ.” Maka, adalah jelas fikih berujung kepada Imam Ali (sa).
Ammah dan Khassah
mengutip dari Rasulullah saw yang berkata, “Aqdhakum Ali,” sementara qadha
adalah fiqih. Oleh karena itulah, Imam Ali (sa) merupakan orang yang paling
paham tentang fikih dibanding yang lain.
Begitu juga,
masyarakat umum dan khusus meriwayatkan bahwa ketika mengutus Ali ke Yaman
untuk mengadili suatu urusan, Nabi saw bersabda, “Ya Allah! Berilah petunjuk
kepada hatinya dan tetapkanlah lisannya.” Imam Ali berkata, “Setelah itu dan
berkat doa itu, aku tidak pernah ragu dalam memberikan keputusan dalam
pengadilan.”
Ilmu tafsir juga
berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa). Apabila kita membaca kitab-kitab
tafsir, kita akan melihat bahwa sebagian besar persoalan dikutip dari beliau
atau dari ibnu Abbas yang merupakan murid beliau. Dikatakan kepada ibnu Abbas,
“Bagaimana perbandingan ilmumu dengan ilmu Ali (sa).” Dia berkata,
“Perbandingannya adalah ibarat setetes air hujan di hadapan samudra.”
Ilmu tarekat,
hakikat, dan irfan juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib (sa). Ulama irfan di
semua negeri Islam menisbatkan dirinya kepada Imam Ali (sa), seperti Syibli,
Junaid, Abu Yazid Basthami, dan Abu Mahfudz yang dikenal dengan nama Karlhi.
Mereka menjelaskan sebuah persoalan dengan sanad yang menisbatkan dirinya
kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa).
Ilmu nahwu (tata
bahasa) dan bahasa Arab juga dinisbatkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa).
Imam Ali-lah yang mengajarkan kaidah-kaidah pokok dan universal ilmu ini kepada
Abul Aswad Ad-Duwali. Di antaranya, beliau mengatakan kepada Abul Aswad
mengenai kalam (kata) terbagi menjadi tiga: ism (kata benda), fi’il (kata
kerja), dan huruf (preposisi). Beliau juga mengatakan mengenai Ism makrifah
(definitive) atau nakirah (indefinitif). Selain itu, beliau mengatakan bahwa
i’rab ada empat macam: rafa’, nashab, jar, dan jazam.
Ucapan Imam Ali (sa) ini
bagaikan mukjizat karena mengklasifikasi ‘kata’ untuk manusia biasa adalah
tidak mungkin. (Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 1, hlm 17-20)
Tentang ketinggian
ilmu Imam Ali (sa) secara detail, silahkan membaca kitab Nahjul Balaghah.
Menurut kesaksian para cendekiawan, setelah Al-Quran, kitab ini adalah kitab
ilmiah yang paling kaya. Kita juga dapat merujuk kepada ratusan, bahkan ribuan
hadis yang ada di berbagai bidang, yang dikutip dari Imam Ali (sa) dan tercatat
dalam kitab-kitab hadis.
Telah masyhur di
kalangan ulama, khususnya ulama sufi bahwa Rasulullah saw menerima ilmu
makrifat Allah swt kemudian diajarkan secara khusus kepada Imam Ali (sa).
Sepanjang masa risalahnya, secara berkesinambungan Rasulullah saw mengamalkan
ilmu ini. Dengan bantuan Ilahi dan pengawasan Rasulullah saw, Ali menghafal
semua ilmu ini. Lalu atas pesan dan perintah Rasulullah saw, beliau
menuliskannya bagi para imam sesudahnya dari keturunannya. Dengan cara inilah,
telah tersedia kitab-kitab sehingga Imam Ali (sa) dapat dikategorikan sebagai
penyimpan ilmu nubuwah dan pintu ilmu Rasulullah saw.
Rasulullah saw
berkali-kali memuji kedudukan ilmu Ali (sa). Di antaranya dalam sebuah hadis,
beliau bersabda: ”Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barangsiapa
yang menghendaki ilmu, ia harus memasukinya melalui pintunya.” (Mustadrak
Al-Hakim, jilid 3, hlm 127)
Para sahabat
Rasulullah saw mengakui kedudukan ilmu Imam Ali (sa), khususnya dalam urusan
pengadilan. Abu Hurairah mengutip dari Umar bin Khatab bahwa dalam urusan
pengadilan, Ali adalah yang paling alim daripada yang lain. (Tabaqat Ibn Sa’ad,
jilid 2, hlm 339)
Sua’id bin Musabbab
mengatakan: “Umar senantiasa berlindung kepada Allah dari problema jikalau Abul
Hasan (Ali) tidak berada di sana.” (Tabaqat Ibn Sa’ad, jilid 2, hlm 339)
Al-Qomah mengutip
dari Abdullah, ia berkata: “Di antara kami dikatakan, Ali bin Abi Thalib, dalam
urusan pengadilan, adalah lebih berilmu daripada semua warga Madinah.” (Tabaqat
Ibn Sa’ad, jilid 2, hlm 338)
Aban bin Ayyas
berkata: “Aku bertanya kepada Hasan Al-Bashri tentang Ali (sa). Ia mengatakan:
“Apa yang harus aku katakan tentangnya? Dia paling dahulu dalam memeluk Islam.
Keutamaan ilmu serta fikih dan pandangannya tiada tertutup bagi siapa pun. Ia
selalu bekerjasama dengan Rasulullah saw. Keberanian, zuhud, serta
pengenalannya dengan persoalan pengadilan dan kekeluargaannya dengan Rasulullah
saw tak dapat dipungkiri.” (Syarah Nahjul Balagahah, Ibn Abil Hadid, jilid 4,
hlm 96)
Ibnu Abbas mengatakan
: “Ilmu Rasulullah saw berasal dari ilmu Allah dan ilmu Ali berasal dari ilmu
Rasulullah saw; ilmuku dari ilmu Ali; ilmuku dan para sahabat lainnya dibanding
dengan ilmu Ali adalah seperti setetes air di hadapan tujuh lautan.” (Yanabi’
Al-Mawaddah, hlm 80)
Ibnu Abbas mengatakan
: “Setiap kali ada orang yang dapat dipercaya untuk mengutip fatwa adalah Ali
(sa). Maka, kami tidak berani mendahuluinya.”(Thabaqat Ibn Sa’ad, jilid 2, hlm
348)
Udzainah Abdi
mengatakan: “Aku bertanya kepada Umar mengenai menunaikan Umrah. Dari mana aku
mesti memulai ihram?” Ia menjawab: “Tanyalah kepada Ali!” (Dzahairul Uqba, hlm
79)
Abu Hazim berkata:
“Seorang lelaki datang menjumpai Muawiyah dan menanyakan suatu persoalan. Dalam
jawabannya, Muawiyah berkata: “Tanyalah kepada Ali sebab dia adalah yang paling
alim.” Lelaki itu berkata, “Jawabanmu lebih baik di sisiku daripada jawaban
Ali.” Muawiyah berkata: “Engkau berkata buruk! Engkau menyatakan kebencian
terhadap seseorang yang Rasulullah telah ajarkan kepadanya ilmunya, beliau bersabda:
“Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, kecuali sesudahku
tidak akan ada nabi.” Umar pun dalam menyelesaikan persoalan merujuk kepada
Ali.” (Dzahairul Uqba, hlm 79)
Imam Ali (sa) adalah
ahli ibadah yang paling tinggi derajatnya di zamannya, baik dari segi kuantitas
ataupun kualitas ibadah, yakni keikhlasan, perhatian atau kosentrasi hatinya,
dan penyaksian terhadap Allah swt.
Imam Ali bin Abi
Thalib (sa) berkata: “Sekelompok manusia beribadah dengan harapan mendapatkan
pahala dan ganjaran. Inilah ibadah para pedagang. Sekelompok lainnnya beribadah
karena takut kepada siksa. Inilah ibadah para budak. Sekelompok orang beribadah
untuk bersyukur kepada Allah. Inilah ibadah orang-orang yang bebas.” (Bihârul
Anwâr, jld 41, hlm 14)
Imam Ali (sa) juga
berkata : “Ya Allah! Aku tidak menyembah-Mu karena takut terhadap siksa dan
rakus terhadap pahala, melainkan karena melihat Engkau pantas disembah.”
(Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 14)
Seseorang datang
kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa) dan berkata : “Apakah engkau melihat Allah
sehingga engkau menyembah-Nya?” Beliau berkata, “Celaka Engkau! Aku tidak akan
menyembah Tuhan yang aku tidak lihat?” Orang itu bertanya, “Bagaimana engkau
melihat-Nya?” Imam menjawab, “Mata kasar tidak dapat melihat Allah, melainkan
mata hati yang melihat-Nya dengan dasar hakikat iman.” (Bihârul Anwâr, jld 41,
hlm 16)
Qusyairi menulis :
“Tatkala waktu shalat telah tiba, warna wajah Imam Ali bin Abi Thalib (sa)
berubah dan tubuhnya bergetar. Imam ditanya, “Mengapa keadaan Anda berubah
seperti ini?” Beliau berkata, “Tiba saat menunaikan amanah yang diberikan Allah
terhadap langit, bumi, dan gunung dan semuanya menolak. Namun, manusia yang
lemah menerimanya. Aku takut, apakah dapat menunaikan amanah ini atau tidak?”
(Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 17)
Imam Ali Zainal
Abidin (sa) membaca sebuah buku yang mencatat ibadah Imam Ali lantas beliau
menaruh buku itu di atas meja dan berkata : “Siapakah yang mampu beribadah
seperti Ali?” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 17)
Ibn abbas mengatakan:
“Dua unta dihadiahkan kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah berkata kepada
para sahabat, “Aku akan menghadiahkan salah satu unta ini kepada orang yang
melaksanakan shalat dua rakaat dengan konsentrasi hati yang penuh sehingga
selama dua rakaat itu, ia sama sekali tidak memikirkan urusan duniawi.” Dalam
hal ini, tiada seorang pun yang sanggup kecuali Ali. Kemudian Rasulullah
menghadiahkan kedua unta itu kepada Ali.” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 18)
Habbah Arani berkata
: “Suatu malam, aku dan Nauf tidur di halaman Darul Imarah. Di sini, kami
menyaksikan Imam Ali (sa) seperti manusia yang dalam keadaan gundah dan
gelisah. Ia meletakkan tangannya di dinding seraya membaca ayat, Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan seterusnya dengan diulang-ulangi dan
berjalan seperti manusia gila. Imam berkata kepadaku, “Wahai Habbah! Apakah
kamu tidur atau terjaga?” Aku menjawab, “Aku terjaga. Kalau Anda berbuat
demikian, lalu apa yang harus kami lakukan?” Imam Ali mulai menangis dan
berkata : “ Wahai Habbah! Allah lebih dekat kepada kita daripada urat leher.
Tiada sesuatu pun yang membatasi kita dari Allah.”
Kemudian, beliau
berkata kepada Nauf : “Barangsiapa yang meneteskan air mata lantaran takut
kepada Allah maka dosa-dosanya akan diampuni. Wahai Nauf! Barangsiapa yang
menangis karena takut kepada Allah dan cinta serta kebenciannya hanyalah karena
Allah maka tiada seorang pun yang dapat mencapai kedudukannya. Wahai Nauf!
Barangsiapa yang kecintaannya di jalan Allah maka tidak akan melebihkan
kecintaan yang lain di atas kecintaannya itu dan barangsiapa yang kebenciannya
di jalan Allah maka kebenciannya tidak berada di jalan kepentingan pribadi.
Maka dengan cara inilah, hakikat keimanannya menjadi sempurna.”
Kemudian beliau
menasehati kedua orang itu dan di bagian akhir, beliau berkata: “Takutlah
kepada Allah!” Kemudian ia bergerak dan berkata, “Ya Allah! Aku tidak tahu
apakah Engkau berpaling dariku atau Engkau menyayangiku? Andai saja aku tahu,
dalam kondisi lalai yang panjang dan sedikitnya syukur ini, bagaimana
keadaannku!”
Habbah berkata: “Demi
Tuhan! Beliau dalam kedaan seperti itu hingga terbit fajar.” (Bihârul Anwâr,
jld 41, hlm 22)
Malam hari ketika
berdiri di mihrab ibadah, Imam Ali memegang janggutnya dan seperti orang yang
tersengat ular, ia berputar dan menangis tersedu-sedu seraya berkata, “Wahai
Dunia! Menjauhlah dariku! Apakah engkau datang kepadaku? Bukan saatnya untukmu!
Lihat! Tipulah selain aku! Aku tidak memerlukan kamu! Aku menceraikanmu tiga
kali! Kehidupanmu pendek dan nilaimu sedikit sementara harapanku terhadapmu
sedikit.”
Muawiyah
kepada Dhirar bin Dhamrah berkata: “Sifatilah Ali untukku!” Dhirar berkata,
“Aku menyaksikan Ali di beberapa tempat dalam kegelapan berkata, “Oh, betapa
sedikitnya bekal, jauhnya perjalanan, besarnya tujuan, dan sulitnya kedudukan.”
(Bihârul Anwâr, jld 40, hlm 340)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar