![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgT_C4TUHOYeSOaIcrZp95rC7Z-vK7I2i2EX1le-Zb-u4bQ4iT8gOZS-eJL_qKdBrhg7HIcsTlB9NNjn6eCFZO8ovy2dF-0FT3OicTzXhVQ2y364eICS8bDUGcc8DM1HcomAcgI5XQglbKf/s200/imamah.jpg)
Selain itu, untuk menerangkan kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan, al-takamul wa al-saadah, sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia. Oleh karena itu sesudah Nabi Muhammad saw pasti ada seorang imam untuk setiap masa.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar,
al-shadiqin." (Q. S. al-Taubah: 119)
Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja,
tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalam
barisan aorang-orang benar, al-shadiqin, pertanda adanya imam maksum yang harus
diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir Sunni
dan Syi'ah terhadap makna ayat ini.
Hakikat Imamah
Imamah bukan sekedar jabatan politik atau
kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai jabatan spritual yang sangat tinggi.
Selain menyelenggarakan pemerintahan Islam, Imam bertanggung jawab membimbing
umat manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran
dan rohani masyarakat. Memelihara syariat Nabi Muhammad saw agar tidak
menyimpang atau berubah serta memperjuangkan tercapainya tujuan pengutusan Nabi
Muhammad saw.
Jabatan tinggi ini diberikan Allah kepada Nabi
Ibrahim as setelah Ibrahim melewati fase kenabian dan risalah, dan setelah
lulus dari sejumlah ujian berat. Ibrahim as. meminta kepada Allah agar jabatan
ini diberikan juga kepada sebagian keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada
Ibrahim bahwa orang-orang zalim dan para pendosa tidak akan mencapai posisi
ini.
Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh
Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu ia menyempurnakannya. Tuhan berkata
kepadanya: "Aku angkat engkau sebagai imam bagi umat manusia."
Ibrahim berkata: "Berikan pula kepada keturunanku.". Tuhan berkata:
"Jabatan-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang zalim." (Q. S.
al-Baqarah: 124)
Jelas sekali bahwa kedudukan nan tinggi ini
tidak dapat diterjemahkan sebagai jabatan pemerintahan formal. Dengan demikian,
jika imamah tidak diterjemahkan sebagaimana yang telah digambarkan di atas,
maka ayat di atas tidak mempunyai pengertian yang jelas.
Para nabi utama, ulul-azmi, terutama Nabi
Muhammad saw, adalah sekaligus sebagai imam-imam yang memiliki otoritas
kepemimpinan spritual ruhaniah dan kepemimpinan formal material. Dengan
demikian, Nabi Muhammad saw tidak sekedar menyampaikan ajaran Tuhan, tapi
sekaligus memimpin umat manusia, dan jabatan imamah ini diberikan kepada Nabi
saw sejak awal kenabiannya.
Dalam hal ini garis imamah sesudah Rasulullah
saw dilanjutkan oleh orang-orang suci dari zuriyatnya, keturunannya.
Dari batasan di atas mengenai imamah tampak
bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat,
baik dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, terpelihara dari
perbuatan-perbuatan dosa, maupun dari sisi ilmu dan pengetahuan yang mencakup
seluruh bidang pengetahuan dan aturan agama serta pengetahuan tentang manusia
dan kebutuhannya untuk setiap zaman.
Keterpeliharaan Imam dari Dosa dan
Kesalahan
Seorang imam wajib bersifat ma'shum,
terpelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan, karena, disamping makna ayat di
atas, seorang yang tidak maksum tidak dapat dipercaya sepenuhnya untuk diambil
darinya prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Oleh karena itu meyakini
bahwa ucapan seorang imam maksum, perbuatan, dan persetujuannya, adalah hujjah
syar'iyyah, kebenaran agama, yang mesti dipatuhi.
Yang dimaksud dengan persetujuan imam maksum
atau taqrir al-Ma'shum ialah sang imam tidak menegur suatu perbuatan yang
berlangsung di hadapannya, bahkan membiarkannya saja.
Imam Pemelihara Agama
Dalam hal ini seorang imam tidak membawa
syariat baru. Kewajibannya hanyalah menjaga agama Islam, memperkenalkannya,
mengajarkannya, menyampaikannya, dan membimbing manusia kepada ajarannya yang
luhur. Imam Orang Paling Tahu tentang Agama Seorang imam harus menguasai dan
memiliki pengetahuan yang utuh terhadap semua pokok agama Islam,
cabang-cabangnya, hukum, peraturan, dan tafsir Alquran. Pengetahuan ini
bersifat rabbani, suci dan didapat dari Nabi saw, supaya sang imam mendapat
kepercayaan penuh dari umat dan dapat diandalkan dalam memahami hakikat Islam.
Nash atas Imam
Seorang imam, penerus Rasulullah saw, harus
ditetapkan melalui nash atau pengangkatan yang jelas oleh Rasulullah saw atau
oleh imam sebelumnya. Dengan kata lain, seorang imam, seperti halnya Nabi saw,
ditetapkan oleh Allah swt, tetapi melalui Nabi saw, sebagaimana tertera di
Alquran dalam pengangkatan Ibrahim sebagai imam:
Sesungguhnya Aku mengangkatmu sebagai imam
bagi umat manusia. (Q. S. al-Baqarah: 124)
Dalam pada itu, penentuan tingkat taqwa, bahwa
seseorang telah mencapai tingkat ishmah dan telah mencapai tingkat pengetahuan
seluruh hukum dan ajaran Allah swt tanpa ada kesalahan sedikitpun tidak dapat
dilakukan kecuali oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, penentuan bahwa
seseorang telah memenuhi sifat ishmah datangnya dari Rasulullah saw.
Dengan demikian, keimamam para imam maksum
tidak diperoleh melalui pemilihan rakyat.
Penetapan para Imam oleh Nabi saw
Dalam hal ini Nabi Muhammmad saw lah yang
telah menetapkan para imam sesudahnya, sebagaimana yang telah dilakukannya
dalam hadits populer al-tsaqalain. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa suatu
hari Nabi berpidato di sebuah oase yang bernama Khum, terletak antara Mekkah
dan Madinah. Nabi saw bersabda:
…Aku hanyalah seorang manusia, yang jika
utusan tuhanku datang kepadaku akan kupenuhi. Aku tinggalkan pada kalian dua
pusaka yang berat. Pertama, kitab Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan
cahaya. (Kedua) Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku.
Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah
tentang Ahlubaitku. (Shahih Muslim, 4: 1873)
Hadits yang sama juga diriwayatkan dalam
Shahih Turmuzi. Bahkan pada Shahih Turmuzi terdapat pernyataan tegas Nabi saw
yang mengangkat imam sesudahnya dari lingkungan keluarganya. Demikian pula
hadits-hadits yang diriwayatkan dalam Sunan al-Darimi, Khasaish al-Nasai,
Musnad Ahmad, dan sumber-sumber utama Islam terkenal lainnya.
Hadits Tsaqalain atau hadits Dua Pusaka ini
sedikitpun tidak dapat diragukan kebenarannya, oleh siapa saja, karena ia
termasuk hadits mutawatir yang tidak dapat diingkari atau dipersoalkan
kebenarannya oleh seorang Muslim. Dalam pada itu, dari sekian riwayat dapat
dilihat betapa Nabi saw telah mengulangi hadits ini berkali-kali dan diberbagai
tempat yang berbeda.
Tentu saja tidak semua kerabat Nabi memangku
jabatan tinggi ini, sebagai pendamping Alquran. Dengan demikian, maka yang
dimaksud hanyalah para imam maksum dari zuriyat Rasul saw.
Dalam pada itu, perlu disebutkan di sini bahwa
dalam beberapa riwayat terdapat redaksi "Sunnati" atau Sunnahku
sebagai ganti dari redaksi "Ahlubaiti", Ahlubaitku. Akan tetapi
riwayat ini dhaif, diragukan kebenarannya, dan tidak dapat diandalkan.
Pada sisi lain, terdapat hadits lain yang
populer dan sahih, yang diriwayatkan oleh banyak kitab hadits utama seperti
Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal, bahwa Nabi saw
bersabda:
"Agama ini akan terus tegak hingga
datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam)
semuanya berasal dari suku Quraisy."
Dengan demikian tidak ada tafsiran yang paling
tepat berkaitan dengan dua belas Imam yang dimaksud nabi pada hadits di atas
kecuali apa yang diyakini kaum Syi'ah Imamiyyah. Ya, apakah ada tafsiran lain
yang lebih tepat? Tidak ada.
Pengangkatan Nabi terhadap Ali
Nabi Muhammad saw, atas perintah Allah, telah
menunjuk dan mengangkat Ali as sebagai khalifah sesudahnya. Ia lakukan itu
berkali-kali dan dalam berbagai kesempatan yang berbeda. Di Ghadir Khum, dekat
dengan Juhfah, misalnya, Nabi membacakan khutbahnya yang sangat populer di
depan para sahabatnya, sepulangnya dari menunaikan Haji Wada. Nabi berkata:
Wahai orang-orang! Bukankah aku lebih utama
atas dirimu daripada kamu sendiri? Mereka berkata: "Betul". Nabi
melanjutkan: "Barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya, maulahu, maka Ali
adalah pemimpinnya.
Dengan demikian adalah mustahil melewati
hadits di atas begitu saja atau menafsirkannya sebatas pada cinta kepada Ali,
padahal Nabi saw begitu memperhatikan masalah ini.
Bukankah hadits di atas sesuai dengan apa yang
diriwayatkan Ibn al-Atsir dalam kitabnya al-Kamil bahwa di awal kenabiannya, atas perintah
Allah:
Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu
(Q. S. al-Syuara: 214)
Nabi Muhammad saw mengumpulkan segenap
keluarganya dan menawarkan kepada mereka agama Islam. Pada kesempatan itu Nabi
berkata: Siapakah di antara kamu yang bersedia membantuku dalam urusan ini
sehingga ia menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu. Tidak seorang
pun yang menyambutnya kecuali Ali yang berkata kepada Nabi saw: Aku wahai Nabi
Allah yang akan membantumu. Kemudian Nabi berkata: Inilah (Ali) saudaraku,
washiku, dan khalifahku pada kamu.
Bukankah ini pula yang diinginkan Rasulullah
saw pada saat-saat terakhir kehidupannya, sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari
bahwa Rasulullah saw berkata: "Bawakan aku kertas supaya aku tuliskan buat
kamu wasiat yang dengannya kamu tidak akan sesat sesudahku nanti." Tapi
sayang, sebagian menentang penulisan wasiat ini, mencegah Nabi melakukannya,
bahkan mengucapkan kalimat-kalimat yang merendahkan Nabi saw.
Penegasan Tiap Imam atas Imam
Sesudahnya
Dalam mazhab ahlul bait meyakini bahwa setiap
imam dari dua belas imam telah diangkat dengan tegas, nash, oleh imam
sebelumnya. Imam pertama adalah Ali Ibn Abi Thalib, kemudian secara
berturut-turut, (2) Hasan Ibn Ali al-Mujtaba, (3) Husain Ibn Ali
Sayyidus-syuhada, penghulu para syuhada, (4) Ali Ibn Husain, (5) Muhammad Ibn
Ali al-Baqir, (6) Ja'far Ibn Muhammad al-Shadiq, (7) Musa Ibn Ja'far, (8) Ali
Ibn Musa al-Ridha, (9) Muhammad Ibn Ali al-Taqi, (10) Ali Ibn Muhammad al-Naqi,
(11) Hasan Ibn Ali al-Askari, dan terakhir, (12) Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi.
Kami meyakini bahwa Imam Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi masih hidup.
Keyakinan kepada Imam Mahdi yang akan memenuhi
dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kekejaman tidak
terbatas pada kaum Syiah saja, tetapi seluruh kaum Muslimin. Untuk itu banyak
ulama Ahlu-sunnah yang menulis buku tentang kemutawatiran hadits-hadits tentang
Imam Mahdi ini. Bahkan Rabitah Alam Islami pernah mengeluarkan risalah yang
menyatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi merupakan urusan musallammat dalam agama
atau sesuatu yang tidak dapat ditolak kebenarannya. Rabitah mengutip banyak
hadits Nabi tentang al-Mahdi dari kitab-kitab utama. Hanya saja, sebagian ulama
Ahlu-sunnah percaya bahwa al-Mahdi yang dimaksud baru akan lahir di akhir
zaman, sementara Syi'ah meyakini bahwa al-Mahdi yang dimaksud adalah imam kedua
belas, masih hidup, dan akan muncul dengan izin Allah untuk menegakkan keadilan
dan mengadili para tiran.
Ali Sahabat Utama
Ali adalah sahabat Nabi paling utama.
Kedudukannya dalam Islam langsung di bawah Nabi saw. Pada saat yang sama
menganggap bahwa sikap ghuluw, berlebih-lebihan kepada Ali haram hukumnya.
Dalam pada itu meyakini bahwa menganggap Ali sebagai Tuhan atau dekat dengan
anggapan itu kafir hukumnya dan keluar dari barisan Muslimin. Aqidah Islam
mazhab ahlul bait berlepas diri dari orang dan aqidah semacam itu. Tapi sayang,
sebagian pihak terjebak dalam kekeliruan, sehingga menyamaratakan Syi'ah dengan
kelompok-kelompok menyimpang ini, padahal ulama-ulama Syi'ah justeru menganggap
kelompok ini keluar dari Islam.
Sahabat di Hadapan Hukum Akal dan
Sejarah
Di antara Sahabat Nabi terdapat
pribadi-pribadi agung yang telah disebutkan keutamaannya oleh Alquran dan
Sunnah. Akan tetapi tidak berarti bahwa semua Sahabat tidak ada yang salah atau
perbuatan-perbuatan mereka benar semuanya tanpa kecuali. Pada banyak ayat
Alquran, terutama pada surat al-Baraah, al-Nur, dan al-Munafiqin, Alquran
bercerita tentang kaum munafik yang nota bene adalah sebagian Sahabat itu
sendiri, dan mengecam mereka dengan keras, meskipun mereka adalah Sahabat Nabi
saw. Selain itu, terdapat pula di antara Sahabat Nabi yang telah menyulut api
sehingga terjadi peperangan sesama kaum Muslimin sesudah wafat Nabi saw,
melanggar baiat yang telah diberikan kepada khalifah, dan menumpahkan darah
ribuan kaum Muslimin. Apakah pantas orang-orang seperti itu dianggap bersih dan
suci?
Dengan kata lain, bagaimana mungkin dapat
memutuskan kedua belah pihak yang terlibat percekcokan, misalnya pihak-pihak
yang terlibat dalam perang Jamal dan Siffin, bahwa semuanya benar? Sungguh
keputusan yang kontradiktif dan tidak dapat diterima. Adapun alasan pihak yang
dapat menerima sikap kontradiktif ini, yang merujuk kepada persoalan ijtihad,
bahwa memang ada yang benar dan ada yang salah, akan tetapi karena kedua-duanya
telah mengamalkan ijtihad, maka yang keliru sekalipun, tetapi mendapat pahala,
karena ia telah melakukan ijtihad. Sedangkan kekeliruannya, dimaafkan. Cara
berpikir seperti ini tidak dapat diterima.
Bagaimana mungkin kita dapat membenarkan
seseorang yang melanggar baiatnya kepada khalifah Rasulullah dengan alasan
ijtihad, tapi kemudian sengaja menyulut api peperangan dan menumpahkan darah
orang-orang salih? Jika dosa penumpahan darah dapat dimaafkan karena alasan
ijtihad, itu berarti semua perbuatan dosa dapat dimaafkan karena alasan
ijtihad.
Dengan terus terang bahwa seorang manusia,
meskipun sahabat Nabi, tergantung pada amalnya, sesuai prinsip Alquran yang
menyatakan:
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi
Allah adalah yang paling bertaqwa. (Q. S. al-Hujurat: 13)
Berdasarkan hal ini, maka untuk menentukan
kualitas sahabat, kita juga harus mengukurnya dari amal perbuatan mereka,
supaya keputusan yang kita ambil logis dan dapat diterapkan pada semuanya.
Dengan demikian, maka siapa saja di antara
sahabat Nabi yang selama bersama Nabi ikhlas dan terus dalam garis ini dalam
menjaga Islam dan kesetiaan kepada Alquran sesudah wafatnya, maka sahabat
tersebut adalah seorang yang salih. Tetapi Sahabat yang munafiq di zaman Rasul
dan selalu mengganggu Rasul atau berubah sesudah Nabi meninggal dunia, dan yang
telah merugikan Islam dan kaum Muslimin, tentu tidak akan kami cintai
sedikitpun. Allah berfirman:
Engkau takkan mendapatkan suatu kaum yang
beriman kepada Allah dan hari akhir mencintai orang-orang yang menentang Allah
dan rasul-Nya, meskipun mereka adalah orang-orang tua mereka sendiri, anak-anak
mereka, saudara-saudara mereka, atau keluarga dekat mereka. Mereka adalah
orang-orang yang telah ditetapkan iman oleh Allah dalam hati mereka. (Q. S.
al-Mujadalah: 22)
Ya, orang-orang yang menentang atau mengganggu
Rasul, baik pada masa hidupnya atau sesudah wafatnya, sedikitpun tidak pantas
mendapat pujian atau penghormatan.
Tetapi tidak boleh lupa bahwa sejumlah sahabat
Nabi telah berjuang habis-habisan untuk menyebarkan agama Islam sehingga Allah
memuji mereka dan memuji para penerus mereka, tabiin, yang mengikuti jalan para
Sahabat yang salih; pujian yang juga diberikan kepada siapa saja berjalan di
jalan yang lurus hingga hari akhir.
Para pemeluk Islam awal-awal sekali,
al-sabiqun al-awwalun, dari golongan Muhajirin dan Anshar dan para pengikut
mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada
Allah. (Q. S. al-Taubah: 100)
Ilmu Imam-imam Ahlubait Berasal
dari Nabi
Dalam hal ini ucapan para imam, perbuatan, dan
taqrir, mereka, yang dapat dilihat dari tidak adanya teguran mereka terhadap
suatu perbuatan yang berlangsung di hadapan mereka, adalah hujjah, kebenaran
yang harus diikuti, dan merupakan sanad, pegangan bagi kami, karena Nabi saw,
sebagaimana hadits mutawatir, telah memerintahkan agar kita berpegang teguh
kepada kitab Allah dan keluarganya. Di samping itu, mereka adalah orang-orang
suci, ma'shum, yang telah diselamatkan Allah dari perbuatan dosa dan kesalahan.
Karena itu, maka salah satu sumber fiqh kami, setelah Alquran dan Sunnah Nabi,
ialah ucapan para imam dari Ahlubait, perbuatan, dan taqrir mereka.
Jika diperhatikan bahwa para Imam as itu hanya
menukil haditsnya dari nenek moyang mereka hingga ke Rasulullah saw, maka
hadits-hadits mereka sesungguhnya adalah hadits-hadits Rasulullah saw juga. Dan
kita tahu bahwa periwayatan oleh seorang tsiqah, yang dapat dipercaya, diterima
oleh seluruh ulama Islam.
Imam Muhammad Ibn Ali al-Baqir berkata kepada
Jabir: Jabir, jika yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah pandangan kami
sendiri dan dilandasi hawa nafsu, maka kami akan celaka. Tapi ketahuilah, yang
kami ucapkan kepada kalian itu adalah hadits-hadits Rasulullah saw.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa seseorang
bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq tentang suatu masalah dan Imam meberikan
jawabannya, namun orang itu kemudian bertanya lagi: "Bagaimana jika
masalah ini begini dan begitu, apa pendapatmu?" Imam berkata: "Ketahuilah!
Tidak satu jawaban pun yang kuberikan kepadamu kecuali dari Rasulullah saw.
Kami sama sekali bukan termasuk dalam kelompok orang yang dapat ditanya
"Apa pendapatmu".
Dalam pada itu, kitab-kitab hadits utama yang
terdapat dalam mazhab ahlul bait yang dipercayai validitasnya, seperti al-Kafi,
al-Tahzib, al-Istibshar, dan Man La Yahdurhul-faqih. Akan tetapi tidak berarti
bahwa menerima begitu saja seluruh riwayat yang disebutkan dalam kitab-kitab
tersebut, karena, selain kitab-kitab hadits, juga mempunyai kitab-kitab rijal
yang berfungsi mengungkap keadaan para perawi pada semua level sanad. Jika para
perawinya, pada semua level sanad, dapat dipercaya, tsiqat, maka hadits
tersebut dapat diterima. Tapi jika tidak, akan ditolak. Dengan demikian, hadits
baru dapat diterima jika riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab utama
tersebut, jika ia memenuhi kriteria di atas.
Selain itu, boleh jadi ada riwayat yang dari
segi sanad dapat dikatagorikan sebagai riwayat mu'tabarah, dapat diterima,
tetapi karena ada cacat-cacat lain pada riwayat tersebut, para ulama dan fuqaha
mazhab ahlul bait, dari dahulu hingga sekarang, mengabaikannya. Riwayat semacam
ini dinamakan riwayat mu'radh anha atau riwayat yang diabaikan, dan sudah
barang tentu tidak mendapat tempat.
Dari sini tampak bahwa jika seseorang ingin
mendapat keterangan tentang aqidah mazhab ahlul bait, atau kaum Syi'ah, maka
sangat keliru sekali jika hanya bersandarkan pada sebuah atau beberapa riwayat
yang terdapat pada buku-buku tersebut tanpa melakukan penelitian sanadnya.
Dengan kata lain, pada sebagian mazhab Islam,
terdapat kitab-kitab hadits yang disebut al-sihah. Para penyusunnya tidak ragu
sedikitpun mengkatagorikan seluruh riwayat yang terdapat pada kitab-kitab
tersebut sahih. Demikian pula anggapan lainnya. Namun tidak demikian sikap Syiah
terhadap kitab-kitab muktabarahnya. Kitab-kitab itu memang betul disusun oleh
orang-orang tsiqat, dapat dipercaya, akan tetapi untuk menentukan kesahihan
hadits-haditsnya harus dikembalikan ke Ilm al-Rijal untuk dilakukan penelitian
terhadap para perawinya.
Jika poin ini diperhatikan, ia dapat
mengkelirkan banyak permasalahan dan keraguan yang diarahkan ke aqidah mazhahb
ahlul bait, kaum Syi'ah. Tetapi jika diabaikan, berakibat pada banyak
kekeliruan dan kesalahpahaman terhadap aqidah kami.
Singkat kata, hadits-hadits para Imam Dua Belas menempati posisi yang
sangat tinggi di mata ajaran kami, yaitu setelah Alquran dan sunnah Nabi,
tetapi dengan catatan, bahwa hadits-hadits tersebut pasti datangnya dari para
imam dengan jalan yang juga diakui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar