فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ .( النحل:43/ الأنبياء:7
Maka
bertanyalah kepada orang yang berpengetahuan, jika kamu tidak mengetahui
(QS:16;43 dan QS:21;7)
Arti Ayat
Secara Umum
Ketika Allah
Yang Maha Bijaksana mengutus para rasul dari kalangan manusia guna membimbing
dan memberi petunju ke jalan yang lurus, sebagian orang (kaum Musyrik) yang
dangkal ilmu dan pengetahuan mereka membantah dan membobongkan kebenaran para
rasul tersebut dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Di antara alasan-alasan
yang sering mereka kemukakan ialah mengapakah Allah mengutus manusia sebagai
utusan-Nya, bukankah-kata mereka- manusia itu secara stuktur pencinptaan tidak
mungkin dapat mengadakan kontak langsung dengan sumber wahyu (Allah SWT) Yang
Maha Tinggi dan Maha Agung.
Masyarakat
Arab secara umum tidak mengerti seluk beluk berita kenabian dan kerasulan.
Sebagai nama mereka juga jahil tentang sifat-sifat Tuhan. Sehingga mereka
menolak kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. dengan alasan bahwa beliau
adalah manusia biasa.
Dalam ayat 7
surah al Anbiyaa’, misalnya, Allah SWT menanggapi keberatan mereka menyangkut
kenabian Rasulullah saw., Allah SWT berfrirman, “Dan Kami tidak mengutus kepada
umat-umat yang lalusebelummu Hai Nabi Muhammad melainkan
orang laki-laki yakni manusia-manusia biasa namun mereka adalah
manusia pilihan yang Kami dengan –perantaraan malaikat wahyukan
kepada merekatuntunan-tuntuna Kami guna mereka sampaikan kepada masyarakatnya.
Jika kaum musyrikin atau siapa pun di antara kamu meragukan hal itu, maka
tanyakanlah kepada orang-orang yang tahu tentang persoalan kenabian
dan kerasulan, misalnya kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, jika
kamu hai para pengingkar tiada mengetahuai yakni jika
pengetahuan kamu menyangkut kenabian dan kerasulan sedemikian dangkal sehingga
tidak mengetahui hal tersebut…
Jadi jika
mereka mengingkari kebenaran kenabian Nabi Muhammad saw. hanya karena
beliau basyar (manusia) seperti mereka, maka alasan ini tidak
bisa dibenarkan karena banyak alasan dinataranya:
1. Para utusan
sebelum Nabi Muhammad saw. juga manusiabasyar, dan sifat basyariyah tersebut
tidak bertentangan dengan kenabian.
2. Perbedaan
antara seorang nabi dan yang bukan nabi ialah bahwa yang pertama mendapat
anugrah dan kemuliaan dari Allah berupa wahyu, sedang yang bukan nabi tidak
mendapat anugrah tersebut.
Allah
berfirman dalam surah Ibrahim ayat 10-11:
قالوا إِنْ أَنْتُمْ إِلاَّ بَشَرٌ مِثْلُنَا … قالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلاَّ بَشرٌ مثلُكُمْ وَ لكِنَّ اللهَ يَمُنُّ على مَنْ يشاءُ مِنْ عبادِهِ.
Mereka
berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki
untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah
moyang kami, karena itu datangkanah kepada kami bukti yang nyata“. Rasul-rasul
mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu,
akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara
hamba-hamba-Nya. (QS:14;10-11)
Ayat Ahlu
Dzikri di atas hendak mengatakan, “Jika ini semua telah kamu ketahui
maka cukuplah bagi kamu sebagai bukti kebenaran Muhammad saw., akan tetapi jika
kamu tidak mengerti dan tidak memahaini kenyataan ini maka tanyakanlah kepada Ahl
Dzikri, apakah mereka (para rasul yang terdahulu) yang diutus kepada umat
manusia juga dari kalangan (jenis) mereka sendiri yaitu manusia atau dari
makhluk lain, seperti malaikat, misalnya seperti yang mereka usulkan.
Yang
dimaksud kata Ahlu Dzikr dalam ayat ini dan dalam konteksnya (siyaq)
adalah Ahlul Al Kitab, sebab arti Al Dzikr adalah kitab suci.
Mereka diperintahkan untuk menanyakan hal itu kepada Ahlul Kitab sebab mereka
dipandang oleb orang-orang musyrikin sebagai orang-orang yang banyak mengetahui
seluk beluk kenabian dan mereka juga adalah musuh-musuh Islam, sama dengan kaum
musyrikin, bahkan tidak jarang mereka memberikan dorongan dan bantuan untuk
menghambat penyebaran dakwah Islam dan bahkan menghancurkan risalah Islam.
Di antara
para ahli talsir ada yang berpendapat bahwa perintah untuk bertanya dalam ayat
ini ditujukan kepada Nabi saw. dan kaumnya, baik ia mengerti atau tidak, dan
hal ini bertujuan untuk menguatkan kebenaran yang sudah nyata. Semuanya
terkena khitab (pembicaraan) ini, hanya saja mereka yang sudah
memahami permasalahan tidak usah lagi merujuk kepada Ahl Dzikri,
sedang yang tidak mengerti, seperti kaum musyrikin, hendaknya merujuk dan
bertanya kepada Ahl Dzikri yaitu orang-orang yang mengetahui.[1]
Ahli Al
qur’an Adalah Ahludz Dzikri
Telah Anda
ketahui yang dimaksud dengan kata Ahludz Dzikri dalam konteks
dan susunan ayat-ayat di atas adalah orang-orang yang mengetahuipermaslahan dan
seluk beluk kenabian dan kerasulan, seperti misalnya para ulama Ahlul Kitab
(Yahudi dan Nasraani). Akan tetapi apabila kita mencari tahu, siapakah
sebenar-benar orang yang paling mengetahui seluk beluk kebanian dan kerasulan
serta apa yang dibawa oleh para rasul, dan khususnya apa yang dibawa oleh
Rasulullah Muhammad saw. maka kita pasti akan maklum bahwa yang paling mengerti
bukti kebenaran kenabian dan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah
pribadi-pribadi suci yang dipercaya untuk mengawal perjalanan agama Islam
sepeninggal beliau. Para pendamping Kitab suci Alqur’an, dan satu dari dua
pusaka keselamatan dunia dan akhirat yang ditinggalkan Rasulullah saw. di
tengah-tengah umat Islam. Mereka adalah Ahlulbait Nabi as., para imam suci.
Arti Kata Adz
Dzikr
Adz Dzikr berarti menghafal makna
sesuatu atau menghadirkannya. Ia bisa juga berarti hadirya sesuatu dalam hati
atau ucapan. Oleb sebab itu Dzikir terbagi menjadi dua; pertama,
dzikir dengan hati dankedua, dzikir dengan lidah (lisan). Dan yang kedua
ini bisa saja dilakukan dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan ingat (sadar
akan apa yng sedang diucapkan).
Jadi
pengertian dasar adz dzikr adalah dzikir dalam hati. Adapun
mengucapankannya dengan lisan juga disebut dengan dzikir, ditinjau dan sisi
pemberian pengertian yang sama dan pemantapannya di pikiran pengucapnya.
Raghib al
Isfahani menerangkan, “Terkadang adz Dzikr diartikan sebuah kondisi pada
jiwa, dengannya seseorang mampu mengingat ma’rifat yang ia miliki, dalam
pengertian ini ia seperti hifdz(menghafal), hanya saja hifdz dari
segi perolehan sedangkan dzikrdari segi mengahdirkannya. Dan
terkadang dzikr diartikan hadirnya sesuatu dalam hati atau dalam ucapan, oleh
sebab itu dzikr ada dua bentuk; dzikr dengan hati dan dzikr
dengan lisan. Dan masing-masing terbagi menjadi dua macam: dzikr (ingat)
setelah sebelumnya lupa dan dzikr bukan dari kelupaan akan
tetapi dengan arti melanggengkan ingatan. Dan setiap ucapan di sebut dzikr.[2]
Tampaknya
makna asli kata tersebut adalah makna awal yang disebutkan di atas, adapun
ucapan disebut dzikr dikarenakan ia memuat pengertian dzikr qalbi.
Kata adz
Dzikr dalam Al qur’an juga dipergunakan untuk dua arti, pertama, Al
qur’an dan kedua adalah Rasulullah saw.
Al qur’an
adalah Adz Dzikr
Dari sisi
inilah Al qur’an (wahyu Allah) dan kitab-kitab suci yang pernah diwahyukan
kepada para nabi juga disebut dzikir.
Al qur’an
adalah Dzikr, kitab suci Nabi Nuh, Shuhuf Ibrahim, Taurat Musa
dan Injil Isa juga disebut dzikir, sedangkan orang-orang yang mengimaninya dan
mendalami dan mengarungi dapat disebut Ahlu Dzikri.
Adapun
alasan penamaan Al qur’an dengan adz Dzikr adalah sebagaimana
diterangkan az-Zarkasyi dalam Burhan-nya ialah dikarenakan di
dalamnya terdapat mawa’idz (nasihat), peringatan dan berita
umat-umat terdahulu.[3]
Jadi Al
qur’an dinamai adz Dzikr dikarenakan muatan-muatan Al qur’an dapat mengingatkan
manusia kepada dirinya yang kemudian akan membawa ingat kepada Tuhanya. Ia
berbicara kepada akal manusia dengan mengedepankan berbagai bukti kebenaran
tentang keesaan Allah SWT., keharusan hamba dalam menghambakan kepada Khaliqnya
sebagai konsekuensi ma’rifah akan ketuhanan-Nya. Sebagaimana juga berbicara
kepada hati nurani manusia dengan membangkitkan nilai-nilai luhur manusiawi
yang tercipta bersama fitrah manusia.
Banyak ayat
Al qur’an yang menyebut Al qur’an sebagai adz Dzikr, di antaranya ialah
ayat-ayat sebagai berikut:
Allah SWT.
berfirman:
و قالوا يا أيها الذي نُزِّلَ عليهِ الذكْرُ إنَّكَ لَمَجْنُونٌ .( الحجر:6)
”Mereka
berkata:” hai orang yang diturunkan al-qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu
benar-benar orang yang gila”. (QS:15;6)
إنَّا نَحْنُ نَزَّلْنا الذكْرَ و إنا لهُ لَحافِظونَ. (الحجر:9)
”Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al-qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya”. (QS:15;9).
Tentunya Ahli
Adz Dzikr “sesuatu” itu lebih mengetahui segala yang berkaitan dengan
“sesuatu” tersebut. Oleh sebab itu bagi siapa saja yang ingin mengetahui dan
mendalami sesuatu tersebut hendaknya ia merujuk kepada ahlinya. Ahli
kitab-kitab suci terdahulu dan mereka yang tekun mendalaminya tentu lebih
mengerti isi dan kandungannya dibanding orang-orang lain yang tidak
mendalaminya.
Dengan
demikian Ahlu Azd Dzikir, adalah mereka yang memiliki dan menguasai
ilmu-ilmu Al qur’an. Dari sisi ini tidak dapat disangsikan bahwa Ahlulbait Nabi
as adalah pemilik seluruh ilmu Al qur’an dan semua yang ditinggalkan oleh Nabi
Muhammad saw.
Pengertian
bahwa Adz Dzikir yang dimaksud dalam ayat yang sedang kita bicarakan ini adalah
Al qur’an disebutkan oleh banyak tokoh-tokoh penting Ahlusunnah, seperti Ibnu
Jarir Al Thabari, Al Khazin, Al Baghawi, Ibnu Katsir dan Al Syaukani.
Al Thabari[4] meriwayatkan dan Ibnu Zaid ia
berkata, “Adz Dzikr adalah Al qur’an, lalu ia membaca ayat:
إنَّا نَحْنُ نَزَّلْنا الذكْرَ و إنا لهُ لَحافِظونَ. (الحجر:9)
Dalam tafsir
Fathu Al Qadir,[5] Al-Syaukhani mengatakan, “Dan ada
yang mengatakan yang dimaksud adalah Tanyakanlah olehmu kepada Ahl alqur’an.”
Ibnu Katsir
dalam tafsimya juga menukil komentar Imam Al Baqir as., hanya saja ia membantah
kalau komentar itu dijadikan tafsiran ayat tersebut berdasarkan konteks dan
susunan urutannya, akan tetapi kalau ditafsirkan secara terpisah beliau
mengakui bahwa Ahlulbait adalah Ahl adz Dzikir, yakni orang-orang yang
memahaini Islam dan Al qur’an secara tepat dan sempuma. Ibnu Katsir berkata,
“Dan ulama dari kalangan Ahlulbait Rasulullah as. adalah sebaik-baik ulama jika
mereka berjalan di atas sunnah yang lurus seperti (Imam) Ali, Ibnu Abbas, kedua
putra Ali, Al Hasan dan Al Husein, Muhammad Ibnu Al-Hanafiyah (putra Imam Ali)
Ali bin Husein Zainal Abidin, Ali bin Abdullah bin Abbas, Abu Ja ‘far Al Baqir
(yaitu Muhammad bin Ali bin Al Husain) dan putranya Ja‘far serta yang lainnya.[6]
Rasulullah
saw. Adalah Dzikr
Penggunaan
kedua kata adz dzikr dalam Al qur’an adalah dengan makna Rasulullah saw… Sebab
beliaulah manusia ingat kepada Tuhan mereka dan kepada ayat-ayat tanda keesaan
dan keagungan-Nya dan beliaulah jalan dakwah kepada agama Allah.
Allah SWT
berfirman:
قَدْ أَنْزَلَ اللهُ ذِكْرًا * رَسُولاً يَتْلُوا عليكُمْ آياتِ اللهِ مُبَيِّناتٍ لِيُخْرِجَ الذين آمنُوا و عمِلُوا الصالِحاتِ مِنَ الظُلُماتِ إلى النورِ…
“Sesungguhnya
Allah telah menurunkan dzikran, peringatan kepada kalian yaitu seorang Rasul
yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam
hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan m4engerjakan amal
saleh dari kegelapan kepada cahaya” (QS65;10-11)
Kata رَسُولاً pada ayat di atas dalam
kaidah bahasa Arab berstatus sebagai Athfu Bayaan (kata yang
disebuat sebagai penjelas kata sebelumnya) ata sebagai Badal (sebagai
kata ganti yang menunjukkan maksud kata sebelumnya yang digantikannya). Jadi
maksud kata ذِكْرًاpada
akhir ayat 10 itu dijelaskan maknanya dengan kata رَسُولاً yang
disebut pada awal ayat 11. maka dengan demikian maksud dari dzikran itu adalah
seorang Rasul. Dan dengan pemerhatikan sifat-sifat yang disebutkan maka
jelaslah bahwa yang dimaksud dengan seorang Rasul itu adalah Nabi Muhammad saw…
berdasarkan tafsir ini maka maksud firman telah menurunkan adalah
mengutus, membangkitkannya dari alam ghaib dan menampilkannya untuk mereka
sebagai seorang utusan dari sisi Allah SWT. di mana sebelumnya mereka tidak
menyangkanya.[7]
Keterangan
bahwa kata dzikran dalam Al qur’an dipergunakan untuk dua makna seperti di atas
telah dijelaskan oleh Imam Ja’far ash Shadiq as. sebagaimana diriwayatkan oleh
al Qanduzi al Hanafi[8] dari Adb. Hamid ibn Abi ad Dailam.
Imam Ash Shadiq as. bersabda, “Dzikr memiliki dua makna; Al qur’an dan Muhammad
saw. dan kamilah Ahlu dzikri dengan kedua makna tersebut. Adapun makna pertama;
Al qur’an yaitu seperti dalam firman Allah Ta’ala:
وَ أَنْزَلْنا إليكَ الذكْرَ لِتُبَيِّنَ للناسِ ما نُزِّلَ إِلَيْهِمْ.
“Dan Kami
turunkan kepadamu Al qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka”. (QS:16;44)
و إنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ و لِقَوْمِكَ وَ سَوفَ تُسْأَلونَ . ( الزخرف:44)
” Dan
sesungguhnya Al-qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan
bagi kamumu dan kelak kamu akan dimintai pertanggungan jawab”. (QS:43;44)
Adapun Dzikr
dengan arti Muhammad saw., maka ayat yang menunjukkannya adalah firman Allah
dala surah ath Thalaq:
فَاتَّقُوا اللهَ يَا أُوْلِي الأَلبابِ، قَدْ أَنْزَلَ اللهُ ذِكْرًا * رَسُولاً يَتْلُوا عليكُمْ آياتِ اللهِ مُبَيِّناتٍ لِيُخْرِجَ الذين آمنُوا و عمِلُوا الصالِحاتِ مِنَ الظُلُماتِ إلى النورِ…
“Maka
bertaqwalah kamu hai orang-orang yang mempunyai akal (yaitu) orang-orang yang
beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan dzikran, peringatan kepada kalian
yaitu seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan
(bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dari kegelapan kepada cahaya” (QS65;10-11)
Ahlulbait
Adalah Ahlu Adz Dzikr
Dengan
pengertian yang mana dari kedua makna adz Dzikr di atas kita memaknai ayat
tersebut, maka Ahlulbait Nabi as. adalah ahlinya. Mereka adalah Ahlu Al qur’an
dan mereka adalah ahlu (kerabat) Nabi saw. Jadi dengan demikian ayat tersebut
adalah sebuah perintah agar kita mengambil agama dari Ahlulbait as. sebab ilmu
Al qur’an secara utuh dan sempurna hanya ada pada mereka.
Perintah
untuk bertanya kepada Ahlulbait as. ini adalah bukti nyata bahwa mereka memliki
seluruh ilmu yang dibutuhkan umat di sepanjang masa dan mereka memiliki
keistimewaan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Dan hal ini
meniscayakan bahwa merekalah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam
sepeninggal Nabi saw.
Di bawah ini
akan saya sebutkan beberapa contoh riwayat yang dinukil para ulama baik dari
kalnagn Ahlusunnah maupun Syi’ah.
Riwayat
Tentang Tafsir Ayat di atas
Al Thabari
meriwayatkan dan Jabir dan Abu Ja’far Al Baqir as., ketika beliau menafsirkan
ayat tersebut, beliau berkata, “Kamilah (yang dimaksud) dengan Ahli Adz Dzikr.[9]
Al Hakim al
Hiskani dalam Syawahid al Tanziilnya meriwayatkan penafsiran bahwa yang
dimaksud Ahlu adz Dzikr adalah Ahlulbait as. dari Imam Ali as., Imam Muhammad
al Baqir as. dengan berbagai jalur.
Dari al
Harits ia berkata, “Aku bertanya kepada Ali tentang ayat ini:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Maka beliau
menjawab:
و اللهِ إِنَّا لَنَحْنُ أَهْلُ الذكْرِ، نحنُ أهل العلمِ، و نحن مَعْدِنُ sالتأويلِ و التنْزيلِ. و لقَدْ سَمِعْتُ رسولَ اللهِ (ص) يقول: أنا مَدِينَةُ العلمِ و عَلِيٌّ بابُها، فَمَنْ أراد العلمَ فليأتِ مِنْ بابِهِ.
Demi Allah,
kamilah benar-benar yang dimaksud dengan Ahlu Dzikr. Kamilah ahli (pemilik)
ilmu. Kamilah tambang ta’wil dan tanzil. Dan aku benar-benar telah mendengar Rasulullah
saw. bersabda, ‘Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, maka baang siapa
menginginkan ilmu hendaknya ia mendatangi pintunya.’ “[10]
Dari srail
dari Jabir dari Abu Ja’far (Al Baqir) as. tentang ayat
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Beliau
berkata, “Kamilah Ahlu adz Dzikr”.[11]
Dari Musa
ibn Utsman al Hadhrami dari Jabir dari Muhammad ibn Ali, ia berkata, “Ketika
ayat ini turun:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Ali
bersabda, ‘Kamilah Ahlu adz Dzikr yang dimaksud Allah Yang Maha Agung dan Maha
Tinggi dalam kitab-Nya.’ “[12]
Dari Ali ibn
Aabis dari Jabir dari Abu Ja’far tentang firman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Beliau
berkata, kamilah yang dimaksud dengan mereka itu.”[13]
Dari as
Suddi dari al Fadhl ibn Yasaar dari Abu Ja’far tentang ayat:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Beliau
bersabda, “Mereka adalah Itrah Rasulullah saw.”
Kemudian
beliau membaca ayat:
وَ أَنْزَلْنَا عليكُمْ ذِكْرًا رَسُولاً …
Riwayat Dari
Jalur Syi’ah
Adapun dalam
riwayat-riwayat Syi’ah dari para Imam Suci Ahlulbait as. jelas sekali. Mereka
selalu menegaskan bahwa Ahlul Dzikr yang harus dirujuk umat
Islam sepeninggal Nabi saw. adalah mereka, bukan yang lainnya. Di bawah ini
akan saya sebutkan sebagian darinya:
1. Al Ayasyi
dalam kitab tafsirya menyebutkan sebuah riwayat dari Muhammad bin Muslim dari
Abu Ja’far as., ia berkata “Aku berkata kepada beliau, ‘Orang-orang di sekitar
kami mengganggap bahwa (maksud) ayat:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ
Adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrarii. Maka Beliau menjawab, “(Kalau demikian
maksudnya,) maka mereka pasti akan mengajakmu kepada agama mereka.”
Lalu beliau meletakkan tangan di dadanya dan berkata:
نَحْنُ أهْلُ الذكرِ المَسْؤُوْلُونَ.
“Kamilah Ahlu Dzikr yang harus ditanyai.”
Muhammad bin Muslim melanjutkan, “Abu Ja’far berkata, ‘Adz
Dzikr adalah Al qur’an.’ “[15]
2. Al-Kulaini
dalam kitabnyaAl-Kafi meriwayatkan dari Abdul Rahman bin Katsir, ia berkata:
Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ash Shadiq) as. tentang tafsiran ayat:
و
إنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ و لِقَوْمِكَ وَ سَوفَ تُسْأَلونَ . ( الزخرف:44)
”Dan sesungguhnya
Al-qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu
dan kelak kamu akan dimintai pertanggungan jawab”. (QS:43;44)
Beliau menjawab:
الذكرُ القُرْآنُ، و
نحنُ قَومُهُ و نحن المسؤولون.
“Adz Dzikr adalah
Al qur’an. Dan kamilah kaumnya yang (harus) ditanyai.”[16]
3. Dalam tafsir
Al-Burhan dan Al Barqi dengan sanadnya dari Abd. Karim ibn Abi Al Dailami dari
Abu Abdillah as., beliau bersabda tentang tafsir ayat:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Al Kitab (Al
qur’an) adalah Adz Dzikr dan ahlinya adalah keluarga (Aalu) Muhammad
saw. Allah Azza Wa Jalla memerintahkan untuk bertanya kepada mereka
dan (kamu) tidak diperintah untuk bertanya kepada orang-orang yang jahil… .”
4. Dalam kitab
tafsir Al Qummi dari Zurarah ibn A’yun dari Abu Ja’far as. tentang ayat:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Aku
bertanya, ‘Siapa yang dimaksud dengannya?’
Beliau
menjawab, “Demi Allah kamilah yang dimaksud.”
Aku
berkata, “Kaliankah yang dimaksud?”
Beliau
menjawab, “Ya, benar”.
Aku
bertanya lagi, “Apakah kami yang harus bertanya?”
Beliau
menjawab, “Ya”
Aku
bertanya kembali, “Jadi kami yang diperintahkan untuk bertanya kepada kalian?”
Beliau
menjawab, “Ya”
Aku
bertanya lagi, “Apakah suatu keharusan bagi kalian untuk menjawab semua
pertanyaan kami?”
Beliau
menjawab, ‘Tidak, Itu terserah kami, kalau kami berkenan menjawab, maka kami
akan menjawabnya, dan kalau tidak, kami akan tinggalkan.”
Lalu
beliau membaca ayat:
هَذَا عَطاؤُنا فَامْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغيرِ حسابٍ.
“Inilah
anugerah kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu
sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab.”(QS:38;39) [17]
5. Syeikh Ath Thusi meriwayatkan dengan sanad
bersambung kepada Hisyam, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ja’far
Ash Shadiq) as. tentang firman Allah Yang Maha Berkah dan Maha Tinggi:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Siapakah yang di
maksud dengan mereka?” Beliau menjawab, “Kami.” Aku bertanya kembali, “Apakah
wajib atas kami bertanya kepada kalian?” Beliau as. menjawab, “Ya.” Aku
bertanya lagi, “Apakah harus bagi kalian menjawab pertanyaan kami?” Beliau
menjawab, “Tidak. Itu teserah kami.”[18]
6. Al Kulaini meriwayatkan dalam Al Kafi[19] dari
Abu Bukair dari Hamzah ibn Muhammad ath Thayyaar, “Disodorkan kepada Abu
Abdillah (Imam Ja’far) as. sebagian pidato ayah beliau, dan ketika sampai pada
bagian tertentu beliau bersabda, “Tahan dan berhentilah!” kemudian beliau
bersabda, “Tidak diperbolehkan atas kalian pada apa yang sedang kalian hadapi
yang tidak kalian ketahui kecuali berhenti dan berhati-hati serta
mengembalikannya kepada para Imam pemberi petunujk sehingga mereka membawa
kalian kepada jalan yang lurus, menyingkap dari kalian kebutaan tentangnya dan
memperkenalkan kepada kalian kebenaran. Allah SWT berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Penutup:
Ayat ini
secara umum memuat bimbingan untuk mengikuti kaidah yang ditetapkan
secana aqliyah dan bukan bersifat maulawiyah
tasyriiyah yang mewajibkan atas setiap yang jahil untuk merujuk dan
bertanya kepada yang mengerti dan memiliki ilmu.
Al Suyuthi
dalam Al Dur Al Mantsurnya meriwayatkan dari Ibnu Murdawaih dan
riwayat Jabir. ia berkata; Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَنْبَغِيْ للعالِمِ أنْ يسْكُتَ على عِلْمِهِ و لا ينبغي للجاهِلِِ أن يسكت على جهلِهِ، وقد قال اللهُ: {فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ} فينبغِيْ للمُؤْمِنِ أنْ يَعْرِفَ عَمَلَهُ، على هُدًى أَمْ على خِلافِهِ.
Tidak
dibenarkan bagi seorang yang alim (pandai) mendiamkan ilmunya (tidak
mengajarkannya) dan tidak dibenarkan bagi si jahil untuk membiarkan
kebodohannya (tidak belajar), sementara Allah telah berfirmar “Maka
bertanyalah kepada orang yang berpengetahuan, jika kamu tidak
mengetahui”. Maka wajib bagi seorang mukmin untuk mengetahui apakah
amal perbuatannya berada di atas petunjuk kebenaran atau tidak.” Sumber
[7] Mizan,19/339.
Dan ada juga keungkinan penafsiran bahwa kata رَسُولاًitu di baca nashab (fathah)
dikarenankan adanya kata arsala (Dia mengutus) yang
diperkirakan keberadaannya. Dengan demikian atri kata dzikran adalah Al qur’an.
[11] Ibdi.
Hadis 460. Dan hadis 461 dan 462 juga sama hanya saja ia meriwayatkannya dari
jalur lain. Riwayat ini sama dengan riwayat al Thabari yang saya sebutkan di
atas.
[13] Ibid.
hadis 464. hadis yang sama (465) diriwayatkan dari Abu Musa dari Sa’ad al
Iskaaf dari Imam al Baqir as.
[15] Tafsir
AI-’Ayasyi,2/260-261. Tafsir Al-Burhan,2/341, Tafsir A1 Shali,1/920, Tafsir A1
Mizan,12/284-285, Bihar Al Anwar,7/37 dan tafsir Majma A1 Bayan,14/362.
[16] Al
Kafi,1/211 hadis 5, Tafsir al Qummi,2/286, Bashaair ad Darajaat:37 hadis1 dari
Al Fudhail dan pada hadis 6 dari Buraid ibn Mu’awiyah dari Imam Al Baqir as.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar