Al-Quran adalah sumber pemikiran, sumber hukum dan
sumber segala kebajikan yang esensinya adalah kalam ilahi yang suci. Al-Quran
adalah pola bagi hidup dan kehidupan seluruh umat manusia. Maka setiap muslim
atau muslimah wajib mengetahui dan memahami bahwa Kitabullah itu adalah
syari’ah dan risalah-Nya yang umat manusia harus merealisasikannya dalam hidup
dan kehidupannya serta berjalan di atas petunjuk-Nya.
Banyak ayat Al-Quran yang menceritakan Ahlulbait atau keluarga Nabi yang disucikan yang antara lain seperti di bawah ini:
Banyak ayat Al-Quran yang menceritakan Ahlulbait atau keluarga Nabi yang disucikan yang antara lain seperti di bawah ini:
1. Surah Al-Ahzab: 33
Dalam ayat ini Allah menyebut mereka Ahlulbait. Dia
berfirman:
انما يريد اللّه ليذهب عنكم الرجس اهل البيت ويطهّركم تطهيرا
"Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan al-rijs
dari kamu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya." (QS. Al-Ahzab:
33).
Imam Ja’far Al-Shadiq ditanya mengenai makna al-rijs
yang terdapat pada ayat diatas. Beliau menjawab: "Al-Rijsu itu adalah
al-syakk (keraguan)". (Ma’ani l`Akhbar).
Jika kita tidak taat kepada Allah dalam satu perkara,
maka hal itu telah menunjukan kepada keraguan kita terhadap-Nya, semakin banyak
ketidaktaatan kita kepadanya, maka semakin besar pula keraguan kita kepada-Nya.
Ahlulbait yang disucikan itu sedikit pun tidak pernah ragu kepada-Nya, oleh
karena itu tidak ada satu pun keburukan atau kemaksiatan yang mereka lakukan.
Dan tidak adanya keraguan dari mereka, dikuatkan dengan pensucian
sesuci-sucinya, yang demikian itu menunjukan bahwa mereka memiliki sifat
‘ishmah yang sangat kuat, mereka adalah orang-orang ma’shum (tidak melakukan
dosa dan kesalahan).
Sebagian kaum muslim beranggapan bahwa tafsir
ahlul`bayt yang terdapat pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw,
mereka menafsirkan demikian barangkali dikarenakan awal ayat tersebut ditujukan
kepada istri-istri Nabi yaitu : "Dan hendaklah kamu (istri-istri Nabi)
tinggal di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu bersolek seperti kaum jahiliah
yang pertama, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah
serta Rasul-Nya…".
Tafsir seperti itu rasanya tidak benar karena kata
ganti (personal pronoun, dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbait
berbeda; untuk istri-istri Nabi dhamirnya mu`annats (feminine) sedangkan untuk
Ahlulbait dhamirnya mudzakkar (masculine). Kedua mereka tidak memakai tafsir
atau penjelasan dari Rasulullah dan para sahabatnya, padahal orang yang paling
mengetahui tafsirnya adalah Nabi saw, dan Al-Quran telah memerintahkan kita
untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini :
وأنزلنا إليك الذكر لتبيّن للناس ما نزّل إليهم ولعلّهم يتفكْرون
"Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran)
untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar
mereka berpikir". (QS. Al-Nahl: 44).
ومآ انزلنا عليك الكتب الّا لتبيّن لهم الذى اختلفوا فيه وهدى ورحمة لقوم يؤم يؤمنون
"Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar
kamu jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk
serta rahmat bagi orang-orang yang beriman". (QS. Al-Nahl: 64).
ومآ ءاتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا والتقوا اللّه انّ اللّه شديد العقاب
Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka
laksanakan dan apa-apa yang dia larang maka tinggalkanlah, dan ber-taqwa-lah
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya". (QS Al.Hasyr: 7).
يأيّها الذين أمنوا اطيعوا اللّه واطيعوا الرسول وأولى أمر منكم
Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah
dan taatilah Rasul serta Uli l`amri (para khalifah Rasulullah yang dua belas)
dari kamu…". (QS 4/59).
Kemudian siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam
Al-Ahzab 33 menurut Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Marilah kita perhatikan
beberapa riwayat berikut ini :
Ummu l`mu`minin Aisyah mengatakan : "Pada suatu
pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang
berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau
memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya;
kemudian datang Fathimah,lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu
beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Sesungguhnya Allah hendak
menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian
sesuci-sucinya’". (Lihat: Shahih Muslim bab fadha`il Ahli bayti
l`Nabiyy; Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan
Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5).
Amer putra Abu Salamah – anak tiri Rasulullah –
mengatakan : "Ketika ayat ini (innama yuridu l`llahu liyudzhiba ‘ankumu
l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhira) diturunkan di rumah Ummu
Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husayn sedangkan Ali as. berada
di belakang beliau. Kemudian beliu mengerudungi mereka dengan kain seraya
beliau berdoa : ‘Ya Allah mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari mereka
keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya’. Ummu Salamah berkata: ‘Dan aku bersama
mereka wahai Nabi Allah?’ Beliau bersabda : ‘Engkau tetap di tempatmu,
engkau dalam kebaikan’". (Al-Turmudzi 2:209, 308 ; Musykilu l`Atsar 1:335;
Usudu l`Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7).
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. telah mengerudungkan
sehelai kain ke atas Hasan, Husayn, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, "Ya
Allah, mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari
mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya,". Kemudian Ummu Salamah
berkata: "Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah ?". Beliau
bersabda, "Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan". (HR
Al-Turmudzi 2:319).
Anas bin Malik telah berkata : "Rasulullah saw
pernah melewati pintu rumah Fatimah ‘alayha l`salam selama enam bulan, apabila
beliau hendak keluar untuk shalat subuh, beliau berkata, ‘Salat wahai
Ahlulbait! Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai
Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya’". (HR Al-Turmudzi 2 : 29).
Itulah beberapa kesaksian dari beberapa kitab rujukan bahwa
Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab itu bukan istri-istri Nabi saw melainkan Ali,
Fathimah, Hasan dan Husayn sekalipun ayat tersebut digabungkan penulisannya
dengan ayat yang menceriterakan istri-istri Nabi saw sebab di dalam Al-Quran
mushhaf ‘utsmani ini terkadang dalam surah makkiyyah terselip di dalamnya
beberapa ayat madaniyyah atau sebaliknya atau satu ayat mengandung dua cerita
seperti pada ayat diatas dan tentu para ulama telah maklum adanya.
2. Surah Asy-Syura: 23
قل لّآ أسئلكم عليه اجرا إلّا المودّة فى القربى ومن يقترف حسنة نّزد له حسنا انّ اللّه غفور شكور
Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu
upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". dan siapa
yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya
itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (QS. Asy-Syura: 23)
Ketika orang-orang musyrik berkumpul di satu tempat
pertemuan mereka, tiba-tiba berkatalah sebagian dari mereka kepada yang lainnya
: Apakan kalian melihat Muhammad meminta upah atas apa yang dia berikan ?
Kemudian turunlah ayat : "Katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian
selain kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba". (Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya
Al-Kasysyaf).
Kemudian beliau berkata: Telah diriwayatkan ketika
ayat tersebut turun bahawa ada orang yang bertanya: Wahai Rasulullah,
siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas kami mencintai mereka? Beliau
menjawab: "Mereka itu adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya (Hasan dan
Husayn)".
Ayat tersebut di atas telah mewajibkan seluruh manusia
untuk mencintai (mengikuti) keluarga Nabi atau Ahlulbait dan mencintai mereka
merupakan dasar di dalam ajaran Islam. Rasulullah saw bersabda (yang artinya):
"Segala sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai
Ahlulbaitku". (Hadits yang mulia). Dan jika kita membenci mereka maka amal
baik kita akan menjadi sia-sia dan kita masuk neraka. Sabdanya : "Maka
seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan saum kemudian dia
berjumpa dengan Allah (mati) sedangkan dia benci kepada Ahlulbait Muhammad,
niscaya dia masuk neraka." Al-Hakim memberikan komentar terhadap sabda
Nabi ini sebagai berikut: "Ini hadits yang baik lagi sah atas syarat
Muslim". ( Kitab Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/148).
3. Surah Ali ‘Imran: 61
فمن حآجّك فيه من بعد ما جأك من العلم فقل تعالوا ندع أبنآءنا وابنآءكم ونسآءنا ونسآءكم وانفسنا وانفسكم ثمّ نبتهل فنجعل لعنت اللّه على الكاذبين
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah
datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): "Marilah
kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan
isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah
kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang
yang dusta (QS. Ali Imran: 61)
Ayat ini disebut sebagai ayat mubahalah karena di
dalamnya ada ajakan untuk ber-mubahalah dengan para pendeta nasrani. Adapun
terjemahannya: "Siapa yang menbantahmu tentang dia (Al-Masih) setelah
datang kepadamu ilmu, maka katakanlah (kepada mereka): Marilah, kami memanggil
anak-anak lelaki kami dan (kamu memanggil) anak-anak lelaki kamu, perempuan-perempuan
kami dan perempuan-perempuan kamu dan diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita
bermubahalah dan kita tetapkan laknat Allah atas mereka yang berdusta".
Saksi sejarah yang hidup dan kekal yang diriwayatkan
ahli-ahli tarikh dan tafsir telah memberikan kejelasan kepada khalayak akan
kesucian keluarga Nabi saw yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Ayat tersebut
menunjukan betapa agungnya kadar dan kedudukan mereka di sisi Allah ‘azza wa
jalla.
Diantara kasus yang disampaikan para muarrikh, mufassir
dan muhaddits ialah peristiwa mubahalah, yaitu ketika datang utusan dari
masyarakat keristen Najran untuk membantah Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa
alihi wa sallam—kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas agar beliau
memanggil Ali, Fathimah. Hasan dan Husain. Beliau keluar membawa mereka ke
lembah yang telah ditentukan dan para pemimpin keristen pun membawa anak-anak
dan perempuan-perempuan mereka.
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf berkata :
"Sesungguhnya ketika mereka diseru untuk bermubahalah mereka mengataakan :
‘Nanti akan kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala mereka berpaling (dari
mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi juru bicara mereka :
‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia berkata: Demi Allah, kalian
juga tentu mengetahui wahai umat nasrani bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan
Rasul. Dia datang kepadamu membawa penjelasan mengenai Isa (Yesus). Demi Allah
tidak ada satu kaum pun yang mengadakan mubahalah dengan seorang Nabi lalu mereka
hidup. Dan jika kalian melakukan mubahalah dengannya niscaya kalian semua pasti
binasa, dan apabila kalian ingin tetap berpegang kepada ajaran kalian maka
tinggalkan orang tersebut dan pulanglah ke kampung halaman kalian".
Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong
Husayn dan menuntun Hasan dan Fathimah berjalah di belakang beliau sedang Ali
berjalan di belakang Fathimah. Nabi bersabda : "Bila aku menyeru kalian
maka berimanlah !". Melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup Najran
: "Wahai umat keristen, sungguh aku melihat wajah-wajah yang sendainya
mereka berdoa kepada Allah agar Dia (Allah) menghilangkan sebuah gunung dari
tempatnya pasti doa mereka akan dikabulkan, oleh karena itu tinggalkan
mubahalah sebab kalian akan celaka yang nantinya tidak akan tersisa seorang
keristen pun sampai hari kiamat".
Akhirnya mereka berkata : "Wahai Abul Qasim, kami
telah mengambil keputusan bahwa kami tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin
tetap memeluk agama kami." Rasul bersabda : "Jika kalian enggan
mubahalah maka terimalah Islam bagi kalian dan akan berlaku hukum atas kalian
sebagai mana berlaku atas mereka (muslimin yang lain)."
Kemudian Al-Zamakhsyari--rahimahu l`llah--menjelaskan
kedudukan Ahlulbait ketika menafsirkan ayat mubahalah, setelah dia menjelaskan
keutamaan mereka melalui riwayat dari Aisyah dengan mengatakan : "Diantara
mereka ada yang diungkapkan dengan anfusana (diri-diri kami); ini adalah untuk
mengingatkan akan tingginya kedudukan mereka dan ayat ini adalah dalil yang
sangat kuat dari-Nya atas keutamaan ashhabu l`kisa` (Ahlulbait)—‘alayhimu
l`salam". Pertunjukan mubahalah yang tidak terjadi itu telah menampilkan
dua kekuatan yaitu iman versus syirik, dan manusia-manusia mukmin yang tampil
waktu itu (Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn) adalah para tokoh
petunjuk, umat terkemuka dan orang-orang suci. Seruan mereka tidak boleh
dibantah dan kalimat mereka tidak boleh didustakan. Dari sini kita dapat
memahami bahwa apa-apa yang datang dari mereka baik pemikiran, syari’ah, tafsiran,
petunjuk maupun pengarahan adalah berlaku; mereka adalah orang-orang yang benar
dalam ucapannya, perjalanan hidupnya dan tingkah lakunya.
Al-Quran telah menganggap setiap yang berlawanan
dengan mereka adalah musuh-musuh, dan menjadikan musu-musuh mereka sebagai
orang-orang yang berdusta serta berpaling dari kebenaran yang sepantasnya
mendapat laknat dan azab. "…maka kami jadikan laknat Allah atas mereka
yang berdusta."
Dan juga dari segi bahasa yang sangat dalam pada ayat
tersebut yang harus kita perhatikan, yakni ketika mereka disandarkan kepada
Nabi. Hasan dan Husayn disebut sebagai "anak-aknak kami", Fathimah
sebagai perempuan-perempuan kami" dan Ali sebagai "diri-diri
kami". Di sini Imam Ali disandarkan kepada diri Nabi yang suci.
Sesungguhnya Rasulullah -shalla l`llahu ‘alayhi wa
alihi wa sallam-hanya mengeluarkan empat orang ke arena mubahalah, ini berarti
memberikan penjelasan kepada kita bahwa Fathimah Al-Zahra` -‘alayha l`salam-
perempuan pilihan yang harus diteladani umat manusia; Imam Hasan dan Imam
Husayn -‘alayhima l`salam- adalah anak-anak umat yang wajib kita taati
sedangkan Imam Ali -‘alayhi l`salam- adalah dianggap diri Nabi sendiri.
Ahlulbait dalam Sunnah Nabi saw
Ahlulbait dalam Sunnah Nabi saw
Orang yang membaca sunnah-sunnah Nabi saw, perjalanan
hidupnya dan memperhatikan hubungannya dengan Ahlulbaitnya yang telah
ditegaskan di dalam Al-Quran yakni Ali, Fathimah adan kedua putranya, pasti dia
mengetahui bahwa Ahlulbait Nabi mempunyai tanggung jawab risalah dengan umat
ini. Rasulullah saw telah menggariskannya untuk umat agar mereka menerimanya
sebagai perinyah dari Allah ‘azza wa jalla.
Langkah pertama yang ditempuh Nabi saw ialah
melaksanakan perintah Allah, yaitu menikahkan Fathimah kepada Ali bin Abi
Thalib. Beliau menanam pohon yang diberkati agar cabang-cabangnya menjangkau
segala ufuk umat ini di sepanjang sejaarahnya.
Tentang pernikahan itu Nabi bersabda kepada Imam
Ali—salam atasnya : "Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku agar aku
menikahkanmu kepada Fathimah dengan mahar empat mitsqal perak jika engkau rela
dengan yang demikian." Dia berkata: "Aku rela dengan yang
demikian."
Dari pernikahan yang diberkati itu lahir Imam Hasan
dan Imam Husayn. Dan dari sulbi Imam Husayn lahir sembilan Ahlulbait Nabi yang
suci. Dzurriyyah (keturunan) Nabi melalui sulbi Imam Ali as sebagaimana yang
beliau katakan : "Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap
nabi dari sulbinya, tetapi dzurriyyahku dari sulbi orang ini yakni Ali."
Cerita Ahlulbait Nabi saw dalam sunnahnya lebih banyak
lagi, baik tentang Fathimah sebagai sayyidatu nisa` l`’alamin, pengangkatan Ali
sebagai khalifah Nabi yang pertama, Ahllulbait sebagai padanan Al-Quran,
kedudukan mereka, dua belas imam maupun yang lainnya. Di sini kita ceritakan
dua hal saja, yaitu yang paling mengikat: Ahlulbait sebagai bahtera keselamatan
dan Ahlulbait padanan Al-Quran.
Bahtera Keselamatan
Abu Nuaym telah meriwayatkan hadits yang sanadnya dari
Sa’id bin Jubayr dari Ibnu Abbas dia berkata bahwa Rasulullah saw telah
mengatakan : "Perumpamaan Ahlulbaitku pada kamu adalah semisal bahtera
Nuh—‘alayhi l`salam—barangsiapa yang mengikutinya pasti selamat dan yang
berpaling darinya pasti dia tenggelam." Hadits Nabi ini diriwayatkan
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 2/343. Dia berkata : Hadits ini
sah berdasarkan persyaratan Muslim. Pesan dari sunnah Nabi ini ialah bahwa kita
hanya akan selamat jika mengikuti Ahlulbait Nabi yang disucikan.
Padanan Al-Quran
Ahlulbait telah dijamin kesuciannya, mereka yang
menjaga tafsir Al-Quran dan sunnah-sunnah Rasul, mereka yang menjaga kesucian
ajaran Islam dari penambahan dan pengurangan, dari bid’ah, khurafat dan
takhayyul.
Supaya umat tidak tersesat, maka Rasulullah saw
berpesan kepada manusia agar tida tersesat jalan, sabdanya : "Wahai umat
manusia! Sesungguhnya telah kutinggalkan pada kamu yang apabila kamu berpegang
dengannya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrahku Ahlulbaitku."
(HSR Al-Turmudzi 2/308).
Ahlulbait Dikenal Umat Terdahulu
Ahlulbait telah dikenal oleh umat-umat terdahulu,
antara lain oleh Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa—salam atas mereka. Nabi Adam
–salam atasnya--telah bermohon kepada Allah dengan hak mereka. Ibn Abbas telah
berkata : "Saya telah bertanya kepada Rasulullah saw tentang
kalimat-kalimat yang telah diterima Adam dari Rabb-nya hingga Dia menerima taubatnya.
Nabi saw bersabda : "Dia telah bermohon (kepada Allah) : Dengan hak
Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn terimalah taubatku, lalu Dia menerima
taubatnya". (Al-Durr al-Mantsur ketika menafsirkan firman Allah ‘azza wa
jalla : "fatalaqqa ‘Adamu min Rabbihi kalimat," (QS. Al-Baqarah 37),
baca juga kitab Kanzu l`‘Ummal 1:234.
Sebuah team ahli peneliti Rusia telah menemukan
tumpukan kayu bekas kapal Nabi Nuh as. yang di dalamnya terdapat tulisan doa
tawassul dengan Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya. Mohammad, Ali, Hassan,
Hossain, Fatema.
Pada bulan Juli tahun 1951, sebuah team riset Rusia di
sekitar gunung Judi di perbatasan Uni Soviet dan Turki secara tidak sengaja,
mereka menemukan beberapa kuburan tumpukan kayu-kayu yang telah bobrok yang
terssusun secara luar biasa. Di antara tumpukan kayu tersebut ditemukan satu
plat kayu yang berukuran sekitar 10 x 14 inci. Pada palat kayu tersebut terukir
beberapa kalimat dalam bahasa kuno yang sudah tidak dikenal. Pada tahun 1953
pemerintah Uni Soviet menunjuk sebuah komisi peneliti yang terdiri dari tujuh
orang ahli (untuk meneliti penemuan tersebut), mereka menyimpulkan bahwa
tumpukan kayu itu adalah bagian bahtera Nabi Nuh—‘alayhi l`salam--yang terkenal
itu. Dan kata-kata yang terukir pada plat kayu adalah kata-kata dari bahasa
Samani, yaitu suatu bahasa yang sudah sangat tua. Kata-kata tersebut telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Inggris oleh Prof. N.F. Thomas, seorang
ahli bahasa-bahasa kuno dari Manchester, Inggris.
Pada plat kayu itu terdapat ukiran telapak tangan
dengan lima jari. Pada kelima jari tersebut terdapat tulisan masing-masing:
Muhammad, Ali, Hasan (syabar), Husayn (Syubayr), dan Fathimah. (Di bawahnya
terdapat doa tawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mereka): "Wahai
Tuhanku, wahai penolongku, aku berdoa dengan kemurahan-Mu melalui tubuh-tubuh
suci yang Engkau ciptakan, mereka terbesar dan termulia, tolonglah aku melalui
nama mereka, engkaulah yang mendatangkan cahaya".
Plat kayu itu sekarang terpelihara dengan aman pada
Museum Arkeologi dan Riset, Moscow, Uni Soviet. (Sumber : The Bulletin of
The Islamic Center "UNDER SIEGE" P.O. BOX 32343 Wahington D.C. N.W.
20007 Vol. 7 No. 10 Rabi al-Awwal 6, 1408/Oktober 30,1987)
Sumber: RausyanFikr's Site
Tidak ada komentar:
Posting Komentar