Allah swt berfirman:
لِنَجْعَلَها لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ
“Agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi
kalian dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar". (QS. Al-Haqqah
: 12)
Pembahasan ini berkisar seputar Ali as dan al-Quran.
Para pakar ulumul Quran dan mufassir sepakat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah
saw berbeda tingkatan dalam potensi memahami dan menjangkau makna-makna
al-Quran sebagaimana mereka relatif berbeda dalam mengambil manfaat dari
curahan kesaksian turunnya wahyu, surat-surat dan kumpulan ayat-ayat yang
diterima Nabi saw.
Mereka yang beriman kepada Rasulullah saw di Madinah
tidak menyaksikan turunnya surat-surat Makkiyah (yang turun di Makkah) dan
terhalang dari tafsir dan asbabun nuzul terutama efidence turunnya ayat-ayat.
Berkenaan dengan sebab turunnya ayat yang telah
dibacakan, para pakar hadis dan sejarawan sepakat bahwa maksud dari “udhunun
wa’iyah” adalah Ali bin Abi Thalib as. Sebagaimana Ibnu Jarir Thabari, Ibnu
Abi Hatim, Wahidi (pengarang kitab “Asbabun Nuzul”), Ibnu Murdawaih, Ibnu
Asakir dan yang lain mencatat dari ucapan Buraidah Aslami yang mana Rasulullah
saw bersabda kepada Ali as:
إنّ اللّه أمرنى أن أدنيك و لا أقصيك و أن أعلّمك و أن تعي و حقّ لك أن تعي.
Maka turunlah ayat ini «لِنَجْعَلَها لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ » dan hal ini mereka nukil dari “Ad-Durrul
Mantsur” tafsir Jalaluddin Suyuthi, dan “Asbabun Nuzul” hal 294 dan
Abu Na’im dalam “Hilyatul Auliya’” juga mencatat yang demikian dan
dengan nukilan hadis lain yang mana Nabi saw bersabda kepada Ali as:
“فأنت أذن واعية لعلمي”
Demikian juga dalam tafsiran ayat ini, Sa’id bin
Mansur, Ibnu Jarir, penulis kitab sejarah dan tafsir Thabari, Ibnu Abi Hatim
dan Ibnu Murdawaih mencatat riwayat ini tetapi secara mursal yang mana setelah
turun ayat “ وَ تَعِيَها أُذُنٌ واعِيَةٌ ” Rasulullah saw bersabda: “Aku
berharap dari Allah swt supaya menajamkan telinga kecerdasan Ali as seperti
demikian”. Dan Ali as berkata: “Setelah itu tidak pernah aku mendengar sesuatu
dari Nabi saw dan kemudian melupakannya”. Tsa’labi juga mencatat riwayat ini
dari Abu Hamzah Tsumali secara musnad (bukan mursal).
Dalam surat al-Haaqqah sebelum ayat ini, Allah swt
menceritakan perihal kaum-kaum yang telah lenyap dan juga nabi-nabi terdahulu
dan ketika itu Allah swt berfirman: Untuk menjangkau dan memahami serta menjaga
perihal-perihal penuh pelajaran (‘ibrah) pada sejarah para nabi dan
bangsa-bangsa terdahulu diperlukan telinga cerdas potensial dan menyeluruh.
Oleh karena itu Ali as memahami al-Quran lebih baik dari seluruh sahabat
Rasulullah saw dan mengajarkan kepada yang lain.
Ibnu ‘Athiyyah, Badruddin dan Suyuthi berkeyakinan
bahwa pemuka para mufassir adalah Ali bin Abi Thalib as, sementara itu Ibnu
Abbas belajar tafsir di sisi beliau as, dan setelah itu yang lain seperti
Mujahid, Sa’id bin Jubair dan lain-lain mengikutinya dan menjadi murid Ibnu
Abbas.
Amirul Mukminin Ali as disamping adalah orang terbaik
dalam memahami, menghapal dan mempelajari al-Quran, juga termasuk pemuka para
sahabat dalam pengumpulan dan penjelasan penafsiran al-Quran.
Ibnu Abbas mengenai ayat suci “ إِنَّ عَلَيْنا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ ” berkata: Allah swt telah
mengumpulkan al-Quran di hati dan dada Ali as dan beliau as sepeninggal
Rasulullah saw mengumpulkan dan membukukannya selama 6 bulan.
Abu Na’im dalam “Hulyatul Auliya’” dan Khatib dalam
“Arba’in” dari Suyuti dan dia dari Ali bin Abi Thalib as meriwayatkan: Ketika
Nabi saw meninggal dunia, aku bersumpah bahwa aku tidak akan menyingkapkan
jubahku dari pundak hingga aku menyusun al-Quran dan aku melakukan hal
tersebut.
Para ahli sejarah dan tafsir juga menyepakati bahwa
hanya Ali as yang mengklaim mengumpulkan al-Quran sebelum orang lain berfikir
untuk mengumpulkan dan menyusunnya.
Dalam al-Ihtijaj Thabarsi disebutkan bahwa Abu
Dzar al-Ghiffari berkata: Ali as setelah wafat Rasulullah saw dan berdasarkan
wasiat beliau saw, mengumpulkan dan menyusun al-Quran dan membawanya ke hadapan
kaum Muhajirin dan Anshar serta memperlihatkan kepada mereka. Ketika salah
seorang membukanya dan pada halaman pertama, ia melihat kemarahan-kemarahan
orang-orang maka ia tidak setuju dengannya.
Proyek pertama yang dilakukan Imam Ali as berkenaan
dengan al-Quran adalah bertekad bahwa beliau as tidak akan keluar rumah
sehingga menyelesaikan pengumpulan dan penyusunan al-Quran. Hal ini sendiri
adalah ancaman terbesar bagi orang-orang yang memiliki maksud menodai al-Quran
Karim dan sebuah pedang tajam terhunus di atas kepala orang-orang yang ingin
mengurangi dan menambahi al-Quran. Sejarah mencatat bahwa dalam ayat:
إِنَّ كَثِيراً مِنَ الْأَحْبارِ وَ الرُّهْبانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوالَ النَّاسِ بِالْباطِلِ
hingga ayat berikutnya yang
berbunyi:
وَ الَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَ الْفِضَّةَ وَ لا يُنْفِقُونَها فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذابٍ أَلِيمٍ
ketika mereka ingin menghilangkan «واو» dari ujung «الّذين» hingga merubah arti ayat dan ingin menunjukkan bahwa «الّذين» ini yakni orang-orang yang menyimpan emas dan perak hanya para pendeta dan pastur saja bukan orang-orang yang berada di kalangan masyarakat Islam yang melakukan perbuatan pengkhianatan seperti ini, Abu Dzar, seorang sahabat agung menghunuskan lidah tajamnya di atas kepala mereka sehingga tahrif ini tidak terlaksana. Akan tetapi proyek Ali as lebih tinggi dari hal-hal ini.
Beliau as (menurut Abu Rafi’) duduk di rumah dan
menyusun al-Quran sebagaimana turunnya (bukan berarti bahwa beliau as
mengumpulkan sekumpulan ayat dan surat menurut urutan turunnya karena hal
tersebut telah terlaksana, dan urutan yang sekarang ini keluar dari ikhtiar
manusia bahkan Nabi saw, akan tetapi menentukan sebab turun dan mengenai
siapa-siapa dan kapan ayat-ayat turun dan hal ini adalah keterjagaan al-Quran
dan arti-artinya dari bahaya tahrif maknawi. Oleh karena itu beliau as
memberikan motifasi kepada murid-murid untuk mempelajari dalam tafsir sebab
turun dan urutan turun ayat dan surat dan supaya mengajarkan kepada yang lain
berkenaan dengan siapa-siapa, kejadian-kejadian apa dan kondisi-kondisi apa
ayat-ayat diturunkan). Dari Ibnu Hajar juga dinukil kandungan yang demikian dan
riwayat ini dicatat oleh Ibnu Abi Dawud Nasa’i dengan sanad shahih dari Abdullah
bin Umar.
Husain bin Ali bin Abi Thalib as juga berkata, Imam
Ali as dalam sebuah ungkapan mengatakan: Bertanyalah kepadaku mengenai al-Quran
sehingga aku katakan bahwa ayat-ayatnya turun berkenaan dengan siapa-siapa saja
dan kapan.
Adapun untuk memahami urgensitas penjelasan urutan,
kapan dan kondisi turunnya ayat-ayat, kami berikan dua contoh; salah satunya
berkenaan dengan ahkam (hukum-hukum) dan satu lagi menyangkut sebab turun.
Dalam surat al-Baqarah kita memiliki dua ayat
berkenaan dengan kematian dan hukum isteri-isteri yang salah satunya nasikh
(menghapus) dan yang lain mansukh (yang dihapus). Akan tetapi ayat nasikh
berada sebelum ayat mansukh (ayat nasikh adalah ayat 234 dan ayat mansukh 240).
Untuk mengetahui manakah ayat nasikh dan manakah mansukh perlu mengenal
persyaratan-persyaratan turunnya ayat, dan tentu saja semua orang mengetahui
hukum nasikh dan mansukh semenjak masa pengumpulan dan penyusunan al-Quran
hingga sekarang, dan malaikat wahyu juga menyampaikan tempat atau posisi
ayat-ayat kepada Nabi saw. Dari Ibnu Abbas bahwa ketika ayat tertentu turun,
malaikat wahyu berkata kepada Nabi saw, letakkanlah ayat ini di ujung ayat ini.
Bagaimanapun, mengetahui urutan turunnya ayat-ayat memiliki urgensitas luar
biasa dari sisi bahwa ayat nasikh dari mansukh dapat dikenal.
Contoh berikutnya mengenai sebab turunnya ayat.
Sejarah perang Uhud dimuat dalam surat Aali ‘Imran. Mengenai bagaimana
terjadinya perang Uhud ditanyakan kepada Abdurrahman bin ‘Auf atau sahabat lain
Rasulullah saw dan ia mengembalikan kepada ayat-ayat setelah ayat 120 surat
Aali ‘Imran, dan berkata: Jika engkau membacanya maka seolah-olah engkau ikut
serta dalam perang ini bersama kami.
Di antara kejadian-kejadian perang Uhud adalah pada
mulanya kemenangan diraih oleh kaum Muslimin akan tetapi setelah pengosongan
lereng gunung oleh para pemanah dan serangan pasukan berkuda tentara musuh ke
tempat itu, maka tekanan musuh menjadi berlimpah. Nabi saw memberikan perintah
supaya kaum Muslimin naik dari lereng gunung depan dan bersandar ke gunung
serta mundur karena ketidakkompakan sedikit pasukan.
Nabi saw berada di barisan belakang tentara dan beliau
saw juga menaiki lereng gunung, akan tetapi beliau saw berada dalam serangan
bahaya pasukan berkuda musuh yang sedang beraksi melakukan pembunuhan tanpa
belas kasih.
Ayat 153 menunjukkan hal tersebut:
إِذْ تُصْعِدُونَ وَ لا تَلْوُونَ عَلى أَحَدٍ وَ الرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ فِي أُخْراكُمْ فَأَثابَكُمْ غَمًّا بِغَمٍّ لِكَيْلا تَحْزَنُوا عَلى ما فاتَكُمْ وَ لا ما أَصابَكُمْ وَ اللَّهُ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ
“(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada
seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain
memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan,
supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan
terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Hingga di sini tidak ada permasalahan dan ayat-ayat
menceritakan kelanjutan peristiwa tersebut, akan tetapi secara tiba-tiba Allah
swt mengecam orang-orang yang berpaling dari musuh dan melarikan diri, ayat
155:
“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu
pada hari bertemu dua pasukan itu [pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum
musyrikin], hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian
kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau)."
Maka jelas bahwa mereka adalah sekelompok dari tentara
Islam, akan tetapi siapa-siapa mereka tersebut harus dijelaskan oleh pribadi
tinggi seperti Ali as.
Dalam sirah (sejarah) paling kuno yang pengarangnya
wafat pada tahun 207 H dan sirah Ibnu Ishaq terlihat, al-Maghazi Ibnu Syihab
az-Zuhri dapat disaksikan dan seluruh riwayat menjadi bahan kajian dan dicatat
serta dinyatakan: Ketika berita tentang terbunuhnya Nabi saw tersebar melalui
lidah kaum kafir di tengah-tengah Muslimin, mereka bercerai berai dan sebagian
telah sampai di Madinah dan orang pertama yang datang ke Madinah dan
menceritakan berita tentang terbunuhnya Nabi saw adalah Sa’d bin Utsman yang
berlaqab Abu ‘Ubadah. Setelah itu sekelompok lain masuk ke kota menuju
isteri-isteri mereka. Para isteri mencaci mereka dan mengatakan, kalian
melarikan diri dari sisi Rasulullah saw. Salah seorang wanita adalah Ummu Aiman
yang dalam menghadapi sekelompok orang melemparkan tanah ke muka mereka, dan
mengatakan kepada salah seorang dari mereka: Kemarilah, ambil lipatan ini dan
lipatlahlah serta berikan pedangmu kepadaku. Setelah itu ia pergi ke Uhud
bersama sekelompok wanita.
Namun pada arah berlawanan, Ali bin Abi Thalib,
Thalhah bin Ubaidillah, Sa’d bin Abi Waqqash dan sekelompok dari kaum Anshar
yang nama-nama mereka tercatat seluruhnya dalam sejarah berperang melawan musuh
dengan gigih dan menjaga Nabi saw.
Nashibah puteri Ka’b Ummu ‘Umarah yang datang ke medan
perang sebagai pemberi minum dan perawat ketika melihat gigi dan dahi Nabi saw
retak, dada Nabi saw terluka, ia mengangkat pedang dan membunuh beberapa orang.
Ia sendiri dan beberapa orang anggota keluarganya bertahan dalam perang itu.
Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat pemberani,
menjadikan tangannya sebagai tameng supaya pedang Ibnu Qumaishah tidak turun di
pundak Nabi saw sehingga jarinya terpotong dan sampai akhir umurnya menjadi
saksi pembelaannya kepada Nabi saw. Dalam kondisi seperti itu Nabi saw terjatuh
ke dalam sebuah lubang dari lubang-lubang yang digali oleh Abu ‘Amir Rahib
(yang dijuluki oleh Nabi saw sebagai munafik) dan ditutupi permukaannya,
seorang bernama Syimas bin Utsman menjadikan dirinya sebagai tameng melindungi
Nabi saw di hadapan pedang-pedang yang menebas ke arah Nabi saw dan syahid di
tempat itu. Mereka adalah para pahlawan kejadian tersebut. Akan tetapi
sekelompok orang juga melarikan diri sehingga Nabi saw bersabda kepada
Nashibah, pahlawan wanita yang bekas-bekas tebasan pedang musuh membekas pada
tubuhnya hingga akhir hayatnya: “Perbuatanmu lebih baik daripada orang-orang
yang melarikan diri (disebutkan nama-nama mereka).”
Di lobang tersebut, sementara lutut suci Nabi saw
terluka dan beliau saw tidak dapat berdiri, Ali as mengambil tangan beliau saw
dan Thalhah meraih bawah pundak beliau saw dan pergi ke atas lereng gunung, dan
ketika itulah kaum Muslimin juga sampai, dan mengelilingi serta melindungi Nabi
saw dari musuh.
Apapun yang terjadi, sya’n nuzul secara detail
menjelaskan bahwa siapakah orang-orang tersebut dan ayat-ayatnya berkata apa.
Hal ini sedemikian jeli hingga dalam perang ini salah seorang dari kaum
Muslimin yang memiliki permusuhan dengan yang lain membunuhnya secara
tiba-tiba. Setelah beberapa waktu berlalu, ketika mereka menangkapnya Nabi saw
menghakiminya dan menghukumnya dengan hukuman mati. Apapun yang terjadi,
orang-orang yang bertahan, para pahlawan dan orang-orang yang melarikan diri
namanya tertulis dengan terperinci dalam tafsir-tafsir dan juga dalam kitab-kitab
hadis shihah terutama shahih Bukhari.
Khalid bin Walid (panglima tentara pasukan berkuda
yang menyerang dan membunuh banyak kaum Muslimin) setelah beberapa waktu ketika
masuk Islam berkata di Syam: Aku bersyukur kepada Allah karena telah memeluk
Islam dan Allah telah memberikan hidayat kepadaku, dan setelah itu berkata,
kesaksianku dalam perang Uhud adalah bahwa kaum Muslimin melarikan diri, aku
melihat seorang kerabat yang melarikan diri sendirian. Aku berada dalam
kepemimpinan tentara berkuda yang kuat. Karena aku masih berkerabat dengannya,
maka aku khawatir bila aku mendekatinya, maka tentara akan menangkap dan
membunuhnya, oleh karena itu aku membelokkan arah sehingga ia tidak terlihat
tentara.
Demikian juga dalam sirah Ibnu Hisyam, dalam kitab Waqidi
dan seluruh shihah terdapat bahwa Anas bin Nadhar, paman Anas bin Malik,
melihat seorang sahabat yang sedang duduk-duduk dengan sekelompok orang. Ia
bertanya kenapa mereka duduk, mereka menjawab, Rasulullah saw telah terbunuh.
Ia berkata, setelah beliau saw untuk apa kalian ingin hidup. Bangkitlah dan
berperanglah demi apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah hingga terbunuh.
Ketika itu sahabat tersebut berdiri dan berperang hingga terbunuh dan tampak
puluhan luka di badannya.
Di sinilah jelas bahwa penulisan sya’n nuzul oleh Ali
as memberikan manfaat apa. Supaya hak para pahlawan yang membela Nabi saw
seperti Thalhah bin Ubaidillah tidak disia-siakan dan jelas siapa saja yang
melarikan diri. Maka ketika itu sekelompok penulis resep berkhianat dan menghapus
sebagian nama-nama. Silahkan amati nama-nama yang kami nukil dari kitab Waqidi
ini apa yang mereka lakukan dan usaha Amirul Mukminin Ali as bernilai apa dalam
menghapus kepalsuan-kepalsuan. Bila ini tidak ada, kita tidak dapat memahami
kejadian-kejadian yang berlangsung. Akan tetapi mereka tidak membiarkan tafsir
Amirul Mukminin as dengan urutan turun, sebab dan kejadian-kejadiannya
tersebar. Sebagian sahabat setia mempelajari sebagian hal tersebut dan terdapat
dalam sejarah dan tafsir-tafsir seperti kisah Anas bin Nadhar.
Sangat disayangkan sekali mereka ingin menyingkirkan
orang yang membela dan menyelamatkan Nabi saw dari kebinasaan tersebut dan
ingin meninggikan orang-orang yang melarikan diri. Mereka tidak membiarkan
keterangan al-Quran dan tafsir Ali bin Abi Thalib as tersebar. Imam Ali as
setelah perang Jamal, ketika memasuki Bashrah, datanglah seorang Badui dan
menjelek-jelekkan Thalhah. Imam Ali as menegornya dan berkata, engkau tidak ada
dalam perang Uhud dan tidak melihat bagaimana ia berkhidmat dan kedudukan dan
tingkatan apa yang dimiliki di sisi Allah swt. Orang tersebut merasa malu dan
terdiam. Orang lain bertanya, khidmat apa yang dilakukan? Beliau as menjawab,
ia menjadikan dirinya sebagai perisai Nabi saw sementara dari setiap arah datang
tebasan pedang dan tusukan tombak. Dari satu arah aku dan dari arah lain Abu
Dujanah membuat mundur para penyerang sementara Sa’d bin Abi Waqqash dari arah
lain. Aku dengan sendirian membuat mundur tentara berkuda yang dikomando oleh
‘Ikrimah bin Abu Jahal sementara mereka mengepungku dari setiap penjuru dan
untuk kedua kalinya aku mendesak mereka mundur dan aku kembali…
Di sinilah penjelasan dan tafsir Ali bin Abi Thalib as
menyelamatkan al-Quran dari perubahan maknawi, dan sebagaimana mestinya beliau
as menyampaikannya kepada generasi-generasi dan murid-murid beliau as seperti
Ibnu Abbas dan yang setelahnya membawanya ke hadapan kita.
Ya Allah! Jadikanlah kami menghargai nikmat wilayah Amirul Mukminin Ali as. Amin Ya Rabbal ‘alamin. []
Ya Allah! Jadikanlah kami menghargai nikmat wilayah Amirul Mukminin Ali as. Amin Ya Rabbal ‘alamin. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar