Minggu, 22 September 2013

Kesempurnaan Rasulullah dalam al-Quran

Sebagaimana amal-amal lahiriah memiliki dua tahapan, amal-amal kalbu juga memiliki dua tahapan. Ketika hati itu kotor, maka ia mulai menyenangi dosa, setelah itu mulai ingin mendekati dosa dan akhirnya melakukan dosa.

Proses hati untuk mendekati dosa itu tidak terjadi dalam diri nabi-nabi karena Allah Swt segera menghentikannya.
وَلَولَآ اَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيْلًا
“Dan sekiranya kami tidak memperteguh (hati)mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka” (QS. Al- Isra : 74).

Tentu, bukan hanya hasrat saja yang tidak terjadi dalam hati seorang nabi yang, melainkan juga bahkan mendekati hasrat. Kata “tarkanu” berasal dari “ruknun” yang berarti “mayl”, menyukai, mengharapkan, menginginkan (walaupun dalam kualitas yang sangat rendah).

Pengendali Dosa
Adapun maksud dari memperteguh (tatsbit) yaitu Tuhan tidak memberikan peluang kepada hasrat-hasrat nabi untuk meluapkan keinginannya. Itu juga dilaksanakan oleh Allah Swt terhadap Nabi Yusuf as :

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَآ اَنْ رَّءَا بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَالِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ والْفَخْشَآءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا مُخْلَصِيْنَ

"Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih." (QS. Yusuf : 24).

Artinya kami akan menutup suara-suara setan yang ingin menggodamu. Kami akan menyelamatkanmu dari tindakan dosa. Kami tidak memberikan kesempatan secuil pun pada dosa untuk mendekatimu. Tapi bukan berarti kami menyandera hatimu dari dosa.

Yang mengendalikan atau menurut ayat tersebut yang men-tatsbit adalah daya akal nazhari dan amal nazhari yang terdapat dalam pribadi Muhammad saw. Daya itulah yang selalu merujuk kepada Allah Swt.
العقل ما عبد رحمن واكتسب به الجنان Akal adalah yang mendorong untuk menyembah Allah dan meraih surga. (Ushul Kafi, Juz 1:11).

Rasulullah saw mencapai kesempurnaan berkat inayah dari Allah Swt, karena itu pula nabi-nabi yang lain memberikan penghormatan padanya. Demikian juga malaikat-malaikat menyungkur bersujud di depannya, 
فَسَجَدَ الْمَلَئِكَةُ قُلُّهُمْ أَجْمَعِيْنَ
maka bersujudlah semua malaikat (QS: Al-Hijr : 30).

Para ahli hikmat, urafa dan juga para ahli kalam memiliki pandangan yang berbeda tentang isu kemaksuman nabi-nabi.

Para ahli kalam mengatakan bahwa risalah kenabian itu adalah bagian dari luthf Allah Swt. Allah swt akan melakukan segala cara agar manusia tidak melakukan dosa. Apakah itu dengan mengirimkan para malaikat, mengutus nabi-nabi, termasuk juga dengan memberikan karakter yang membuat dirinya terpelihara dari dosa, yaitu ismah. Sebab kalau manusia tidak terpelihara, tidak dijaga, akan diragukan keajegannya. Nabi atau para imam harus maksum artinya mereka tidak boleh melakukan kesalahan, kealpaan dan perilaku negatif.

Rasionalitas dari para ahli kalam untuk mendukung pendapat mereka adalah sebagai berikut:
Pertama, kalau para nabi menyampaikan berita tentang alam gaib yang sulit diverifikasi sementara mereka sendiri tidak terjaga dari perbuatan dosa, lupa atau lalai, maka pesan mereka menjadi meragukan. Sang pembawa pesan langit tidak cukup semata-mata memiliki karakter keadilan (‘adalah). ‘Adalah memang membentengi seseorang dari perbuatan dosa tapi tidak membentenginya dari lalai. Jadi akan sulit mempercayai pesan-pesan langit yang mereka bawa seandainya mereka hanya dikarunia sifat ‘adalah.

Kedua, seorang rasul adalah pemimpin umat yang akan diikuti dan diteladani oleh umatnya. Jika rasul-rasul itu tidak benar dalam menjalankan perbuatannya maka tidak ada satu pun manusia yang akan mengikuti jejaknya.

Ketiga, jika nabi-nabi melakukan kesalahan, maka umatnya harus menghentikannya. Alih-alih diikuti dan diteladani malah nabi-nabi itu yang harus mengikuti umatnya. Ini adalah paradoks.

Keempat, argumentasi filosofis mengatakan bahwa nafs kalau sudah mencapai tahapan akal mustafad secara aktual maka ia memiliki kemampuan untuk mengetahui seluruh ilmu dan seluruh hakikat dan menyampaikannya secara benar. Ibnu Sina mengatakan bahwa nabi-nabi itu itu terpelihara dari kesalahan dan kealpaan karena maqamnya.

Orang-orang suci telah menggapai posisi yang bersih dari ilusi (wahm), khayalan, dan was-was syaitan, Mereka menjadi manusia yang terpelihara dari kekeliruan dan kealpaan.

Ringkasnya, karena nafs manusia mencapai tahapan paling sempurna dalam level akal teoritis (nazhari) dan akal praktis (amali), maka tidak lagi direcoki oleh wahm, kemurkaan (ghadhab), dan syahwat. Ia telah mencapai tahapan awal dari empat safar yang hanya bisa dicapai oleh sang nabi dan rasul.

Menurut teori irfan, seluruh eksistensi adalah manifestasi (tajalliyat) dari nama-nama (asma) Allah dan insan kamil adalah yang menghimpun seluruh nama ini (mikrokosmos). Insan kamil adalah khalifatullah. Bukan saja manusia yang tergantung kepada khalifatullah tapi juga malaikat-malaikat.

Argumentasi kalam atau filosofis maksimal hanya menegaskan bahwa manusia adalah khalifatulah.

وَيُعَلِّمُهٌمٌ الْكِتَبَ والْحِكْمَةِ
Dialah yang mengajarkan kitab dan hikmah” (QS. Al-Baqarah : 129).

Tapi dalam pandangan urafa, manusia itu sangat mulia dari posisi tersebut. “Maka bersujudlah malaikat semuanya kepadanya” (QS. Al-Hijr : 30). 
  
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِى بِأَسْمَآءِ هَؤُلَآءِ إِنْ كُنْتٌمْ صَدِقِيْنَ

“Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua ini, jika kamu yang benar!” (QS. Al-Baqarah : 32).

Mulla Shadra mengatakan, dalam ilmu-ilmu rasional (ulum al-aqli) guru pertama adalah Aristoteles dan guru kedua adalah Farabi. Tetapi dalam ilmu-ilmu Ilahiah, guru pertama adalah Rasulullah saw dan guru kedua adalah Ali bin Abi Thalib. Namun kalau dilihat dari spektrum yang lebih luas, guru pertama awal adalah Allah Swt, guru kedua adalah Jibril, dan guru ketiga adalah Rasulullah saw.

Pernyataan Shadra yang dimuat dalam Syarah Ushul Kafi tersebut hanya berlaku dalam tataran entitas-entitas mumkinat (kontingensi, segala makhluk selain Tuhan yang ada/tidaknya perlu sebab eksternal, -penerj). Sementara, untuk seluruh eksistensi, Tuhan adalah guru pertama adalah juga guru terakhir:
هُوَالْأَوَّلُ وَالْأَخِرُ
“Dialah Yang Awal dan Dialah Yang Akhir”, (QS. Al-Hadid : 3)

Ia yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak mereka ketahui. Allah Swt juga adalah mualim Rasulullah saw :
 وَعَلَّمَكَ مَالَمْ تَكُُن تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيْمًا

Dan Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui, Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar” (QS. An-Nisa : 113).

Filosof, ahli kalam dan arif adalah para pengkaji ilmu-ilmu al-Quran. Tapi kapasitas mereka untuk mengkaji samudra al-Quran berbeda-beda. Bermodalkan kapasitas itulah mereka dapat memiliki udzunun wa’iyah (hati yang bertelinga). Tetapi pemahaman mereka terhadap al-Quran memiliki keterbatasan-keterbatasan. Memang betapa sukar untuk melepaskan diri dari kapasitas intelektual yang terbatas dan paradigma yang mereka anut.

Yang mengurus alam adalah para malaikat, khususnya malaikat-malaikat para pemikul arasy. Yang melaksanakan tugas meniup sangkakala kehidupan adalah malaikat Israfil. Yang mengurus aturan rezeki manusia adalah malaikat Mikail. Yang mengurus masalah kematian adalah malaikat Izrail dan malaikat-malaikat pembantunya. Yang mengurus urasan wahyu adalah Malaikat Jibril. Seluruh malaikat ini adalah murid-murid Insan Kamil. 

ببقائه بقية الدّنيا وبيمنه رزق الورى وبوجوده ثبتت الأرض وسماء , yang dengan kekekalannya kekallah dunia dan dengan keberkatannya manusia diberi rezeki dan dengan eksistensinya bumi dan langit []

Tidak ada komentar: