![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu59DXPPQvDDHt8MoQV2ETiTRJBCDeMiVdR1TjBo_JoDqb4RDryoqahhDP4mKCtQbSUOCjA8umsSDDpyBvy2ciMzC86brXx70oKkIGkN8j-xsbsHojykw8-djS-jWz2q-5txY0EwqcovTo/s200/CGBB36.png)
Di Madinah, tidak
jauh dari para Rasul yang agung, putera pendiri Islam tinggal dalam gubuk yang
sederhana. Pada malam-malam yang dingin, ia menghabiskan waktunya dalam ruku'
dan sujud. Zikirnya menyobek kesepian malam, melantunkan lagu-lagu suci para
Nabi. Lihatlah, ia datang berziarah ke pusara kakeknya. Ia merintih, mengadukan
keadaan ummat yang Ia saksikan. Dalam gemerlap istana para penguasa,cahaya
Islam telah padam, dalam bentangan daerah kekuasaan mereka, kaum mukminin yang
saleh menderita karena penindasan. Istana-istana telah didirikan dengan
merampas hak orang-orang yang lemah. Anggur yang diedarkan dalam cawan-cawan
merah diperah dari keringat dan darah kaum muslimin.
Awal Petaka Besar
Ia sampaikan kepada
Nabi apa yang dilakukan ummatnya. Nabi pernah berpesan agar ummatnya memelihara
dua pusaka yang ditinggalkannya: Kitabullah dan Keluarganya, Ahlul Bait-nya.
Sekarang Al-Qur'an hanya tinggal bacaan. Para ulama sewaan memutarbalikkan
maknanya. Lalu, dimana keluarga Nabi yang agung, di mana bahtera Nabi Nuh
(a.s.), di mana gemintang petunjuk jalan? Imam Ali (a.s.) dikhianati bekas
pengikutnya. Ketika ruku' pedang menebas kepalanya dan darah membasahi
jenggotnya. Padahal di zaman Rasul yang agung, ketika ruku' Imam Ali (a.s.)
menyerahkan sedekahnya kepada peminta-pemintanya.
Masih terngiang
ucapan Rasulullah kepada Imam Ali (a.s.), "Hai Ali, tidak akan mencintaimu
kecuali orang mukmin, dan tidak akan membencimu kecuali orang munafik."
Ketika Imam Ali (a.s.) berperang tanding dengan Amr bin Abdul Wudd di Khandaq,
Nabi sujud dan berdo'a: "Ya Allah, Engkau telah mengambil Ubaidah pada
perang Badar dan Hamzah pada perang Uhud, jangan Engkau mengambil Ali, jangan
tinggalkan aku sendirian." Imam Ali menang, Rasulullah memeluknya, air
mata, deras membasahi pipinya.
Kini putera Imam Ali,
Al-Husein mendengar para khatib melaknat ayahnya di mimbar-mimbar. Imam Ali
(a.s.) yang meruntuhkan benteng Khaibar, yang memenangkan perang Badar, kini
dicaci maki. Imam Ali, suami puteri kesayangan Rasulullah dianggap murtad dari
agama. Imam Ali yang tidur di ranjang Nabi ketika Nabi berangkat hijrah, yang
mengantarkan hijrah keluarga Nabi dengan berjalan kaki ratusan kilo meter
sehingga melepuh kedua telapak kakinya, kini dimusuhi kaum muslimin.
Imam Hasan bersedia berdamai asalkan Muawiyah menghentikan kecaman terhadap ayahnya, Ia dikhianati. Muawiyah melanggar janji. Bahkan Imam Hasan, penghulu surga ini diserang diatas kendaraannya dan diracun oleh orang yang terdekat dengannya. Para pecinta Imam Ali dikejar-kejar dan dianiaya. Lihatlah, Hujur bin Adi dan sahabat-sahabatnya dikubur hidup-hidup. Puluhan orang jama'ah Masjid dipotong tangannya karena tidak mau melaknat Imam Ali (a.s.).
Imam Husein menangis, merintih di depan pusara kakeknya. Ia mengadukan semua kezaliman ummat terhadap Ahlul Bait dan para pengikutnya. Dengarkan Al-Husein berkata kepada kakeknya, "Salam bagimu,ya Rasulullah. Inilah aku, Al-Husein puteri fathimah. Kesayanganmu, cucumu dan pusaka yang kau tinggalkan kepada umatmu. Saksikan, ya Nabi Allah, mereka telah menghinaku, menyia-nyiakan aku, dan tidak menjagaku. Aku mengadu kepadamu, sampai aku bertemu denganmu". Kemudian Imam Husein shalat beberapa rakaat. Setelah shalat, Ia berdo'a: "Ya Allah, inilah kubur Nabi-Mu, Muhammad SAW. Aku anak dari puteri Nabi-Mu. Telah terjadi padaku peristiwa yang telah Engkau ketahui. Ya Allah, aku mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Aku bermohon pada-Mu, wahai pemilik keagungan dan kemuliaan, dengan hak kubur ini dan penghuninya. Pilihkan bagiku urusan yang Engkau ridhai, yang diridhai Rasul-Mu, yang diridhai kaum mukminin". Ia menangis terus sampai menjelang waktu subuh. Ia meletakkan kepalanya di atas pusara kakeknya sampai tertidur. Tiba-tiba Ia melihat Nabi yang mulia datang, dikawal para Malaikat di sebelah kiri dan kanan, di muka dan di belakang. Nabi merapatkan Al-Husein ke dadanya dan mencium di antara kedua matanya, sambil berkata, "Husein sayangku, seakan telah kulihat tubuhmu bersimbah darah, terbantai di Karbala, di tengah-tengah ummat-ku. Waktu itu engkau kehausan dan tidak diberi minum, engkau dahaga dan tidak dipuaskan. Padahal mereka mengharap syafa'at-ku. Tidak, mereka sama sekali tidak akan mendapat syafa'at-ku pada hari kiamat. Mereka binasa di sisi Allah. Kasihku, Husein, ayahmu, ibumu dan saudaramu menitipkan salam padaku, mereka merindukanmu. Bagimulah derajat tinggi di surge yang tak tercapai kecuali dengan kesyahidanmu".
Di makam Rasulullah,
Imam Husein berjanji untuk menegakkan kembali Islam yang sebenarnya, Islam yang
diajarkan oleh kakeknya. Islam yang menentang kezaliman, Islam yang melawan
penindasan, Islam kaum mustadh'afin. Esoknya Ia menghimpun keluarganya,
berangkat menuju Kufah. kepergiannya mengguncangkan hati banyak sahabat Nabi.
Ummu Salamah, Ummul
Mukminin, isteri Rasulullah SAW mengantarkannya dengan linangan air mata. Ummu
Salamah terkenang saat ia bersama Rasulullah. Dengarkan cerita Ummu Salamah:
"Pada suatu malam Rasulullah berbaring untuk tidur, kemudian bangun
kembali dalam keadaan resah, berbaring kembali lalu bangun kembali. Di
tangannya ada segenggam tanah merah. Ia mencium tanah itu. Aku bertanya, tanah
apakah ini ya Rasulullah ?, Rasulullah menjawab, baru saja Jibril memberitakan
padaku bahwa Al-Husein akan terbunuh di Karbala. Inilah tanah, tempat darahnya
tumpah. Kemudian ia memberitakan padaku seraya berkata: Tanah ini berasal dari
tanah tempat Al-Husein akan terbunuh. Kalau tanah ini nanti berubah menjadi
darah, ketahuilah Al-Husein sudah terbunuh. Kemudian aku menyimpan tanah itu
didalam botol. Aku bertanya, hari itu hari berkabung bila tanah ini telah
berubah menjadi darah".
Detik-Detik
Darah Suci Tertumpah Di Tanah Karbala
Suasana kota Kufah
tercekam kezaliman dan ketidak-adilan, ajaran Islam diselewengkan oleh penguasa
zalim Ibnu Ziyad, Gubernur kepercayaan Yazid bin Muawiyah. Penduduk Kufah tidak
tahan menghadapi kenyataan itu. Mereka mengirim surat kepada Imam Husein,
isinya mengharapkan bimbingan ruhani dari cucu kesayangan Rasulullah SAW.
Mereka berjanji akan membai'at kepadanya sebagai khalifah mereka.
Setelah melakukan
ibadah haji, Imam Husein beserta rombongannya pergi meninggalkan Makkah menuju
Kufah untuk memenuhi harapan penduduk Kufah.
Menjelang senja
tanggal 2 Muharram, Imam Husein dan rombongannya tiba di suatu tempat kurang
lebih 70 km dari kota Kufah, tempat itu adalah Karbala. Di tempat itu Imam dan
rombongannya berhenti. Selesai shalat dan berdo'a, Imam memerintahkan
rombongannya memancangkan kemah-kemah untuk istirahat dan melepaskan lelah
karena perjalanan yang cukup jauh.
Pengawasan yang begitu ketatnya oleh penguasa zalim, sehingga berita keberangkatan Imam Husein dan rombongan terdengar oleh Gubernur Kufah, Ibnu Ziyad mempersiapkan 4.000 orang yang merupakan pasukan dengan peralatan perang yang lengkap untuk menghadang Imam Husein dan rombongannya yang berjumlah 72 orang.
Matahari ketika itu
sudah condong ke Barat, waktu Ashar sudah hampir lewat untuk digantikan oleh
maghrib. Di perkemahan Al Husain suasana diliputi oleh kehausan dan kelesuan
karena kekurangan air dan pangan. Suasana panas terik di petang hari itu tambah
mencekam. Al Husain sendiri sedang duduk dengan tenang di depan kemahnya untuk
sekedar melepaskan lelah dan mengendorkan ketegangan pikiran. Ia sama sekali
tidak memperhatikan dan mengetahui apa yang sedang terjadi di kalangan pasukan
Ubaidillah. Ia tidak mengetahui, bahwa seorang kurir dari Kufah telah datang
membawa jawaban Ubaidillah bin Ziyad atas usul-usul yang dikemukakannya melalui
Umar bin Saad.
Dan lebih-lebih lagi
ia tidak mengetahui apa isi surat jawaban penguasa Kufah itu. Karena terlalu
lelah dan payah, akhirnya Al Husain jatuh tertidur.
Sitti Zainab, adik
perempuan yang selalu berada tidak begitu jauh dari tempatnya, tiba-tiba datang
setengah berlari dan segera membangunkannya.
"Kak Husain! Kak
Husain!" kata Sitti Zainab sambil menggoncang-goncangkan tangan kakaknya
yang tertidur di depan kemahnya. Al Husain yang terkejut karena dibangunkan
dengan tiba-tiba itu sebelum sempat menanyakan apa-apa yang telah ditukaskan
oleh adiknya. "Apakah kau tidak mendengar suara gemuruh yang makin
mendekat itu?"
Suara Sitti Zainab
yang mengandung ketakutan itu mendapat jawaban yang tenang dari kakaknya: "Adikku,"
kata Al Husain sambil memandang dengan kasih sayang kepada adik yang sangat
disayanginyaitu, "Aku baru saja bermimpi bertemu dengan kakek kita, Rasul
Allah SAW."
Tanpa memperdulikan
apa yang dikatakan oleh adiknya, Al Husain kemudian melanjutkan: "Dalam
mimpi tersebut beliau mengatakan kepadaku demikian: 'Wahai Husain, engkau akan
datang menyusul aku!'…"
Mendengar mimpi
kakaknya itu, Sitti Zainab tidak dapat menahan perasaannya lagi. Sambil memukuli
wajahnya sendiri ia berteriak-teriak: "Aduh, alangkah celaka aku
ini!"
Tetapi Al Husain
tetap bersikap tenang, bahkan ia berusaha menenteramkan adiknya dengan
kata-kata: "Engkau tidak akan celaka, Zainab. Diamlah, adikku. Tenanglah.
Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepada engkau!"
Selesai mengucapkan
kata-kata penenang bagi Sitti Zainab itu, Al Husain kemudian berdiri dan
berjalan menuju ke tempat adiknya, yaitu Al-Abbas bin Ali. Kepada adik
lelakinya itu Al Husain memerintahkan untuk mengecek apa sebenarnya suara
gemuruh itu dan apakah memang benar bahwa suara itu adalah suara derap
kuda-kuda musuh yang datang untuk menyerang mereka. Tidak perlu lama Al Husain
menunggu jawaban, sebentar kemudian Al-Abbas bin Ali telah datang dengan tergesa-gesa.
"Musuh benar-benar telah mendekat dan siap untuk melakukan penyerangan
guna membinasakan rombongan kita!" Demikian dilaporkan oleh Al-Abbas bin
Ali.
Menerima laporan ini
Al Husain segera mengirimkan seorang utusan untuk menemui komandan pasukan penyerbu
itu. Ia mengusulkan agar supaya pertempuran ditunda sampai esok hari.
"Berikanlah
kesempatan kepada kami pada hari ini untuk melakukan sholat dan ibadah kepada
Allah SWT untuk memohon do'a dan istighfar…" Demikian kata Al Husain
kepada komandan pasukan ibnu Ziyad itu.
Menghadapi usul yang
tiba-tiba itu, Umar bin Saad kemudian melakukan perundingan sebentar dengan
komandan-komandan dan bawahannya dan beberapa orang perwira. Akhirnya
pertempuran yang hampir saja pecah pada petang itu mereka mufakati untuk
ditunda sampai esok pagi.
Malam hari itu juga setelah melakukan sholat Isya bersama-sama, maka Al Husain yang tahu betul bahwa pertumpahan darah sudah tidak akan bisa dielakkan lagi, segera mengumpulkan sahabat-sahabatnya yang masih tetap setia. Orang tahu betul bahwa pertempuran yang akan terjadi itu adalah sama sekali tidak seimbang. Tidak seorang pun di antara rombongan Al Husain yang punya harapan untuk menang.
Delapan puluh orang,
termasuk anak-anak dan perempuan, untuk menghadapi empat batalyon pasukan yang
terlatih dan lengkap persenjataannya! Hanya suatu keajaiban saja yang mungkin
bisa membalikkan keadaan.
Kepada sejumlah kecil
sahabatnya itu berkatalah cucu Rasul Allah SAW sebagai berikut:
"Sungguh, belum
pernah aku mengenal ada sahabat-sahabat yang melebihi kesetiannya (kepadaku)
daripada kalian ini. Demikian pula, aku belum pernah tahu, ada suatu keluarga
yang kebaikan hati mereka melebihi daripada keluargaku ini. Semoga Allah SWT
memberikan imbalan yang baik bagi kalian atas kebaikan dan kesetiaan kalian
terhadap diriku…" Demikian ucap Al Husain pada malam menjelang pertempuran
di tempat yang bernama Karbala itu.
Suasana hening,
keprihatinan mencekam. Dengan beratapkan langit yang cerah dan berbintang,
kelompok kecil itu dengan sungguh-sungguh memperhatikan Al Husain. "Ketahuilah
saudara-saudaraku," kata Al Husain melanjutkan, "bahwa aku memberikan
ijin kepada kalian untuk berpisah dengan aku. Karena itu, berangkatlah. Biarlah
kita berpisah dalam keadaan yang baik. Selamatkan diri kalian. Aku melepaskan
kalian dengan baik dan tiada lagi ikatan antara kalian dengan aku…"
Kata-kata tersebut
diucapkan dengan penuh rasa haru. Beberapa orang lelaki tidak dapat menahan
perasaannya, melelehkan air mata. Sedangkan perempuan-perempuan yang merapatkan
telinga di dinding tenda untuk mendengarkan apa yang diucapkan Al Husain,
terisak-isak. Malahan ada yang jadi histeris, berteriak-teriak melengking
memecah kesepian malam. Tetapi tanpa memperdulikan semuanya itu, berkatalah Al
Husain lebih jauh:
"… Kini kita
telah diselubungi oleh kegelapan malam. Nah, jadikan kegelapan ini sebagai
tabir yang kiranya dapat melindungi kalian dalam perjalanan yang akan kalian
lakukan. Aku mengharapkan agar tiap seorang di antara kalian bersedia membawa
dan menuntun salah seorang anggota keluargaku. Kemudian pergilah menyebar di
bumi Allah ini sehingga Allah SWT memberikan jalan keluar bagi kalian
semua…"
Berhenti sejenak ia
mereguk rasa haru yang tersendat dalam kerongkongannya untuk kemudian
melanjutkan dengan kata-kata:
"Hendaknya
saudara-saudara mengetahui, bahwa pasukan musuh yang akan datang menyerang
(esok pagi) tidak lain tujuannya kecuali untuk mencari aku. Kalau mereka
kemudian sudah berhasil menangkap dan membunuh aku, maka aku yakin mereka tidak
akan lagi memperdulikan orang-orang lain…"
Perasaan para
pendengar yang sudah lama tertekan mendengarkan kata-kata Al Husain yang
mengharukan itu akhirnya tidak dapat mereka endapkan lagi, dengan serentak,
seolah-olah ada suatu perintah ajaib, mereka berseru: "Ya, Subhanallaaah!"
Kemudian menyusul beberapa orang yang berkata dengan berbagai bentuk kalimat,
tetapi satu juga maknanya demikian:
"Apa yang akan
dikatakan orang kelak mengenai diri kami apabila kami meninggalkan Imam dan
pemimpin kami sebelum kami melepaskan sepucuk anak panah dan belum
menghunjamkan tombak dan menebaskan pedang-pedang kami terhadap musuh-musuh
kita? Apakah kami akan mengatakan bahwa kami telah meninggalkan pemimpin kami,
Al Husain, untuk menjadi umpan panah dan sasaran tombak musuh? Dan kemudian
jenazah pemimpin kami itu kami biarkan dikoyak-koyak oleh binatang-binatang
buas? Apakah kemudian kami akan mengatakan bahwa kami telah lari untuk
menyelamatkan diri kami agar kami dapat terus hidup? Apa yang hendak kami
katakan kepada kakekmu, Rasul Allah SAW, apabila kami bertemu dengan beliau di
alam baqa nanti? Dan bagaimana pertanggungan jawab yang harus kami berikan
kepada Allah SWT?"
Suasana tenang yang
mula-mula bersifat monolog mendengarkan ucapan Al Husain sekarang berubah
menjadi ucapan reaksi bermacam-macam.
"Demi
Allah," kata beberapa orang, "kami tidak akan melakukan perbuatan
demikian itu. Kami telah bertekad bulat untuk mengorbankan jiwa raga dan harta
kami bahkan juga keluarga kami untuk bertempur bersama-sama dengan engkau sehingga
kita bersama-sama menemui tempat yang memang disediakan untuk kita. Kami tidak
dapat membayangkan, betapa buruknya kehidupan kami sepeninggal engkau!"
Bahkan salah seorang
sahabat Al Husain itu dengan suara paling keras mengatakan: "Demi Allah,
kami tidak akan berpisah dengan engkau selama pedangku masih berada di
tanganku!"
Tidak dapat lagi Al
Husain yang keras hati itu menahan air mata harunya mendengarkan kata-kata
penuh keberanian yang dilandasi oleh ketulusan dan kecintaan pada dirinya itu.
Melihat Al Husain meneteskan air mata, suasana emosional penuh keberanian itu
berubah menjadi tangis bersama. Bukan tangis hati yang kecut, tetapi ungkapan
kesatuan perasaan yang tak dapat dibendung.
Tetapi Al Husain
segera menyadari, bahwa malam itu tidak boleh dihabiskan dengan ungkapan emosi.
Besok pagi telah menunggu tugas berat dan menentukan. Segera dimintanya segenap
anggota rombongan untuk beristirahat dan sebagian orang lagi berjaga-jaga
bergantian. Malam makin mendalam, sunyi makin mencekam. Ternyata orang-orang
dewasa hampir tak ada yang dapat memejamkan mata. Mereka bukan dihinggapi
kengerian, tetapi masing-masing dalam batin maupun ucapan menyampaikan do'a dan
berzikir ke hadirat Yang Maha Esa. Mereka mohon agar iman mereka diteguhkan
untuk menghadapi cobaan yang sudah menunggu di ambang pagi hari esok.
Di tengah-tengah kesepian yang mencekam di perkemahan Al Husain dan rombongannya itu, tiba-tiba memecah suara teriakan yang memilukan. Suara yang keluar dari kerongkongan seorang wanita itu seperti suatu keluhan: "Ah, Husain, pemimpin kami, pemuka yang jadi harapan kami! Oh, alangkah menyedihkan hidupku ini. Alangkah baiknya apabila aku mati daripada harus memikul beban kesedihan ini. Datang kini perasaanku oleh wafat Rasul Allah SAW, berpulangnya Sitti Fatimah bundaku, meninggalnya ayahku dan matinya saudaraku Al Hasan…"
Orang-orang
segera mengetahui bahwa suara memilukan itu adalah keluhan Sitti Zainab, puteri
Sitti Fatimah r.a. dan adik kandung Al Husain sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar