Seorang penulis
sejarah dan tokoh Islam, At Thobari, telah menulis bahwa dalam pertempuran
antara dua kekuatan yang tidak seimbang itu, seorang demi seorang sahabat Al
Husain maju mendesak ke depan menghadapi hujan panah dan sasaran tombak serta
kibasan pedang.
Kegagah-beranian mereka yang luar biasa saja yang memungkinkan mereka untuk bertahan melawan gelombang ribuan pasukan Umar bin Saad itu sampai tengah hari. Padahal pertempuran dimulai pada lepas fajar. Ketika saat dzuhur tiba, Al Husain tidak lupa segera memerintahkan anggota pasukannya untuk menghentikan perlawanan sebentar guna dapat melaksanakan sholat dzuhur.
Kegagah-beranian mereka yang luar biasa saja yang memungkinkan mereka untuk bertahan melawan gelombang ribuan pasukan Umar bin Saad itu sampai tengah hari. Padahal pertempuran dimulai pada lepas fajar. Ketika saat dzuhur tiba, Al Husain tidak lupa segera memerintahkan anggota pasukannya untuk menghentikan perlawanan sebentar guna dapat melaksanakan sholat dzuhur.
Segera setelah selesai melakukan sholat itu, mereka kembali melanjutkan pertempuran. Tetapi sebagaimana sudah diduga semula, betapapun juga kegagah-beranian para pengikutnya, tetapi jumlah mereka yang kecil menghadapi lawan yang demikian besar, akhirnya tak dapat berlanjut. Pasukan Al Husain yang selalu mengelilingi putera Rasul Allah SAW itu akhirnya satu per satu gugur hingga habis semua.
Tinggal lagi di
antara rombongan Al Husain itu kemudian para anggota keluarga Al Husain
sendiri. Majulah kemudian yang pertama di antara keluarga Al Husain itu, Abdullah,
putera Muslim bin Aqil. Dengan penuh ketabahan ia menyerbu ke depan sambil
mengucapkan syair yang berbunyi:
Bertemu ayahku aku hari ini dan pemuda-pemuda yang gugur membela Nabi
Mereka adalah
keturunan yang mulia berbudi pekerti, bukan pendusta…
Menyusul kemudian tampil maju ke depan Abdullah, putera Al Hasan bin Ali yang langsung disusul oleh Ali Al-Akbar putera Al Husain, seorang muda remaja yang baru mencapai usia 19 tahun. Mereka menerjang tanpa mengenal takut sedikit pun menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Dengan wajah yang memancar sebagai pencerminan suatu keberanian, putera Al Husain tersebut maju dengan pedang terhunus di tangan kanan. Juga di tengah bahaya maut ini ia terus bersyair dengan mengatakan:
Aku putera Husain bin Ali
Dari ahlul-bait yang
terdekat pada Nabi
kutebaskan pedangku
hingga melengkung
pukulan pemuda Bani
Hasyim yang patut
hingga kini tetap aku
pelindung ayahku,
Demi Allah,
diperintah anak Ziyad aku tak mau.
Dengan mendendangkan syair ini ia terus menggebu-gebu menebaskan pedangnya ke tangah-tengah musuh. Riwayat menyatakan bahwa demikian kuat tenaga anak muda ini dan tangkas ia memainkan pedangnya, sehingga menurut taksiran tidak kurang dari 200 anggota pasukan Umar bin Saad yang berhasil dibunuhnya. Selesai menjalankan tugasnya dengan gagah berani itu Ali Al-Akbar kemudian menyempatkan diri untuk menghadap ayahnya sambil berseru:
"Oh, ayah, aku haus sekali …"
Mendengar permintaan anaknya itu Al Husain yang tengah memusatkan tenaga dan keberaniannya menghadapi musuh sempat meneteskan air mata.
"Sabarlah, anakku sayang. Tidak lama lagi kakekmu Rasul Allah akan memberimu minum dari gelasnya…," kata Al Husain dengan penuh kasih sayang. Mendengar jawaban ini, tanpa menghiraukan lagi kehausan yang mencekiknya, Ali Al-Akbar kembali terjun ke medan laga. Segenap tenaganya dikerahkan untuk dapat lebih banyak menghabiskan riwayat musuh-musuhnya. Tetapi sepucuk anak panah tak lama kemudian menembus dadanya. Ia terjatuh tersungkur sambil memegangi bagian dada yang ditembus anak panah itu tepat di hadapan ayahnya.
Tanpa menghiraukan keadaan di sekelilingnya, Al Husain segera mendekati anaknya dan sambil memegang badan Ali Al-Akbar berkatalah ia:
"Semoga Allah SWT membunuh mereka yang membunuh engkau, anakku. Oh, alangkah beraninya mereka menentang Allah SWT dan menginjak-injak kehormatan Rasul-Nya…"
Kata-kata Al Husain ini rupanya tak sempat lagi didengar oleh Ali Al-Akbar, karena ia telah mendahului gugur di medan perang Karbala ini.
Rupanya para wanita yang berada dalam kemah-kemah rombongan Al Husain terus-menerus mengintip jalan pertempuran itu dari jarak yang begitu jauh. Tanpa menghiraukan bahaya desingan panah, Sitti Zainab yang melihat dengan jelas apa yang terjadi atas diri Ali Al-Akbar, segera ia berlari meninggalkan kemahnya dan menuju ke tempat putera Al Husain itu gugur. Dengan berteriak-teriak:
"Oh, kekasihku… Ooooh, anak saudaraku," ia kemudian memegang kepala Ali Al-Akbar yang penuh berlumuran darah. Dipeluk dan diciumnya tubuh yang bermandikan darah itu dengan disertai tangis dan ratap yang mengibakan tanpa menghiraukan sama sekali bahwa di sekelilingnya sedang berkecamuk suatu pertempuran antara kekuatan yang kecil sekali melawan kekuatan besar. Al Husain yang segera menyadari bahaya ini segera memegang tangan adiknya dan membawanya kembali untuk masuk ke dalam kemah.
Adegan ini menjadi
bertambah memilukan karena dari dalam kemah terdengar tangis bayi yang tiada
henti-hentinya. Tangisan itu keluar dari mulut Ali Al-Asghar yang masih sangat
kecil karena merasakan haus yang luar biasa. Al Husain yang datang mengantar
adiknya seketika lupa akan tugasnya dalam pertempuran. Tangisan kesedihan anak
bayinya itu telah menggerakkan hati seorang ayah. Segera diangkatnya anaknya
dan dibawanya ke luar. Sambil menggendong anaknya itu Al Husain dengan
berteriak mengatakan kepada orang-orang Kufah:
"Wahai warga
Kufah! Tidakkah kalian takut pada siksaan Allah? Jika aku ini dalam pandanganmu
adalah seorang yang dholim dan layak untuk dihukum mati, apa salah anak kecil
yang masih menyusu ini, yang belum tahu apa-apa sama sekali? Mengapa kalian
haramkan dia untuk mendapat setetes air untuk diminumnya? Tidakkah kalian lihat
betapa kejam kehausan yang telah mencekam dirinya? Tidakkah kalian takut pada
siksaan Allah kelak?" Demikian teriakan Al Husain penuh rasa kejengkelan
dan kegemasan sambil mengacungkan bayi di bawah terik matahari dan kepulan debu
akibat pertempuran yang masih terus berlangsung, meskipun sudah mulai mereda
karena makin habis anggota rombongan Al Husain. Bayi itu terus menangis
melampiaskan suara memilukan.
Ternyata Al Husain
telah berteriak pada orang-orang yang membuta dan memekak. Mereka sudah tidak
mendengar lagi kata-kata "Allah". Syaitan rupanya sudah terlalu dalam
merasuki jiwa mereka. Bahkan seorang prajurit Kufah telah menyambut pandangan
berupa anak kecil dan tangisan yang minta dibelas-kasihani itu dengan
merentangkan panahnya dan melepaskan anak panah langsung ditujukan kepada bayi
yang berada di tangan Al Husain tersebut. Sambil melepaskan anak panah yang
lepas dari busurnya itu prajurit yang sudah menjadi syaitan bertubuh manusia
itu berseru dengan geram:
"Inilah air
minum yang dimintanya itu!"
Anak panah itu lepas
dari busurnya dan menembus perut anak yang masih suci bersih. Suatu jeritan
pendek menandai kesakitan sekejap keluar dari mulut Ali Al-Asghar, karena
sebentar kemudian anak itu meninggal dunia. Hilang kehausannya bersama dengan
hilangnya nyawa dari tubuhnya yang terkena anak panah tersebut. Terkejut dan
tertegun Al Husain memandangi anaknya yang berlumuran darah dan masih berada
dipelukannya itu. Tak percaya ia bahwa manusia bisa berbuat sedemikian kejam.
Lagi-lagi, tanpa disadarinya air mata mengucur dari matanya bercampur dengan
keringat dan debu yang sudah mengotori wajahnya. Dibiarkannya air mata itu
mengalir dan sambil memandang ke langit ia berkata:
"Ya Allah, jika Engkau memang telah menahan kemenangan bagi kami di dunia ini, maka berilah kiranya kami kemenangan yang lebih baik. Ya Allah, jatuhkanlah pembalasan-Mu yang setimpal terhadap orang-orang yang durhaka dan dholim itu…" Kemudian dengan perlahan-lahan ia berjongkok dan meletakkan anaknya yang sudah tidak bernyawa itu di tanah berpasir, di samping saudara-saudaranya yang telah terlebih dahulu gugur.
Al Husain Dikeroyok
Pemandangan yang
seharusnya mengharukan orang-orang yang normal, ternyata sama sekali tidak
merubah semangat orang-orang Kufah, anggota tentara Yazid itu. Segera dari
berbagai jurusan mereka mengepung Al Husain. Al Qasim, putera Al Hasan bin Ali
melihat bahaya besar yang sedang mengancam pamannya, segera ia menyerbu untuk
melindungi pamannya itu. Padahal Al Qasim sebenarnya belum layak untuk maju ke
medan pertempuran. Ia masih seorang kanak-kanak dan usianya baru pada awal
belasan tahun. Sitti Zainab yang melihat tindakan Al Qasim itu segera berdiri
untuk mencoba menghalang-halangi. Tetapi ternyata gerakannya kalah cepat dengan
gerakan seorang prajurit Kufah yang mengayunkan pedangnya ke arah Al Husain.
Pedang besar itu berayun ke leher Al Husain sedang Al Qasim yang kecil itu
berusaha menahan tebasan tersebut dengan tangannya sambil berseru: "Hai!
Apakah engkau akan membunuh pamanku?"
Dengan mata kepalanya sendiri Sitti Zainab menyaksikan pedang besar yang hendak menebas leher Al Husain itu ternyata telah menebas tangan anak kecil tersebut. Sitti Zainab memekik melihat pemandangan yang mengerikan itu. Melihat salah satu tangannya putus, maka Al Qasim berteriak kesakitan:
"Oh, ibu…, aduh
ibu…" Ia kemudian jatuh tertelentang ke tanah. Mendengar keluh kesakitan
anak itu Sitti Zainab kemudian menyahut dari jauh:
"Anakku! Aku datang, anakku!" Segera ia berlari mendekati Al Qasim. Tetapi tiba-tiba ia menengadah dan melihat Al Husain sudah berdiri tegak di dekat kepala Al Qasim. Berkatalah Al Husain kepada anak yang sudah kehilangan salah satu tangannya itu:
"Sabarlah, wahai putera saudaraku, menghadapi apa yang telah menimpa dirimu. Sebentar lagi engkau pasti akan bertemu dengan ayahmu dan orang-orang soleh yang bersama dengan ayahmu. Demi Allah, berat sekali bagi pamanmu ini untuk mendengar panggilanmu itu tanpa dapat memberikan pertolongan kepadamu. Demi Allah…, hari ini benar-benar hari yang banyak sekali dengan pembunuh dan sedikit sekali dengan penolong…"
Perlahan-lahan kemudian diangkatnya Al Qasim dan didekapkannya di dadanya Sesudah itu anak yang juga telah meninggal dunia itu diletakkan di samping putera-puteranya yang telah terlebih dahulu gugur.
Gugurlah kemudian satu per satu putera-putera saudara-saudara Al Husain yang lain laksana gugurnya bunga-bunga yang masih segar ditimpa kekeringan yang tiba-tiba menghiasi persada Karbala yang gersang dan kering itu. Al-Abbas, Ja'far, Abdullah, Usman, Muhammad Al-Asghar dan Abu Bakar beserta kedua anak Sitti Zainab, masing-masing On dan Muhammad berguguran. Menyusul kemudian putera Al Hasan bin Ali, yaitu Abu Bakar dan putera paman Al Husain, Aqil bin Abi Tholib, yaitu Ja'far, Abdurrahman dan Abdullah. Belum pernah pada suatu tempat demikian banyak yang gugur keluarga Rasul Allah SAW pada waktu yang demikian singkat. Sebagian besar mereka itu adalah orang-orang yang masih sangat muda, bahkan anak-anak, bunga-bunga yang sedang kuncup.
Walaupun pertempuran makin tidak seimbang, tetapi perkelahian tidak kalah dahsyatnya. Sisa-sisa rombongan Al Husain yang makin kecil itu memberikan perlawanan yang makin sengit. Darah membasahi bumi Karbala. Udara dipenuhi oleh debu dan bau darah segar yang anyir. Burung-burung yang semula tidak nampak segera terbang berputar-putar di angkasa Karbala setelah mencium bau darah manusia yang segar itu. Perempuan-perempuan yang ada di kemah-kemah sudah tidak terdengar lagi tangisnya; airmata rupanya telah kering dan duka sudah terlalu mendalam. Segenap anggota keluarga Al Husain sekarang telah gugur semua. Pada saat itulah maka tiba-tiba sepuluh orang anggota pasukan Kufah maju menyerbu ke kemah kediaman Al Husain dengan tujuan untuk melakukan perampokan dan perampasan atas harta Al Husain yang masih ada. Mereka berpesta pora mengambili dan mengangkuti apa saja yang ada dalam kemah tersebut.
Melihat tindakan biadab itu, Al Husain segera meloncat dan menyerbu orang-orang yang sedang berpesta pora itu.
"Celaka kalian. Kalau kalian sudah tidak punya agama lagi, berlakulah seperti orang merdeka yang berjiwa luhur dan jangan bertingkah laku seperti budak-budak belian yang berjiwa hina!" kata Al Husain dengan penuh kegeraman.
Kemarahan itu ternyata telah menaikkan lagi tenaga dan semangat Al Husain. Serbuannya membuat kalang kabut mereka yang sedang berebut harta itu. Peristiwa ini merupakan puncak dari pertempuran Karbala. Tiga orang, Al Husain dan dua sahabatnya, berhadapan dengan 3.000 orang prajurit musuh.
Gugurnya Al Husain
Pertempuran di
Karbala yang bermula sejak fajar itu berlangsung terus sampai petang. Pasukan
kecil yang dipimpin oleh Al Husain makin habis. Ketika habis Asar tinggal 3
orang yang masih mampu memberikan perlawanan. Dan ketika sinar matahari sudah
mulai melembut menjelang rembang petang, akhirnya tinggal Al Husain sendiri
yang terus melakukan perlawanan. Seorang dikerubuti oleh tidak kurang dari
3.000 orang.
Ketika melihat bahwa
dari rombongan Al Husain tinggal seorang, yaitu Al Husain sendiri, maka pasukan
Ubaidillah ibn Ziyad yang sudah kerasukan setan tiba-tiba seperti ragu-ragu.
Tetapi Al Husain tidak memperdulikan sikap musuhnya itu. Dengan pedang di
tangan yang sudah penuh berlumuran darah, baju yang sudah lusuh, berdebu dan
koyak-koyak serta muka hitam mengkilat karena keringat dan debu, Al Husain
terus melakukan penyerangan. Siapa saja yang ada di hadapannya, pasukan pejalan
kaki atau berkuda diserangnya. Bagaikan seekor harimau yang sudah luka disertai
teriakan membesarkan nama Allah SWT, ia mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke
kiri, ke depan dan ke belakang. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
Tak seorang pun di antara tentara Kufah yang beribu jumlahnya itu berani menyerbu dan mendekati. Mereka mencoba menghindar dan dari jarak agak jauh baru mereka melepaskan anak-anak panah. Petang itu medan Karbala seolah-olah kejatuhan hujan. Tetapi bukan hujan air. Yang dihujani adalah tubuh Al Husain seorang diri dan yang menghujani adalah anak-anak panah yang berdesing lepas dari busur-busur orang-orang Kufah itu. Demikian hebat anak panah menghujani tubuh cucu Rasul Allah SAW, sehingga orang yang menyaksikan peristiwa tersebut melihat Al Husain seolah-olah berselubung kulit landak.
Matahari makin
condong ke barat, udara makin menyejuk. Tetapi hati Al Husain semakin panas dan
juga darah panas mengalir dari luka-lukanya. Bagaimanapun hebat syaitan telah
menyelusup ke dalam tubuh orang-orang Kufah itu, rupanya ada juga sebetik
ketakutan di hati kecil mereka menghadapi turunan langsung Rasul Allah SAW itu.
Mereka dihinggapi kebimbangan untuk menjadi pembunuh Al Husain. Dalam keadaan
yang berlarut-larut inilah kemudian seorang bernama Syammar dzil Jausyan,
seorang pembenci ahlul-bait khususnya Al Husain, akhirnya tidak dapat mengekang
nafsu haus-darahnya. Ia makin panas melihat Al Husain tidak juga sudi menyerah,
sedangkan kawan-kawannya ragu-ragu untuk memberikan "tembakan akhir"
untuk mematikan Al Husain. Dengan suara lantang ia kemudian berseru: "Ayo!
Kepung dan seranglah dengan serentak dia!"
Hujan anak panah
makin menghebat. Kuda tunggangan Al Husain akhirnya tak dapat bertahan lagi dan
jatuh tertelungkup dengan mengeluarkan ringkikan maut yang mengerikan. Tanpa
memperdulikan kejatuhan kudanya, Al Husain kemudian tegak berdiri terus
melanjutkan perlawanannya. Sekarang bukan lagi anak panah, tetapi tebasan
pedang dan tusukan tombak bertubi-tubi menyerangnya dari segala jurusan. Darah
membasahi seluruh tubuhnya. Jubah yang dikenakannya sudah berubah warna merah
kecoklat-coklatan. Sehari ia bertempur tiada hentinya. Suatu dorongan ajaib
rupanya telah membuat ia tidak kenal lelah dan tak ingat haus. Tetapi,
bagaimanapun juga batas kekuatannya tidak bisa terlewati lagi. Sepucuk anak
panah beracun tiba-tiba menancap dalam tubuhnya tepat mengenai jantungnya.
Pertama kali orang mendengar ia mengeluarkan erangan kesakitan. Masih sempat ia
memegang anak panah yang menancap itu dan dengan sisa tenaga yang masih ada ia
mencabut anak panah tersebut sambil mengeluarkan suara mengerang, karena darah
telah memenuhi kerongkongannya:
"Oh, Tuhanku, ya
Ilahi, engkau tahu mereka telah membunuh putera nabi-Mu…, dan di dunia ini
tiada putera nabi lain daripada aku…" Anak panah itu tercabut juga diikuti
oleh darah yang menyembur. Badannya terasa makin lemah dan lesu. Akhirnya Al
Husain, putera Sitti Fatimah Azzahra, cucu Rasul Allah SAW itu roboh mencium
bumi Karbala yang sudah disirami oleh darah banyak ahlul-bait dan putera-putera
Bani Hasyim.
Gugurlah cucu Rasul
Allah SAW, itu setelah melakukan perlawanan mati-matian sampai pada detik yang
terakhir. Suasana tiba-tiba hening. Burung-burung gagak pemakan mayat yang
berterbangan di atas medan pertempuran Karbala dengan mengeluarkan suara-suara
bergaok yang mengerikan. Juga anggota-anggota pasukan Umar bin Saad yang semula
hiruk pikuk tiba-tiba berhenti berteriak-teriak dan menyaksikan rubuhnya putera
Rasul Allah SAW itu.
Tetapi peristiwa yang
mencekam itu tidak berlangsung lama. Syammar bin Dzil Jausyan yang sangat
membenci ahlul bait itu segera berteriak:
"Ayo! Mengapa
kalian melongo saja? Hayo habiskan jiwanya!" Perintahnya ini segera
menyadarkan anak buahnya yang tengah terpukau itu. Seorang yang bernama Zar'ah
bin Syarik tiba-tiba maju dan menebaskan pedangnya. ke arah pundak Al Husain
yang sebelah kiri hingga tercerai dari badannya. Al Husain yang sudah tidak
berdaya makin bermandikan darah yang masih hangat. Melihat itu Syammar ibnu Dzil
Jausyan kemudian datang mendekati tubuh Al Husain yang sudah tergeletak tak
berdaya itu. Pedang yang ada di tangannya kemudian diangkat tinggi-tinggi dan
dengan kuat diayunkannya ke leher Al Husain yang tertelungkup di tanah. Sekali
tebas terpisahlah kepala dari tubuh. Tanpa ragu-ragu segera dipegangnya rambut
Al Husain dan diangkatnya kepala itu tinggi-tinggi. Dengan lagak kemenangan dan
sinar mata yang mencerminkan jiwa kesetanan, kepala itu kemudian dibawanya
menuju ke tempat komandan pasukan, yaitu Umar bin Saad. Ribuan pasang mata
prajurit Kufah mengikuti peristiwa mengerikan ini. Sampai di dekat Umar bin
Saad. Syammar kemudian menyerahkan kepala Al Husain. Komandan pasukan Kufah
menerimanya untuk "dipersembahkannya" kepada Ubaidillah bin Ziyad di
Kufah.
Kisah Lain Gugurnya
Al Husain
Di samping versi di
atas ada kisah lain yang menggambarkan detik-detik Al Husain terakhir pada
pertempuran di Karbala itu. Dikisahkan bahwa ketika tinggal Al Husain seorang
diri melakukan perlawanan terakhir, maka setelah bertempur hampir sepanjang
hari, cucu Rasul Allah SAW itu akhirnya tidak dapat menahan lagi kelelahan dan
kehausannya. Sesungguhnya pada detik-detik yang demikian itu sangat mudah bagi
anggota-anggota pasukan Umar bin Saad untuk menamatkan riwayat Al Husain.
Tetapi, bagaimanapun juga tersesat hati mereka, toh ada sekelumit perasaan yang
tertinggal di hati mereka. Yaitu bahwa yang ada di hadapannya itu adalah Al
Husain, cucu kesayangan Rasul Allah SAW. Pasukan yang terdiri dari beberapa
suku kabilah itu rupanya enggan dan takut untuk menjadi algojo putera dari
keturunan agung dan suci itu. Masing-masing suku secara diam-diam mengharapkan
agar bukan orang dari sukunyalah yang tercatat dalam sejarah sebagai pembunuh
keturunan langsung Rasul Allah SAW itu. Melihat musuh-musuhnya yang terdiam dan
ragu-ragu itu, akhirnya Al Husain menyadari bahwa ia dalam keadaan sangat
kehausan. Dengan setengah sadar ia kemudian berjalan dengan lunglai menuju ke
tepi sungai Eufrat. Tetapi usahanya itu telah dihalang-halangi. Seorang dari
Bani Tamim bernama Umar At Thohawi ketika melihat Al Husain mendekati sungai
Eufrat, kemudian mengangkat busurnya, memegang tali busur dan melepaskan anak
panah yang akhirnya mengenai pundak Al Husain sebelah kiri. Tindakan tersebut
kemudian diikuti oleh pukulan pedang temannya yang bernama Zur'ah bin Syarik At
Tamimi, tetapi yang berhasil ditangkis oleh Al Husain dengan tangannya. Dan
tangan Al Husain putus karenanya. Sinan bin Anas kemudian tidak mau ketinggalan
dan langsung menyerbu ke arah Al Husain dan menikam lambung cucu Rasul Allah
SAW yang sudah hampir sama sekali tidak berdaya itu, Al Husain rubuh ke tanah.
Belum puas dengan tindakannya itu, Sinan bin Annas kemudian menyelesaikan
"tugas''-nya dengan menebas batang leher Al Husain yang sudah tertelungkup
di tanah. Setelah itu dipungutnya kepala yang sudah terpisah dari badan
tersebut dan diserahkan kepada salah seorang temannya bernama Khauli bin Yazid
Al-Usbuhi. Sebab pembunuh terakhir Al Husain itu kemudian sibuk "mengurusi"
tubuh Al Husain untuk mengambil celana, terompah dan pedang yang dikenakan dan
dipergunakan oleh Al Husain.
Akhir Kisah Tragis
Itu
Gugurnya Al Husain
menandai berakhirnya pertempuran tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriyah di
Karbala yang berlangsung sehari suntuk antara 4.000 orang anggota pasukan Umar
bin Saad dari Kufah dan sekelompok tidak lebih dari 80 orang anggota rombongan
Al Husain. Pedang-pedang dibersihkan dan dimasukkan ke dalam sarungnya.
Busur-busur disarangkan kembali ke pundak. Tombak-tombak dibersihkan ujungnya
dari darah yang mulai mengering. Tidak ada lagi sudah sasaran untuk
senjata-senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan yang dikendalikan jiwa yang
dihuni oleh syaitan itu. Jenazah para pahlawan, anggota rombongan Al Husain
yang bertebaran di padang Karbala itu bisa dibedakan dengan jelas dari
mayat-mayat anggota pasukan Umar bin Saad yang tidak sedikit jumlahnya.
Jenazah-jenazah pasukan Al Husain semuanya sudah tidak berkepala lagi karena
selalu ditebas dengan gemasnya oleh pasukan-pasukan dari Kufah. Tinggal lagi
tubuh-tubuh yang tidak berkepala itu berserakan. Di angkasa burung-burung buas
berterbangan, siap untuk berpesta pora dengan mayat yang sedemikian banyaknya.
Pada saat demikian
itulah, menurut suatu riwayat yang dikisahkan oleh penulis sejarah Islam
terkenal At Thobari dan Ibnul Atsir, pasukan Umar bin Saad yang masih segar
kemudian berebut beramai-rarnai menggerayangi jenazah-jenazah para pahlawan
tersebut untuk mengambil apa saja yang bisa mereka bawa. Kuda dan onta yang
sudah tidak bertuan lagi mereka kejar-kejar untuk mereka miliki. Senjata yang
sudah lepas dari tangan-tangan yang tak bernyawa mereka angkuti. Dan belum puas
dengan itu semua, mereka kemudian mengarahkan pandangannya ke perkemahan para
wanita dan anak-anak. Tanpa perintah komandannya, tetapi diperintah oleh
syaitan yang bersemayam dalam hati mereka, kemudian mereka menyerbu kemah-kemah
kaum wanita yang sudah ditinggalkan sama sekali oleh kaum lelaki itu. Berpacu
mereka saling mendahului untuk mendapatkan barang yang terbaik dan terbanyak.
Segera dari dalam kemah itu terdengar jeritan-jeritan dan tangisan perempuan
untuk sebentar kemudian diikuti oleh wanita yang menggendong anak-anak
berlarian ke luar. Tetapi orang-orang tetap mengejar mereka dan melucuti
perhiasan dan pakaian yang dikenakan oleh wanita dan anak-anak itu.
Melihat tingkah polah anggotanya itu, Umar bin Saad tersentuh hatinya. Segera diperintahkannya agar mereka menghentikan tindakan-tindakannya itu.
"Hayo, kembalikan semua barang-barang wanita-wanita itu," perintahnya. Tetapi mabuk kemenangan dan mabuk harta menyebabkan orang-orang itu sama sekali tidak mematuhi perintah atasannya.
Demikian menurut apa yang diriwayatkan oleh At Thobari dan Ibnu Atsir mengenai detik-detik terakhir peristiwa hitam yang terjadi di Karbala itu.
Hari semakin gelap. Di ufuk Barat tinggal lagi cahaya merah tua. Burung-burung pemakan mayat yang berpesta mulai meninggalkan tempat kembali ke sarangnya. Sebentar kemudian tibalah waktu maghrib. Perempuan-perempuan anggota rombongan Al Husain melakukan sholat maghrib dalam keadaan yang paling menyedihkan. Tanpa pemimpin dan tanpa Imam mereka. Mereka mengadukan nasibnya sekarang kepada Allah SWT.
Suasana berkabung dan sedih mencekam wanita dan anak-anak seperti serombongan anak ayam yang ditinggalkan tiba-tiba oleh induknya dan dibayangi di atas oleh burung elang yang kelaparan. Tidak jauh di depan kemah-kemah mereka terserak jenazah orang-orang yang sangat mereka cintai terdiri dari sanak-saudara dari rumpun Bani Hasyim, kerabat yang paling dekat dari Rasul Allah SAW.
Segera bulan menggantikan matahari menyinari padang Karbala yang mengerikan itu. Burung-burung ganas digantikan oleh anjing-anjing liar padang pasir. Suara aungan mereka menambah seram malam 10 Muharram itu. Mereka mencium bau mayat-mayat segar dan segera akan berpesta pora. Lolongan kegembiraan mereka memanggil kawan-kawannya lebih menyatat-nyayat hati orang-orang perempuan yang duduk termangu-mangu sambil mengucapkan kata-kata membesarkan nama Allah SWT dan mohon ampun kepada-Nya. Perlahan-lahan mereka keluar kembali menuju ke bekas medan laga. Tanpa takut dan ngeri, di bawah cahaya bulan mereka merunduk-runduk melihat mayat dari satu jenazah ke jenazah yang lain.
Dengan kepiluan dan kasih sayang dan sedu sedan mereka mengumpulkan tangan yang telah hilang untuk didekatkan dengan tubuh yang semuanya sudah tidak berkepala lagi itu. Tangan suami tangan kekasih, tangan kakak atau adik yang tercinta. Kemudian mereka duduk termangu menunggui sisa-sisa bekas orang-orang yang paling mereka kasihi dan mengasihi mereka.
Sementara itu tidak jauh dari tempat kedudukan itu terhimpun sisa anggota pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Beramai-ramai mereka mengelilingi api unggun. Bernyanyi, tertawa dan bersorak serta berpesta pora sambil menghitung-hitung harta hasil rampokan mereka masing-masing. Di samping itu mereka juga sibuk menghitung kepala-kepala manusia yang mereka bawa seperti menjinjing kepala kambing. Komandan pasukan dari Kufah itu kemudian memerintahkan agar kepala-kepala anggota rombongan Al Husain itu dikumpulkan untuk dibawa ke Kufah guna diserahkan sebagai barang bukti kesetiaan mereka kepada Ubaidillah bin Ziyad.
Kitab "Asadul-Ghabah" mengungkapkan, bahwa komandan pasukan, Umar bin Saad di samping berhasil menyerahkan kepala Al Husain juga telah menyerahkan tidak kurang dari 71 kepala para sahabat dan keluarga Al Husain yang telah gugur di Karbala itu. Ternyata kepala-kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya itu dijadikan bahan rebutan oleh suku-suku Arab yang berada di sekitar Kufah. Mereka itu ingin memperoleh bukti bahwa mereka telah berjasa menumpas rombongan Al Husain untuk kemudian dapat digunakan sebagai usaha mencari muka dan menjilat kepada Ibnu Ziyad di Kufah atau Yazid bin Muawiyah di Damsyik (Syam).
Buku "Asadul-Ghabah" itu selanjutnya mengungkapkan bahwa suku Kindah yang dipimpin oleh Qais bin 'Asy'ats telah berhasil mengumpulkan dan "mempersembahkan" kepada Ibnu Ziyad 13 buah kepala. Sedangkan suku Hawazin yang dipimpin oleh Syammar Dzil Jausyan yang terkenal sebagai orang yang sangat membenci ahlul-bait berhasil "mempersembahkan" 20 buah kepala dari orang-orang keluarga Rasul Allah s.a.w. itu. Sementara Bani Tamim dan Bani Asad masing-masing "memberikan sumbangan" berupa 17 buah kepala dari hasil pembantaian yang mereka lakukan di Karbala pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriyah itu.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar