Siapa pun yang
membaca atau mendengar kisah tentang tragedi Karbala dan tentang apa yang
terjadi pada hari Asyura, sudah pasti dia akan terpengaruh dan akan ikut merasakan
kesedihan yang menimpa diri Imam Husain As, Ahlulbaitnya dan para sahabatnya.
Dengan
alasan inilah sehingga sebagian memutuskan diri untuk bersiap-siap melakukan
perjalanan ke arah beliau, sebuah perjalanan batin dan spiritual yang akan membawanya
bergabung, bersama dan sependeritaan dengannya. Dan hal seperti ini terjadi
pada mereka yang membaca atau mendengar tragedi ini.
Sekarang kami
akan mengisyarahkan beberapa dari mereka yang mengalami hal seperti ini:
1. Seorang
Penulis asal Inggris
Dalam kitab terkenalnya
yang bernama Shur Baghdadiyah dia mengkhususkan satu bab kecil tentang tragedi
Asyura, pada awal bab tersebut dia mengatakan, "Syiah pada seluruh penjuru
alam Islam senantiasa menghidupkan kenangan dan maqtal al-Husain. Pada sepuluh hari
pertama bulan Muharram mereka akan melaksanakan ritual ini secara besar-besaran
dan terang-terangan. Kesedihan dan duka cita akan melingkupi mereka pada
keseluruhan hari-hari ini hingga puncaknya pada hari terakhir (sepuluh Muharam)
mereka akan membuat kelompok-kelompok kajian untuk mengadakan majelis duka cita
…"[1]
Dalam kitab
yang sama pada bab tersendiri, secara terperinci dia juga membahas tentang
Najaf Asyraf, di antaranya mengatakan, "Pada jarak tak terlalu jauh dari tempat
ini, Husain As sampai di sebuah sahara tandus. Dia menghela kudanya hingga sampai
ke tanah Karbala lalu mendirikan kemah di sana, sementara para musuh mengepung dan
menutup seluruh jalan untuk mendapatkan air …. Alur dari tragedi itu hingga saat
ini masih melekat dengan hangat di dalam benak masyarakat. Sebelum tahun 1257, tidak
ada satupun sarana yang bisa dijadikan alasan untuk melakukan ziarah ke kota suci
ini kecuali informasi tentang tragedi ini, sebuah tragedi maha tragis yang telah
menimpa Husain As dan para sahabatnya yang telah mampu terserap ke dalam setiap
eksistensi hingga sampai ke akar-akarnya. Tragedi ini merupakan salah satu dari
kisah-kisah langka yang akan membuat setiap pembacanya tidak bisa menahan
keluarnya air mata."
Kemudian dia
mengatakan, "Semenjak peristiwa ini terjadi, sejarah seakan berhenti di
Karbala dan Najaf, karena setelah terjadinya tragedi tersebut, untuk mengenang
kebencian terhadap musuh-musuh Husain yang tertindas, masyarakat beramai-ramai
tinggal di dua kota ini."[2]
2. Profesor Braun
Tentang tragedi
yang menimpa Imam Husain As di Karbala ini, pengamat Orientalis terkenal bernama
Profesor Braun mengatakan, "Cukup dengan mengenang peristiwa Karbala dimana
cucu Rasulullah saw gugur dan mencapai maqam syahadahnya setelah menanggung
siksa dan kehausan yang tak terkira, telah mampu memberikan pengaruh pada orang
yang paling dingin dan paling malas sekalipun. Bahkan hal inipun telah memberikan
pengaruh yang luar biasa pada mereka yang tidak memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan
kepahlawanan dan kesedihan, hal ini telah pula mampu mengantarkan ruh-ruh mereka
ke tingkatan tinggi kesempurnaan sehingga bagi mereka sakit dan mati merupakan
hal yang tak ternilai harganya."[3]
Demikian
juga dia berkata, "Adakah kalbu yang ketika mendengar kisah tentang
Karbala tidak merasakan duka dan kesedihan? Bahkan mereka yang bukan kaum Muslim
sekalipun tidak akan mampu mengingkari kesucian ruh yang telah menyebabkan
perang Islam ini."[4]
3. Charles Dickenz
Penulis
Inggris ini menuliskan tentang Revolusi Asyura sebagai berikut, "Jika maksud
Husain As adalah perang di jalan kehendak-kehendak dunianya, aku tidak akan pernah
mampu memahami kenapa dia membawa serta para perempuan dan anak-anaknya? Dengan
demikian akal akan menghukumi bahwa dia melakukan hal ini untuk berkorban demi
Islamnya."[5]
4. Thomas Masarik
Dalam
mengkomparasikan antara Imam Husain As dengan Nabi Isa As dia menulis, "Musibah
yang menimpa Al-Masih jika dibandingkan dengan musibah yang menimpa Husain As akan
sebagaimana bulu jerami yang diperhadapkan dengan sebuah gunung yang besar."[6]
5. Justis A Russel
Penyair asal
Inggris ini mengungkapkan kejadian menyedihkan Asyura dengan kalimat-kalimat berikut,
"… lalu mereka mempermainkan gigi-gigi dan mulut Imam dengan kayu-kayu mereka.
Wahai tubuh yang telah terinjak-injak di bawah ekor-ekor kuda! Engkau tak lain adalah
tubuh yang telah mempesona para pemirsamu, darah yang mengalir dari nadi-nadi muliamu
kini telah mengering, merupakan sebuah pesona langit-lah sehingga sampai saat
ini tidak ada satupun ekor kuda yang terwarnai dengan warna Ilahi seperti ini. Wahai
bumi yang telanjang dan sahara Karbala yang tak berumput! Nyanyian kesedihan
akan senantiasa menyelimutimu hingga akhir karena di tanahmu tersimpan tubuh
suci putra Fatimah yang tercabik-cabik, sebuah sosok yang menyerahkan ruhnya ke
haribaan Ilahi."[7]
6. Captain, Hanibelt
Dalam
mengilustrasikan malam Asyura dia menulis, "Malam itu, ketika api berkobar
membakar kemah-kemah yang berada di seputarnya, Imam mengumpulkan pengikutnya
dan dalam khutbahnya yang panjang beliau bersabda, "Besok, mereka yang tinggal
bersamaku pasti akan syahid dan terbunuh" Kemudian beliau melakukan sebuah
tindakan sangat indah yang menunjukkan kesempurnaan pengetahuannya terhadap kelemahan
manusia, kodrat jiwa pengorbanannya serta mengidentifikasikan kalbunya yang lembut
… lalu kepada pengikutnya beliau bersabda, "Siapapun yang tidak melihat dirinya
memiliki keberanian untuk bertahan dan syahid, maka ketika kegelapan telah
menyelimuti malam, gunakanlah kesempatan tersebut dan tinggalkanlah tempat ini dengan
menyamar dan tanpa rasa malu." Dan pagi hari Asyura ketika awan-awan violet
berkumpul di langit timur, tujuh puluh satu pemberani yang beriman telah
berkumpul mengelilingi Imam As dan seluruhnya bersiap-siap untuk menyambut
kematian dan kesyahidan."[8]
7. Gibbon, Sejarawan Inggris
Dia menulis,
"Meskipun tragedi Karbala telah berlalu dan kita pun tidak setanah air dengan
yang tertimpa musibah, akan tetapi penderitaan dan kesulitan yang ditanggung oleh
Imam Husain As telah membangkitkan perasaan yang begitu berat di dalam hati para
pembacanya seakan sebuah kelembutan dan kasih sayang telah tertanam untuk
beliau."[9]
8. Moris Dackbary
Tentang majelis
duka ini, sejarahwan berkebangsaan Amerika ini menuliskan, "Jika saja para
penulis sejarah kami memahami hakikat yang terdapat pada hari Asyura, maka mereka
tidak akan pernah menganggap majelis duka ini sebagai sesuatu yang tidak wajar.
Para pengikut Husain As, melalui majelis duka yang mereka adakan untuk Imamnya
ini beranggapan bahwa mereka tidak boleh berada di bawah himpitan kehinaan, ketercelaan
dan jajahan para arogan, karena syiar Imam dan pemimpin mereka bukanlah menyerahkan
tubuh kepada kezaliman dan penjajahan. Husain As telah mengorbankan jiwa, harta
dan para putranya demi kemuliaan manusia, keagungan dan kedudukan Islam, dengan
tidak takluk di bawah tekanan dan penjajahan Yazid.
Maka marilah
kita meletakkan metodenya tersebut sebagai syiar kita untuk membebaskan diri kita
dari kezaliman Yazid dan yazid-yazid lainnya, dan lebih memilih mati dengan kemuliaan
daripada hidup dengan kehinaan. Dan inilah ringkasan dari ajaran-ajaran Islam.
Sebuah bangsa yang sejak ayunan hingga liang lahatnya memperoleh ajaranajaran yang
demikian ini, menjadi sangat jelas posisi dan tingkatan macam apa yang akan
diperolehnya kelak. Bangsa yang seperti ini akan memiliki segala macam kemuliaan
dan kebanggaan, karena seluruh individunya adalah prajurit-prajurit hakikat dan
kemuliaan."[10]
9. Buls Salamah
Penyair Masehi
ini mengatakan, "Aku melewati malam-malamku yang terjaga dengan rasa pedih
susah dan derita, pikiran dan khayalanku telah membawaku pada kenangan-kenangan
pahlawan-pahlawanterdahulu dan mengantarkanku pada dua syuhada besar dalam
sejarah, yaitu Imam Ali As dan Imam Husain As. Suatu kali dalam waktu yang
sangat panjang aku menangis karena kecintaan yang aku miliki terhadap kedua pembesar
itu kemudian aku mengucapkan syair untuk Ali dan Husain As."[11]
10. Gabriel Dankiri
Tentang keliaran
pasukan Yazid dia mengatakan, "Pada hari Asyura, para pasukan Yazid menampakkan
keliaran mereka dengan kalap sehingga tidak ada seorangpun yang pernah melihat hal
yang setara dengannya sebelum itu. Kekalapan mereka telah mengizinkan mereka untuk
tidak mengasihi anak-anak kecil bahkan pada bayi-bayi yang masih menyusu, mereka
membawa kepala Husain yang berlumuran darah ke kota Damysq. Dan Yazid
menganggap dengan kemenangannya ini dia pasti akan bisa menikmati perdamaian dan
ketenangan … akan tetapi kenangan hari itu, sejak saat itu, setiap tahun, dan
hingga hari ini senantiasa terasa baru di antara banjiran air mata,
kidung-kidng sedih dan majelis-majelis duka …"[12]
11. George Jordaq
Penulis Masehi
ini menuliskan, "Yazid adalah sosok yang mewarisi seluruh
keburukan-keburukan dari nenek moyangnya, bahkan melebihi mereka. Dia memiliki segala
bentuk kejahatan, kerusakan, perbuatan-perbuatan setan sehingga hal ini telah menjadikannya
seorang lelaki yang buruk dan tak memiliki harga diri … tidak ada seorang pun yang
melebihi Yazid dalam masalah ketiadaan akhlak-akhlak kemanusiaan … dan sebaliknya
tidak ada seorangpun dalam penciptaan manusia yang memiliki kesempurnaan melebihi
kesempurnaan yang dimiliki olehHusain bin Ali As, sosok agung yang syahid pada tragedi
tersebut. Di dalam diri Yazid terdapat seluruh sifat-sifat buruk, tercela, ingin
berkuasa, mencari kesempatan, berdarah dingin dan ketiadaan kehendak, sementara
berhadapan dengan itu dalam diri putra Ali bin Abi Thalib As terdapat seluruh
sifat-sifat yang mulia, tinggi dan terpuji, di antaranya adalah akhlak yang mulia,
kebajikan, keberanian, kebebasan dan syahadah, dalam makna dan keberadaannya yang
sempurna."[13]
12. Dr. Zurf
Sejarahwan asal
Perancis ini menuliskan, "Para Syiah pada hari-hari duka menyibukkan diri dengan
mendengarkan khutbah-khutbah tentang musibah yang menimpa Imam Husain As, dan
mereka berupaya untuk menyampaikan keutamaan-keutamaan dari keturunan kenabian
serta penderitaan-penderitaan mereka dengan cara yang paling baik."[14]
13. Claudian Rolf
Komentator
majalah Lumand ini, tentang Imam Husain As dan tragedi Asyura menulis demikian,
"Setiap tahun pada bulan Muharram para Syiah mengadakan perenungan-perenungan
terhadap tragedi Karbala dan musibah yang menimpa Imam Husain As yang merupakan
penampakan dari kepahlawanan, kemuliaan dan keadilan versus kepengecutan, kehinaan
dan kezaliman, dan mereka menyerupakan pembuat kesewenang-wenangan yang hidup pada
zaman ini sebagaimana Yazid."[15]
14. Mahatma Ghandi
Ghandi, arsitek
pembebas bangsa India dari cengkeraman penjajahan Inggris dan pemimpin bangsa
ini, tentang Imam Husain As berkata, "Aku tidak membawa sesuatu yang baru untuk
rakyat India, aku hanya membawa hasil dari perenungan, pengkajian dan
penelitianku terhadap sejarah kehidupan para pahlawan Karbala untuk mengangkat bangsa
India. Jika kita ingin menyelamatkan bangsa ini, maka kita wajib melakukan apa yang
telah dilakukan oleh Husain bin Ali bin Abi Thalib."[16]
15. Saver Jane Knight
Penyair berkebangsaan
India ini menganggap majelis-majelis yang di adakan untuk mengenang duka Husain
As pada setiap tahun ini senantiasa menghidupkan kembali tragedi Karbala dan ia
menyebutkan bahwa revolusi Husaini merupakan penopang atas keberlanjutan agama
besar Rasulullah Muhammad saw, dimana Imam Husain As membuktikan cinta abadinya
kepada Allah dengan mengorbankan dirinya. Dia berkata, "Pada malam
syahidnya Husain As, para muridnya dengan busana-busana hitam, kaki telanjang dan
mata-mata yang berlinangan oleh air mata duka, berkumpul untuk mengenang tragedi
yang menyayat ini. Ketika perstiwa yang terjadi pada tragedi tersebut diceritakan,
mereka berkata, "Ya Husain, ya Husain…"
Bagaimana
bias beribu-ribu sahabatmu mengucurkan air matanya dengan sedemikian deras? Wahai
yang suci dan bermaqam tinggi! Bukankah tangisan dan kesedihan mereka ini
adalah untuk kesetiaan dan pengorbananmu yang tiada bandingnya? Karena engkau telah
mengibarkan bendera agama besar Rasulullah (Muhammad saw) dan, engkau membuktikan
kecintaanmu yang luar biasa kepada Allah di hadapan ketakjuban dunia."[17]
16. Eirvanick
Sejarawan asal
Amerika ini berkata, "Terbunuhnya Husain As merupakan sebuah tragedi yang telah
membuatku tak mampu berbicara lebih panjang mengenainya, karena ia merupakan sebuah
sejarah yang penuh dengan kepedihan dan penderitaan. Di dalam Islam tidak ada sebuah
peristiwa pun yang lebih tragis dari peristiwa ini.
Meskipun terbunuhnya
Amirul Mukminin As pun terhitung sebagai sebuah musibah yang besar, namun tragedi
yang menimpa Husain As meliputi berbagai fase: kehausan, pembunuhan yang teramat
keji, terpenggalnya leher, tertancapnya kepala-kepala tak berbadan di atas
tombak-tombak, tertawannya keluarga-keluarga mereka, …, dimana mendengarkan ceritanya
akan mampu membuat tubuh manusia tergetar hebat … karena ini merupakan musibah
yang paling besar."[18]
17. Jamili
Meskipun dia
beristighfar untuk kedua pihak yang saling bertentangan di Asyura, akan tetapi mengenai
penyesalan Yazid dia mengatakan, "Penyesalan yang dia tampakkan hanyalah merupakan
sebuah penyesalan yang bersifat lahiriah saja, karena seandainya dia
melakukannya secara hakiki, maka dia akan memberikan hukuman yang setimpal kepada
Abdullah bin Ziyad, Umar bin Sa'd dan Syimr bin DzilJausyan. Dan jikapun seandainya
terdapat penyesalan darinya, hal ini muncul karena perbuatannya yang telah
menyinggung perasaan kaum Muslimin dan telah membangkitkan kemarahan mereka,
bukan sebuah penyesalan karena perbuatan keji yang telah ia lakukan itu
sendiri."[19]
18. Marwin, Analis Jerman
Dia mengatakan,
" … Husain adalah satu-satunya orang yang pada empat belas kurun yang lalu
mengibarkan bendera di hadapan pemerintahan yang lalim dan zalim … dia adalah
politikus pertama yang hingga saat ini tidak ada seorang pun yang berhasil
menciptakan siasat yang berpengaruh seperti ini. Husain As meneriakkan syiar
abadi yang mengatakan bahwa aku rela terbunuh di jalan yang benar dan hakiki
akan tetapi aku tidak akan memberikan tanganku kepada yang tidak berhak …
Husain As melihat gerakan-gerakan Bani Umayyah yang telahmenjurus pada kekuasaan
mutlak dan menginjak-injak aturan-aturan Islam dan hampir mengacaukan asas dan pondasi
Islam, jika dia memberikan kesempatan lebih dari ini, maka nama dan
indikasi-indikasi Islam dan kaum Muslimin tidak akan lagi tersisa, oleh karena itu
dia memutuskan untuk tegak berdiri di hadapan pemerintahan zalim tersebut
…"
Husain As mengajarkan
kesetiaan dan pengorbanan kepada seluruh dunia dengan mengorbankan orang-orang terdekat
dan orang-orang yang paling dicintainya dan dengan membuktikan ketertindasan serta
kebenarannya, dan dengan hal tersebut dia hendak mencatat nama Islam dalam sejarah
dan mengumandangkannya untuk seluruh dunia. Jika peristiwa semacam ini tidak diikuti
dengan pengorbanan nyawa, tentu Islam dan kaum Muslimin telah musnah sejak dulu
…"[20]
19. Georgie Zaidan
Tentang Imam
Husain As dia mengatakan, "… pemandangan kepala Husain As yang terpenggal telah
mempengaruhi dan membuat para pemirsanya bersedih … sesungguhnya, ketika kedua
mata Yazid tertuju ke kepala yang terpenggal itu, kepala hingga kaki Yazid tergetar
hebat, dia mengetahui betapa dia telah melakukan perbuatan yang besar dan
sangat tercela."[21]
20. Nicolson
Dia
menuliskan, "Peristiwa Karbala merupakan sebuah persoalan yang disesali
oleh para Umawi, karena tragedi ini telah membuat para Syiahbersatu dan sekata
dalam tindakan mereka untuk membalas kematian Husain As.".[22]
Asyura dan
Pergolakan Mazhab
Tragedi Karbala
tidak hanya menjadi sumber pengaruh dalam kalbu-kalbu manusia umum, bahkan hal
ini telah menyebabkan mereka yang tidak berada di dalam agama Husain As pun telah
terbimbing ke arahnya, keluar dari agama Muawiyah lalu mencintai agama beliau.
Dr. Joseph seorang
peneliti yang berkebangsaan Perancis dalam salah satu penelitiannya yang berjudul
Syiah wa Tariqqiyyat Muhayyir Al-'Uqul menuliskan, " … Di antara
persoalan-persoalan alam yang menjadi penegas firqah Syiah dan mampu mempengaruhi
kalbu-kalbu firqah lainnya adalah persoalan tertampakkannya ketertindasan para
pembesar agama mereka. Persoalan ini dikategorikan dalam persoalanpersoalan alam
dan tabiat, karena tabiat setiap manusia adalah berusaha untuk membantu dan mendukung
para tertindas dan menghendaki kemenangan pada pihak tertindas atas pihak yang kuat,dan
tabiat manusia cenderung mengarah kepada pihak yang lemah … "
Penulis Eropa
yang telah menulis tentang alur cerita terbunuhnya Husain As beserta para sahabatnya
namun tidak memiliki keyakinan terhadap mazhab Syiah ini, juga mengakui
ketertindasan Imam Husain As dan kesewenang-wenangan serta tiadanya belas kasih
dalam diri para pembunuh Imam Husain As dan para sahabatnya, dan ia memberikan julukan
kepada para pembunuh Imam Husain As ini dengan julukan yang buruk.
Pada tempat
lain ia mengatakan, "Tidak ada sesuatupun yang bisa tegak di hadapan
persoalan-persoalan alami ini. Dan poin ini merupakan salah satu penegas bagi
firqah Syiah."[23]
Kini, kami akan
menyinggung sebagian dari mereka yang dengan mendengar dan membaca tragedi Asyura
ini telah mengalami pergolakan dalam kemazhabannya:
1. Ustad
Mesir, Abu Syarif, terkenal dengan nama Abdul Majid
Dalam salah satu
suratnya kepada salah satu penceramah yang berbicara tentang Imam Husain As dia
menuliskan, "Suatu hari aku tengah duduk sendirian di dalam kamar, menggenggam
sebuah radio kecil dan memutar-mutar frekwensi untuk mencari gelombang radio
Kairo …, pada saat tanganku tengah memutar-mutar frekwensi tiba-tiba terdengar suara
yang indah nan memikat hati dari salah satu stasiun radio, gerakan tanganku terhenti
dan tidak lagi berkehendak mencari gelombang stasiun radio Kairo. Suara yang
kudengar kali ini lain dengan seluruh suara yang sebelumnya pernah aku dengar. Perlahan-lahan
perhatianku tertuju kepadanya. Aku fokuskan pendengaranku, dan baru aku memahami
bahwa dia tengah berbicara tentang Imam Husain As dan peristiwa pahit yang terjadi
di padang tandus Karbala, aku tidak terlalu mengetahui, pada bulan apa hal itu terjadi,
tapi kalau tidak salah, terjadi pada bulan Muharram.
Hingga hari itu
aku belum mengetahui hal-hal yang berkaitan dengantangisan untuk Imam Husain
As, akan tetapi ketika mendengar apa yang dikatakan oleh penceramah tersebut tentang
sebagian dari tragedi Karbala, mendadak aku merasakan hatiku diselimuti oleh kesedihan.
Aku tak bisa lagi menahan tangisanku, nafasku tercekat, air mataku tertumpah
ruah tanpa sadar, perasaanku terbakar dan terkoyak-koyak.
Tangisanku sebegitu
pedih dan menyayat hati, sebuah tangisan yang tidak pernah aku lakukan dalam seluruh
hidupku selama ini, keadaan seperti ini berlanjut hingga ceramah berakhir,
sungguh, sebuah keadaan yang telah mempengaruhi seluruh wujudku … "
Dalam kelanjutan
suratnya ia mengatakan, "… setelah kejadian inilah aku menemukan ufuk baru
yang lebih luas dan pandangan kedua mataku menjadi lebih terbuka terhadap tragedi
terbunuhnya Husain As."[24]
Setelah kejadian
ini kemudian ia memilih mazhab Tasyayyu' dan kedatangannya ke Iran telah
menjadikannya sebagai seorang presenter televisi.
2. Ustad
Shaib Abdul Hamid
Dalam kitabnya
yang berjudul Minhaj fi Al-Intima Al-Mazhabi, dia menuliskan kisah
penelitiannya, "Memang, demikianlah pada awalnya, penyelamatan dimulai
dengan Husain As sebagai penerang hidayah, dan dengan Husain As yang terbunuh.
Sebuah awal yang tidak pernah aku rencanakan sebelumnya, melainkan dialah yang telah
mengarahkan sasarannya kepadaku, dan Allah telah membantuku untuk berhasil
dalam menyambutnya, Dia menarik tanganku dan mengantarkanku ke arahnya … hingga
suatu hari … sebuah suara yang sangat menyayat telah mengusik telingaku. Bisa jadi
suara seperti ini sebelumnya telah berkali-kali terdengar olehku, akan tetapi aku
tidak mengacuhkannyabahkan mungkin aku telah meletakkan sebuah tirai di
atasnya, sehingga ia pun tidak memberikan perhatiannya kepadaku.
Akan tetapi,
kali ini dia sendirilah yang telah mengundangku … saat itu aku tengah duduk
sendirian di suatu ruangan atau semisal dengan itu, kehadiran suara itu telah membuat
seluruh inderaku tergetar hebat, secara tak sadar aku telah meletakkan seluruh perasaan
dan belas kasihku dalam kewenangannya …
Suara itu telah
menarikku dengan kuat ke arahnya laksana sebuah magnet … gelombang yang bergolak
dahsyat dan lidah-lidah api yang berkobar terasa melecutku setiap saat, hingga membuat
wujudku hampir mencapai titik didih di dekatnya, dia telah membuat seluruh
wujudku menjadi telinga yang hanya mampu mendengarkannya.
Aku bergerak
dan bernafas bersama suara itu dan hidup bersama peristiwa-peristiwa yang dinukilkannya,
bergolak lalu mendidih bersamanya … lantas aku melintasi perjalanan bersama kafilah
itu, berhenti dimanapun mereka berhenti, dan melangkahkan kaki selangkah demi
selangkah mengikuti ke manapun mereka pergi, hingga akhir.
Tragedi itu,
kisah tentang terbunuhnya Imam Husain As itu, diperdengarkan oleh Syeikh Abduz-zahra
Ka'bi pada hari ke sepuluh bulan Muharamul Haram tahun 1402 Hijriah. Aku mendengarkan
seluruh seruan Imam Husain As itu, seluruh wujudku terlecuti, terhentak dan tergetar
hebat. Air mataku menggulir tak terbendung, sesuatu tengah terjadi di dalam darahku
… seakan sebuah seruanrevolusi tengah berkobar, bergolak dan menggelegak dengan
hebat di dalam darah dan jiwaku … Labbaik ya Sayyidi, Ya Husain … yabna
Rasulullah …!
Berbagai
pertanyaan berkecamuk tiada henti di dalam benakku, seakan sebelumnya telah merupakan
sebuah cahaya malu-malu yang menyembul di balik tirai. Namun kini, cahaya ini
bangkit dan mendadak membelah seluruh area. Cahaya yang meliputi seluruh
pengikut Husain, seorang Husain peninggalan Mushthafa, pembesar umat dan seorang
pemimpin agama.
Cahaya yang
berasal dari Islam dengan seluruh maknanya yang bangkit dari awal ini, dibimbing
sejak awal secara pribadi oleh Rasulullah saw melalui sosok cucunya yang semerbak
mewangi, Husain bin Ali bin Abi Thalib As.
Dan hanya
seruan-seruan Islam-lah yang akan terpencar di manapun dia berada dan seluruh
manusia mengenali hal itu! Dan untuk Islam tidak ada makna lain kecuali itu.
Ya, tempat-tempat di mana para putra Rasulullah telah jatuh tersungkur dan
menemui kesyahidannya …"[25]
3. Ustad Idris Husaini Maghribi
Dalam
kitabnya Laqad Sayya'ni Al-Husain As, dia menuliskan "Salah satu
dari familiku bertanya, siapakah yang telah membuatmu menjadi seorang pengikut Syiah,
dan kitab-kitab apakah yang engkau rujuk?
Dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu aku berkata, "Tentang pertanyaan pertama mengenai
siapakah orang yang telah mensyiahkanku, aku harus mengatakan bahwa orang tersebut
adalah kakekku Husain As dan tragedi menyedihkan yang menimpanya di padang Karbala,
sedangkan pertanyaan kedua mengenai kitab-kitab apakah yang aku percayai dan
aku rujuk, maka aku harus mengatakan kepadamu bahwa aku merujuk pada kitab Shahih
Bukhari dan kitabkitab shahih yang lain dalam Syiah.
Dia berkata,
"Bagaimana mungkin hal ini terjadi?' Aku berkata, "Pelajari dan kajilah
kitab-kitab shahih tersebut dan jangan engkau lewatkan kontradiksi-kontradiksi yang
terdapat di dalamnya kecuali engkau hitung terlebih dahulu jumlah mereka. Dan jangan
pula engkau lewatkan kalimat-kalimat yang ada di dalamnya kecuali dengan
merenunginya … pada saat itulah engkau akan sampai pada harapan yang engkau
inginkan."
"Secara
pasti, umat yang telah membunuh Husain As dan memenjarakan para Ahlulbait sucinya,
sama sekali bukan merupakan umat yang bisa dipercaya. Dan sama sekali tidak ada
kemungkian bagi pikiran yang bebas dan tanpa rasa fanatik untuk mencari-cari
pembenaran atas tragedi ini, sebagaimana aku tidak mampu mangintepretasikan darah
yang suci sebagai air natural. Darah-darah yang telah mengalir dalam tragedi itu
bukanlah air sungai, melainkan darah-darah paling mulia dari orang-orang yang
telah diwasiatkan oleh Rasulullah saw kepada umat ini. Namun umat itu sendirilah
yang telah menghilangkan reputasinya sendiri, dan apapun yang mereka katakan,
tetap tidak bisa membuatku puas, bagaimana mungkin darah Husain As telah dialirkan
ke muka bumi oleh tangan seseorang yang memegang kepemimpinan atas umat Islam
sementara itu para ulama Ahlusunnah dan jamaah memperlakukannya dengan
baik?!"
Selanjutnya dia
berkata, "Umat yang tidak memberikan perhatiannya pada kondisi para putra Nabinya
setelah ketiadaannya, sama sekali tidak akan mampu menjaga sunnah-sunnahnya setelahnya.
Mari katakan apapun yang hendak kalian katakan untuk membenarkan perbuatan ini,
katakanlah bahwa kaum Muslim berijtihad dalam konspirasi awalnya untuk membunuh
Ahlulbait As! Dan katakanlahbahwa pikiran-pikiran seperti ini yang terdapat di dalam
kitab-kitab Syiah seluruhnya adalah rekayasa belaka dan tidak ada hakikat dan
realitasnya dalam Islam! Akan tetapi mampukah seorang muslim -baik yang berada di
samudra ini maupun samudra di sebelah sanamengingkari bahwa Imam Husain As meninggal
secara tragis di dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya berkembang pemikiran umum,
dengan perintah Yazid bin Muawiyah dan dengan fatwa resmi dari hakim-hakim
banci dan pedang-pedang laskar Umawi yang pendengki?!
Dia terbantai
dan terbunuh dalam tragedi yang tiada tandingannya dalam sejarah Islam, sebuah tragedi
perampasan kepemimpinan dari pihak yang benar, kaum Muslimin, oleh tangan Yazid
bin Muawiyah, sebuah pemaksaan atas perubahan kekhilafahan menjadi sebuahkerajaan
dan kesultanan."
"Sungguh,
sama sekali tidak akan ada seorangpun yang mampu mengingkari hal ini atau mencarikan
pembenaran atasnya, karena tradisi sejarah sama sekali tidak akan pernah lupa untuk
mencatatperistiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum-kaum lemah sekecil dan
sependek apapun, meskipun hal ini bisa jadi akan menyebabkan rasa keberatan
dari pihak perusak."[26]
Kemudian dia
melanjutkan perkataannya, "Hal yang diinginkan oleh Imam Husain As adalah melepaskan
umat dari kebekuan dan menggerakkan mereka untuk melakukan revolusi melawan Bani
Umayyah yang memegang tampuk kepemimpinan. Dan untuk tercapainya hal ini dan
supaya revolusi tersebut bisa muncul di dalam jiwa masyarakat, dibutuhkan kesetiaan
dan pengorbanan serta darah yang mengalir …"[27]
Lalu dia
menambahkan, "Imam Husain As bersikeras atas kemuliaan dan kebaikan umat, dia
berdiri tegak di hadapan Yazid dan penyimpanganpenyimpangan yang dilakukannya …
ya, Imam Husain As telah terhina sementara itu dia mempunyai kebutuhan yang mendesak
terhadap orang-orang yang mau mendukungnya."[28]
Setelah mengetengahkan
tentang tragedi Asyura secara singkat, ia sampai pada kesimpulan berikut bahwa
"Laqad Sayya'ni Al-Husain As" (Husain-lah yang telah mensyiahkanku).
Kemudian dia berkata, " … aku bersumpah demi jiwaku! Syahid inilah yang teriakannya
senantiasa terdengar dan bergerak di dalam paling sucinya tempat-tempat suciku.
Dan telah membuatku bersedih dalam seluruh keadaan dan gerakku."
Aku tidak bisa
melepaskan diriku dari membaca tragedi pembunuhan yang terjadi di Karbala dengan
penjelasannya yang menyayat itu, kecuali Karbala itu sendiri telah bangkit di dalam
jiwa dan pikiranku. Dan dari sinilah dimulainya awal revolusi, sebuah revolusi dan
pergolakan melawan seluruh pengertian-pengertian dan kejelasankejelasan yang telah
diwariskan kepadaku oleh para leluhur, ya …, revolusi Husain As telah merasuki
ruh dan akalku …
Warga Syam dan
Kufah berdatangan dengan membawa pedang, akan tetapi Husain As datang dengan membawa
darah, dan darahlah yang telah membawa kemenangan atas pedang, bahkan telah menang
atas sejarah yang menyimpang. Dengan demikian Husain As adalah sebuah cahaya
yang tidak mungkin akan terselimuti oleh kegelapan-kegelapan yang menyimpang. Kami
mengagungkan musibah dan tragedi ini dan mengetahui bahwa Husain As telah terbunuh
di jalan kebenaran dan hanya dengan setetes dari darahnya telah mampu menguburkan
keseluruhan musuh-musuh mereka ke dalam sejarah yang terlupakan.
Akan tetapi kini,
kami menangisi orang-orang lalai yang telah salah menempatkan para pembunuh dan
para penghina Imam Husain As dan para sahabatnya sebagai teladan dan pemimpinnya,
menganggap mereka sebagai sebuah contoh dari kerendahan hati dan pengendalian diri,
lalu mengikuti mereka … mereka adalah orang-orang yang telah mengantarkan
kesyahidan Husain As sementara mereka mengetahui dia lebih baik dari
pemimpinnya dan mengetahui bahwa dia adalah seorang sayyid, penghulu Arab dan kaum
Muslimin. Mereka tidak membunuh Imam Husain As kecuali karena hadiah-hadiah
yang telah dijanjikan oleh Yazid. Bukankah kekuatan yang mereka memiliki untuk
menyimpangkan Islam dan memalsukan hadis-hadis muncul karena keinginan mereka
untuk mendapatkan hadiah-hadiah dari Yazid?
Ya, inilah Imam
Husain As yang telah membuatku Syiah dari sela-sela musibah yang menimpanya dan
menimpa Ahlulbaitnya. Dia telah mensyiahkanku dengan darah-darahnya yang masih hangat.
Darahdarah hangat yang mengalir di atas kerikil-kerikil kuning di tanah tandus Karbala.
Dia telah mensyiahkanku dengan suara kanak-kanak dan kidung-kidung sedih para
perempuan.
Aku menjerit
mengingat hari itu sementara dari kedua mataku mengalir air mata duka dan kesedihan,
dan dengan kalbu yang tersayat-sayat oleh kesedihan-kesedihan itu aku berkata, tidak
ada sesuatu yang diperoleh dari apa yang telah dilakukan oleh musuh-musuh Husain
As dengan kematiannya tersebut, kecuali mereka telah menggali liang lahatnya mereka
sendiri, menginjak-injak mayat-mayatnya mereka sendiri hingga terkubur dengan penuh
kehinaan di dalam lintasan sejarah. Wahai Aba Abdillah! Aku senantiasa
melihatmu agung di mata sejarah, kehidupanmu telah bersinar dengan darah suci nan
semerbak yang engkau miliki.
Setiap kali aku
membaca kisah detail Karbala, sebuah magnetis akan menarikku ke arahnya, yang kemudian
akan membuat nafasku terengah-engah lalu mendapatkan Imam Husain As telah berada
di sampingku dengan bermandikan darah sucinya itu. Andai saja aku bersamanya dan
mendapatkan kemenangan yang besar! Dan kini aku lenyap dalam daya tarikan itu! Ya,
di sana terdapat orang-orang yang memahami apa yang aku pahami, dan mungkin juga
terdapat orangorang yang tidak memahami apa yang aku pahami sehingga tragedi agung
sejarah ini tidak memberikan pengaruh di dalam jiwanya …
Ya, Karbala merupakan
waktu dan tempat dimana aku memasuki sejarah, memasuki sebuah hakikat dan
memasuki Islam. Bagaimana aku tidak tertarik dengan daya tarik sufi dengan
hakikat yang melembutkan kalbu ini, atau bagaimana aku tidak akan fana dan
musnah sebagaimana daya tarik sebuah sastra yang membuat ketegangan pada akal sehat.
Benar, ini merupakan
sebuah tragedi dimana aku turun ke permukaannya dan mengatakan secara singkat
musibah yang menimpa Ahlulbait As dan kesalahan sejarah melawan keturunan
Rasulullah saw, dan sekarang aku ingin menutup pembicaraanku."[29]
4. Dr. Muhammad Tijani
Dalam kitabnya
yang berjudul Tsumma Ahdaitu menuliskan, "… dan Man'am sahabatku pun
akhirnya datang, kami lantas berkemas untuk melakukan perjalanan bersama-sama
ke Karbala. Di sana, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kalangan Syiah, aku
pun turut mengenang musibah yang menimpa penghulu para syuhada, Imam Husain As;
dan aku baru memahami ternyata Imam Husain As masih hidup hingga saat ini, masyarakat
pecinta Imam Husain As ini masih saja berjubel dan mengelilingi makamnya sebagaimana
kupu-kupu yang beterbangan, melingkarinya laksana mata rantai cincin yang tak terputus,
mereka terisak, menangis, dan meratap dengan duka dan kesedihan yang tidak
pernah aku saksikan selama ini, kadangkala mereka menangis dan menjerit dengan histeris,
seakan pada saat itulah Husain As menemui kesyahidannya.
Setelah itu aku
mendengar ceramah-ceramah tentang tragedi Karbala yang begitu menggugah dan menyayat-nyayat
perasaan, kudengar mereka kembali menangis, kali ini dengan suara yang semakin gaduh
dan menggema. Sungguh, aku kira tak ada seorang pendengarpun yang akan mampu menahan
air mata ketika mendengar cerita dari tragedi duka ini. Akupun menangis, menangis
dan menangis, sebegitu dahsyatnya sehingga seakan aku telah memendam
kesedihanku selama bertahun-tahun dan saat ini tengah melesak keluar dan
meledak. Namun ajib, setelah selesai menangis, aku merasakan adanya sebuah
ketenangan dalam diriku yang tak pernah aku rasakan sebelum ini.
Beberapa
waktu yang lalu, seakan aku berada di dalam barisan musuh Husain As yang menentang
dan menzaliminya, akan tetapi sekarang, dalam sekejap mata aku telah berbalik dan
berada dalam barisan pengikut dan sahabatnya, dan tengah berada dalam antrian pasukan
yang akan mempersembahkan nyawa di medan laga ini. Dan betapa menariknya, tepat
pada saat penceramah menganalisa tentang cerita Al-Hurr Ra, Al-Hurr Ra adalah
salah satu dari pemimpin pasukan musuh yang datang untuk melawan Imam Husain
As, akan tetapi tiba-tiba dia merasakan kegentaran di dalam hatinya, dan ketika
para sahabatnya bertanya, "Apa yang terjadi pada dirimu? Jangan-jangan engkau
takut menghadapi kematian?"
Dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut dia berkata, "Demi Allah! Aku sama sekali tidak
pernah merasakan takut akan kematian, akan tetapi aku melihat diriku berada di antara
dua pilihan, memilih surga ataukah neraka." Setelah menyelesaikan
ucapannya, tiba-tiba dia membelokkan kudanya untuk bergerak ke arah pasukan Imam
Husain As, sesampai di hadapan Imam Husain As dengan tangisan yang menghiba dia
berkata, "Wahai Putra Rasulullah! Apakah masih ada pintu taubat untukku?"
Tepat pada
saat inilah aku tidak mampu lagi menahan raunganku, aku menjatuhkan diriku ke atas
tanah dan meraung-raung seakan aku tengah mengambil alih peran Al-Hurr dan
tengah menghiba di hadapan Imam Husain As, "Wahai Putra Rasulullah! Apakah
masih ada pintu taubat untukku? Wahai Putra Rasulullah! Ampuni aku, ampuni
aku!"
Suara penceramah
seakan telah menghipnotis para pendengarnya sehingga ratapan dan raungan mereka
pun semakin meninggi dan tak terkendali. Sahabatku yang mendengar raungan dan ratapanku
lantas memelukku sebagaimana seorang ibu yang tengah memeluk anaknya, dan di antara
tangisannya, dia berulang-ulang mengucapkan kalimat, "Ya Husain! Ya
Husain!"
Inilah
saat-saat aku memahami tangisan yang konkret dan riil yang ada dalam diri
mereka, aku rasa aku telah mencuci bersih kalbu dan seluruh tubuhku dari dalam,
dengan air mataku yang bersimbah ruah. Di sanalah aku memahami makna hadis dari
Rasulullah saw yang bersabda, "Seandainya kalian mengetahui apa yang aku
ketahui, maka aku yakin, kalian akan lebih sedikit tertawa dan akan lebih
banyak menangis."
Setelah itu aku
melalui seluruh hari tersebut dengan duka dan kesedihan. Untuk menghibur dan membuatku
senang, sahabatku membawakan segelas susu dan sepotong kue untukku, akan tetapi
tenggorokanku kering tak berselera. Justru rasanya aku malah ingin mendengar
kembali cerita tadi, lalu aku pun meminta kepada sahabatku untuk mengulang
kembali cerita dari tragedi duka di padang Karbala itu, karena aku sama sekali tidak
mengetahui apa-apa tentangnya."[30]
5. Ahmad Husain Ya'qub Urduni
Dalam perjalanannya
ke Iran dalam rangka memperingati wafatnya Imam Khomeini Ra, dia mengatakan,
"Salah satu dari programku selama di Iran adalah menziarahi makam Imam Khomeini
Ra dalam rangka memperingati hari wafatnya. Pagi hari itu aku pergi ke makam beliau
dan berhadapan dengan luapan masyarakat yang terdiri dari lelaki dan perempuan,
mereka yang berjumlah tak kurang dari tiga juta ini berputar mengelilingi makam
Imam layaknya sebuah rantai yang tak terlepaskan, mereka mengangkat tangan-tangan
mereka ke langit dan secara bersama meneriakkan yel-yel dan slogan-slogan berbahasa
Persia. Kepada penerjemah aku berkata, "Terjemahkan kepadaku secara
mendetail tentang apa yang dikatakan oleh masyarakat ini!" Dia berkata, "Mereka
mengatakan, Wahai Imam! Kami tidak akan seperti orang-orang yang telah
meninggalkan Imam sendirian, kami senantiasa bersamamu wahai Imam!"
Tiba-tiba tangisanku
meledak, aku memahami Imam yang mereka maksudkan, yang ditinggalkan seorang diri
sehingga pasukan musuh membunuhnya tak lain adalah Imam Husain As! Pada hari
itu terbersit di dalam benak dan kalbuku untuk menyusun kitab yang berkaitan
dengan tragedi Karbala. Dan aku sampai pada kesimpulan bahwa menginformasikan bagian-bagian
dari tragedi Karbala kepada masyarakat merupakan sebuah hal yang sangat penting.
Oleh karena
itulah kemudian sebagian dari waktuku aku nadzarkan untuk mengkaji tema ini, dan
akupun mulai membaca dan mengumpulkan topik-topik yang berkaitan dengannya hingga
akhirnya aku berkecimpung dalam penyusunan buku dalam tema ini …
Ketika aku tengah
sibuk menyusun kitabku, kadangkala aku mendapatkan kondisi-kondisi dimana secara
mutlak aku merasa lebih bersedih dari seluruh hari-hari lainnya. Aku terpengaruh
dengan peristiwa yang telah terjadi, dan dalam sepanjang hari aku bisa berkali-kali
menangis. Manusia manakah yang tidak menangis atas berbagai peristiwa yang
terjadi pada tragedi Karbala …"[31]
Ahmad Husain
Ya'qubi merupakan salah satu penulis yang setelah memilih Tasayyu menyusun
beberapa kitab untuk membela mazhab ini.
6. Allamah
Dr. Muhammad Hasan Syahhatah
Setelah melakukan
berbagai kajian yang berkaitan dengan Syiah Imamiyyah, dosen Universitas
Al-Azhar ini menemukan kebenaran dari firqah ini, dan pada perjalanannya ke
Iran dalam salah satu ceramahnya untuk masyarakat Ahqaz, ia mengatakan, "Cintaku
terhadap Imam Husain As telah menyebabkanku melepaskan diri dari seluruh
keberhasilan yang selama ini aku miliki."
Pada bagian lain
dari ceramahnya, dia mengatakan, "Jika seseorang menanyakan padaku, apakah
Imam Husain As bisa ditemukan di Barat atau di Timur? Aku akan menjawab bahwa Imam
Husain As bisa ditemukan di dalam kalbuku. Dan Allah Swt telah memberikan taufik
kepadaku untuk menziarahi makamnya."[32]
Diterjemahkan
dari Kitab Al-Waqi'atu 'asyuran wa al-radda as-syubuhati 'alaiha, Ali
Asghar Ridhwani
_______________________________________________
[1]
Shur Bahdadiyyah, hal. 145-150.
[2]
Ibid, dengan nukilan dari Mausu'ah Al-'Ittibat Al-Muqaddasah.
[3]
Adam Al-Kalam, Ali Pasya Shalih, hal. 199, dari Kitab Tarikh Al-Adab
Al-Irani, Brown.
[4]
Rahbar Ozodegon, hal. 53.
[5]
Ibid, hal. 52.
[6]
Rahbar Ozodegon, hal. 53.
[7]
Husain Pisywoye Insan-ha, hal. 11 dan 12.
[8]
Ibid, hal. 46.
[9]
Rahbar Ozodegon, hal. 51.
[10]
Zendegi-ye Pisywoyon, hal. 84 dan 85.
[11]
Ibid, hal. 86.
[12]
Syahsawar Islam, hal. 267 dan 268.
[13]
Al-Imam Ali As, George Jardaq, tarjeme-ye Abu Al-Hasan Syahrani,
hal. 234-247.
[14]
Rahbare Ozodegon, hal. 56.
[15]
Zendegi-ye Pisywoyon, hal. 78.
[16]
Husain As Pisywo-ye Insan-ha, hal. 30.
[17]
Negohi beh Tarikh Jahon, Jawaharlal Nehru, jilid 1, hal. 298, terjemahan
Mahmud Tafadhalli.
[18]
Tarikh-e Fakhri, hal. 5.
[19]
Istisyhad Al-Husain As, Al-Jamili, hal. 13.
[20]
Husain As Pisywoye Insan-ha, hal. 37-40.
[21]
Foje'e-ye Karbala, Georgie Zaidan, hal. 143, terjemahan Mahmud Ali Syirazi.
[22]
Tarikh Siyasi-e Islam, Dr. Hasan Ibrahim Hasan, hal. 352.
[23]
Ighna' Al' Al-A'im, hal. 356.
[24]
Daur Al-Minbar Al-Husaini fi At-Tau'iyah Al-Islamiyyah, Dr. Muqaddasi,
hal. 112 dan 113.
[25]
Minhaj fi Al-Intima Al-Mazhabi, Shaib Abdul Hamid, hal. 31 dan 32.
[26]
Laqad Sayya'ni Al-Husain As, Idris Maghribi, hal. 63-65.
[27]
Ibid, hal. 297.
[28]
Ibid, hal. 303.
[29]
Laqad Sayya'ni Al-Husain As, hal. 313 – 315.
[30]
Ongoh Hidoyat Syudam, hal. 96-98.
[31]
Karbala, Ats-Tsaurah wa Al-Ma'sah, Ahmada Husain Ya'qubi, hal. 7 – 8.
[32]
Dengan nukilan dari surat kabar Jumhuri-e Islami, no. 6771.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar