Sabtu, 09 November 2013

Kesyahidan Imam Husein di Padang Karbala (Bagian 2)


Kisah Ali Zainal Abidin
Peristiwa menjelang pertempuran Karbala ini telah diceritakan pula oleh Ali Zainal Abidin, putera Al Husain yang malam itu masih belum lepas sama sekali dari serangan penyakit. Tentang jeritan pada malam menjelang pertempuran di Karbala yang terlontar dari mulut bibinya, Sitti Zainab menurut Ali Zainal Abidin itu adalah sebagai berikut:


"Pada malam hari pada waktu keesokan harinya ayahku gugur di Karbala, aku sedang duduk termenung dalam keadaan sakit. Ketika itu bibiku berada di sampingku. Dalam kesunyian itu tiba-tiba aku dan bibiku mendengar suara ayahku, Al Husain yang berada di kemahnya, mengumandangkan suatu syair. Dengan suara terputus-putus bersyairlah ayahku demikian:

Oh, zaman.
Alangkah buruk engkau sebagai teman.
Betapa banyak peristiwa sedih telah terjadi.
Pada pagi dan petang hari.
Peristiwa-peristiwa yang menimpa para sahabat yang menuntut balas terbunuhnya keluarga.
Dan engkau, wahai zaman, tidak puas dengan pengganti menuntut terus tiada henti.
Sesungguhnya, Segala urusan kembali pada Yang Maha Esa.
Semua makhluk hidup menempuh jalan itu juga.

Mendengar syair ayahku yang diucapkannya berulang kali, terasa tenggorokanku makin kering dan tak dapat lagi aku menahan air mataku. Demikian pula bibiku yang hampir selalu berada di dekatku yang juga turut mendengar alunan sajak ayahku yang lebih menyerupai ratapan itu akhirnya menangis pula. Ia tiba-tiba berteriak, melompat berdiri dan pergi tanpa kerudung menuju ke kemah ayahku. Lalu aku mendengar ia berkata kepada ayahku:

"Oh, Husain, kakakku. Engkau akan meninggalkan aku. Coba kalau ajal mengakhiri hidupku ini!"

"Adikku Zainab," terdengar suara ayahku menjawab dengan suara lemah lembut dan menyejukkan, "jangan biarkan dirimu dipengaruhi oleh syaitan yang memang berusaha menghabiskan kesabaranmu …"

"Kakakku Husain," sahut bibiku dengan suara isakan tangisnya, "semoga jiwaku menjadi tebusan bagimu."

Rupanya ayahku sangat terharu sehingga tidak dapat menahan tetesan airmatanya mendengar ungkapan kasih sayang adiknya itu. Berkatalah beliau kemudian:

"Adikku, teguhkanlah imanmu kepada Allah SWT Serahkan nasibmu kepada-Nya. Ketahuilah adikku, semua makhluk di permukaan bumi ini pasti (pada suatu waktu) akan mati. Demikian pula segenap penghuni langit tidak akan hidup abadi. Segala sesuatu pasti akan mengalami kemusnahannya, kecuali Allah SWT Bukankah ayahku lebih baik daripadaku? Ibuku lebih baik daripadaku? Demikian pula saudaraku adalah lebih baik daripada aku? Mereka semua itu telah pergi mendahului aku. Hendaklah aku dan semua orang beriman menjadikan Rasul Allah SAW sebagai contoh dan tauladan dari kehidupannya …"

Aku masih ingat, ayahku mengakhiri kata-katanya pada malam itu dengan mengucapkan:

"Adikku, aku minta engkau bersumpah di hadapanku. Dan aku harapkan agar engkau menepati sumpahmu itu. Yaitu, apabila aku gugur, maka janganlah engkau mengoyak-koyak bajumu dan memukuli wajahmu. Jangan pula kau mendoakan kehancuran dan kecelakaan karena hilangnya aku …"

Itulah salah satu peristiwa yang diingat dan dikisahkan oleh Ali Zainal Abidin mengenai malam menjelang terjadi malapetaka Karbala. Ia masih muda. Tetapi orang mengenalnya sebagai anak yang cerdas. Peristiwa itu sangat berkesan pada dirinya. Sebab pada malam itulah rupanya ia mendengar suara ayahnya yang terakhir pada malam hari. Anak yang masih muda itu telah ikut merasakan suatu keadaan yang sedang mengancam rombongan yang dipimpin oleh ayahnya.

Malam itu ternyata cepat berlalu dengan iringan do'a dan zikir para anggota keluarga dan sahabat-sahabat Al Husain. Sedang di suatu tempat yang tidak seberapa jauh letaknya, seperti harimau lapar, menanti suatu pasukan yang bersenjata lengkap untuk menyergap rombongan yang kecil ini. Anggota pasukan itu menyalakan api untuk sekedar mengurangi kedinginan malam di Karbala.

Sementara sakit Ali Zainal Abidin bertambah berat, Sitti Zainab yang selalu mendampinginya tidak dapat menahan kepedihan hati dan kebingungannya. Sebentar-sebentar dirabanya dahi anak itu. Panas tidak makin mereda. Bibir yang mungil dan biasa kemerah-merahan, sekarang nampak kering dan pecah-pecah.

"Minum…," terdengar suara lirih dari tenggorokan yang telah kering itu. Makin tersayat hati Sitti Zainab mendengar permintaan kemenakannya itu. Sebab air sudah tidak ada lagi. Kantong air telah kering kerontang. Sedangkan hanya beberapa puluh meter saja terdapat air yang melimpah-limpah dari sungai Eufrat. Tetapi air itu dijaga keras oleh suatu pasukan yang lebih takut kepada ancaman Ubaidillah bin Ziyad daripada ketakutan mereka kepada Allah SWT. Satu-satunya yang dapat dilakukan oleh Sitti Zainab adalah memberikan harapan dan meneguhkan iman anak yang dicintainya itu. Ia hanya dapat memohonkan do'a kepada Allah SWT dan berpesan: "Sabarlah anakku. Tahankan sebentar kehausanmu!"

Belum cukup menghadapi Ali Zainal Abidin yang tengah disiksa kesakitan dan kehausan, maka di sampingnya tergeletak anak bayi yang masih belum lepas susu. Bayi itu adalah Ali Al-Asghar, adik Ali Zainal Abidin. Pilu mendengar tangis anak kecil yang kehausan. Untuk sekedar memenuhi permintaan anak yang belum tahu apa-apa itu Sitti Zainab memasukkan dalam mulut Ali Al-Asghar itu secarik kain. Anak tersebut kemudian menghisap-hisap ujung kain sehingga terlena untuk kemudian tertidur sebentar. Tetapi itu tidak berlangsung lama, karena kehausan kembali mencekam dan terdengar tangisnya yang memilukan.

Kalau ada suatu keajaiban bisa terjadi, maka anggota rombongan Al Husain pada tanggal 9 Muharram tersebut mengharapkan agar matahari tidak terbit esok hari.Tetapi apakah artinya? Matahari tidak terbit lagi tetapi tetap diancam oleh maut karena kelaparan dan kehausan? Tidak ada pilihan lain. Menyongsong fajar tanggal 10 Muharram yang membawa pertempuran dengan pasukan Kufah maupun menyongsong kehausan yang makin mencekam adalah sama beratnya.

Akhirnya fajar tanggal 10 Muharram menyingsing juga. Dua kelompok manusia saling berhadapan. Satu kelompok besar bersenjata lengkap, berhadapan sekelompok kecil rombongan cucu Rasul Allah SAW. Satu kelompok mewakili kekuasaan duniawi yang sewenang-wenang, sedangkan kelompok lain mewakili keimanan dan keturunan yang mulia. Umar bin Saad memimpin pasukan yang berjumlah tak kurang dari 4.000 orang, berhadapan dengan pengikut-pengikut setia Al Husain yang hanya terdiri dari 72 orang, yaitu 32 prajurit penunggang kuda dan 40 orang prajurit pejalan kaki. Selebihnya hanya terdiri dari anak-anak dan perempuan-perempuan.

Tetapi Al Husain sama sekali tidak merasa kecil hati dengan anggota pasukannya yang hanya berjumlah 72 orang itu. Dengan anggun ia melihat pasukannya yang sudah siap untuk mengorbankan segala-galanya. Kemudian ia memandang ke depan pada pasukan musuh yang berjumlah ribuan. Dalam hati kecilnya Al Husain sudah tahu, bahwa betapapun keberanian anggota-anggota pasukannya, mereka tidak akan bisa menang menghadapi musuh yang jauh lebih kuat itu. Tetapi ia sudah bertekad untuk lebih baik mati bercermin bangkai daripada hidup berkalang tanah. Kemudian ia mengucapkan do'a dengan suara tenang:

"Ya Allah. Engkaulah tempatku berlindung dalam kesusahan. Engkau tempat aku meletakkan harapan dalam penderitaan. Betapa banyak sudah kesukaran yang melemahkan jiwa yang telah Kau timpakan atas diri kami yang kemudian Engkau angkat. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah pemberi nikmat dan Engkaulah, wahai Tuhanku, pemilik semua kebaikan."

Semua anggota pasukannya dengan penuh khidmat mendengarkan pemimpinnya itu mengucapkan do'a. Sedikitpun tidak nampak wajah kecut dan ketakutan.

Selesai memanjatkan do'a itu kemudian Al Husain tegak memandang ke hadapannya pada pasukan musuh yang dipimpin oleh Umar bin Saad. Pasukan yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Kufah yang beberapa waktu sebelumnya telah menyatakan bai'at dan sumpah setianya kepada Al Husain. Dengan suara lantang kemudian cucu Rasul Allah SAW itu berseru kepada mereka:

"Wahai para ahli Irak! Dengarkanlah kata-kataku ini. Jangan kalian cepat-cepat melakukan serangan terhadap kami sebelum kalian mendengar apa yang akan aku ucapkan ini. Jika kalian insaf dan dapat membenarkan apa yang kukatakan nanti, pasti hidup kalian akan lebih berbahagia …"

Rupanya permintaan Al Husain itu diperhatikan benar-benar oleh Umar bin Saad. Melihat ini kemudian Al Husain dengan suara penuh wibawa melanjutkan:

"Tetapi sebaliknya, kalau kalian tidak juga mau insaf dan sadar sehingga kalian tidak bersedia menerima kebenaran yang aku sampaikan, maka kami persilahkan kalian mengerahkan semua tenaga dan kekuatan kalian. Kemudian gempurlah kami; jangan ditunda-tunda lagi!"

Suara Al Husain penuh wibawa itu rupanya membuat Umar bin Saad dan anggota-anggota pasukannya tertegun. Sebelum mereka sadar tentang apa yang harus mereka lakukan, maka tiba-tiba Al Husain melanjutkan mengucapkan kata-katanya dengan mengutip ayat 196 surat Al A'raf yang (terjemahannya) berbunyi:

"Sesungguhnya pelindung kami adalah Allah yang telah menurunkan Kitab-Nya, dan Allah juga yang melindungi orang-orang yang soleh."

Suara Al Husain tersebut menggema di tengah padang pasir pada fajar yang sangat cerah itu. Ternyata bukan saja pasukan Umar bin Saad dan pasukannya sendiri, tetapi juga perempuan-perempuan yang ada dalam kemah-kemah dapat mendengarkan apa yang dikatakan oleh putera Sitti Fatimah Azzahra r.a. itu. Sitti Zainab bersama kawan-kawannya ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Al Husain terhadap musuhnya itu tidak lagi dapat menyembunyikan perasaan mereka. Gema suara Al Husain disambut isakan tangis dan sedu-sedan dari kemah-kemah. Rupanya tangis dan isak itu terdengar juga oleh Al Husain. Ia nampaknya ingat pada apa yang pernah dikatakan oleh pamannya, ibnu Abbas pada dirinya sebelum ia meninggalkan Mekah yang berbunyi sebagai benkut:

"Oh, Husain! Jika engkau harus juga berangkat ke Kufah, janganlah kau membawa wanita dan anak-anakmu yang masih kecil. Sungguh Husain, aku khawatir kalau engkau sampai terbunuh seperti yang pernah dialami oleh Usman ketika ia mati dibunuh di hadapan mata isterinya."

Al Husain kemudian sadar dari renungannya. Segera ia perintahkan anaknya Ali Al-Akbar dan Al-Abbas untuk menyuruh diam orang-orang perempuan itu dari tangisan mereka. Tidak bisa disangsikan, nampaknya tangis para wanita itu sangat mempengaruhi perasaan Al Husain. Sebab begitu perempuan-perempuan itu menghentikan tangisnya, berkatalah Al Husain lebih lanjut:

"Saudara-saudara, kenalilah aku ini. Perhatikanlah siapa aku ini!" Katanya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Lalu kembali tanyakan pada diri kalian. Dengarkan suara hati nuranimu. Ketuklah hati kecilmu sendiri dan kemudian pikirlah baik-baik. Pantaskah, layakkah bagi kalian untuk membunuh aku dan menginjak-injak kehormatan diriku? Bukankah aku ini putera Sitti Fatimah Azzahra. Puteri junjungan Rasul Allah SAW? Dan bukankah aku ini putera Ali bin Abi Tholib, seorang mu'min yang pertama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya? Bukankah kalian juga tahu bahwa Hamzah bin Abdul Mutholib, seorang pemimpin dari para syahid adalah paman ayahku? Demikian pula Ja'far bin Abi Tholib yang telah mati syahid itu adalah pamanku!"

Orang-orang, baik rombongan Al Husain maupun musuh mereka nampak terpukau oleh kata-kata Al Husain yang berkata selanjutnya:

"Tidakkah kalian pernah mendengar sabda Rasul Allah SAW mengenai diriku dan diri kakakku Al Hasan, ketika beliau mengatakan bahwa "kalian berdua adalah pemimpin para pemuda ahli surga dan cahaya mata orang-orang ahli-sunnah? Tidaklah itu semua cukup menjadi penghalang bagi kalian untuk menghalangi kalian untuk jangan sampai menumpahkan darahku?"

Tetapi melihat mata Umar bin Saad dan anggota pasukannya yang tidak dapat menyetujui ucapan Al Husain itu maka putera Sitti Fatimah Azzahra r.a. dengan nada agak meninggi setengah berteriak berkata:

"Jika kalian masih juga merasa ragu terhadap apa yang telah kukatakan; jika kalian masih bimbang bahwa aku ini benar-benar anak puteri Rasul Allah SAW, boleh aku jelaskan. Demi Allah, tidak ada lagi baik di Timur maupun di Barat seorang putera dari puteri Rasul Allah SAW, selain daripada aku!"

Suasana makin tegang, karena nampaknya walaupun Al Husain sudah mencoba meyakinkan dan membuka hati lawannya, mereka masih tetap berkeras untuk siap menyergap. Tetapi Al Husain dengan tenang tetap meneruskan pidatonya dengan berkata lagi:

"Apakah kalian menuntut aku sebagai suatu pembalasan karena aku telah membunuh seorang di antara kalian? Ataukah kalian mengejar aku karena aku telah menghabiskan hartamu?"

Dengan pandangan tajam Al Husain melihat pada wajah-wajah musuh yang tidak seberapa jauh berada di hadapannya itu. Banyak di antara wajah-wajah yang ditatapnya itu yang dikenalnya. Tiap pandangan Al Husain bertatapan dengan pandangan orang yang dilihatnya, maka musuh itu menundukkan kepala. Mereka tak mampu dan tak berani menatap pandangan putera Sitti Fatimah Azzahra r.a. tersebut. Sebab Al Husain mengenal mereka. Tidak sedikit di antara yang dikenalnya itu adalah orang-orang yang pernah menyatakan kesetiaan mereka kepadanya. Al Husain sambil menunjuk kepada beberapa orang mengatakan:

"Hai fulan, Bukankah kalian telah pernah menulis surat kepadaku dengan mengatakan bahwa 'tanaman telah menghijau dan buahnya sudah matang?' Bukankah kalian juga yang pernah menulis bahwa 'sudah waktunya aku datang di Kufah untuk mempersiapkan tentara yang bersedia membela aku?' …"

Sungguh, kata-kata Al Husain ini menggetarkan. Karena bukan saja yang dikatakannya itu adalah benar, tetapi juga benar-benar menembus jantung orang-orang yang disebutnya itu. Kata-kata Al Husain itu rasanya sudah merupakan tusukan senjata-senjata pertama yang menembus ulu hati-kecil orang-orang Kufah itu.

Meskipun cukup panjang pidato Al Husain, kedua pasukan yang sebenarnya sudah siap untuk saling menyergap itu seolah-olah terpukau. Padahal tombak telah diacungkan dan pedang telah dihunus. Bagi musuh Al Husain, pidatonya itu seolah-olah merupakan suara seorang hakim yang siap mengadili mereka. Kata-katanya adalah tuduhan-tuduhan yang kuat sekali dasarnya. Tak seorang pun yang bergerak dan menyahut selama cucu Rasul Allah SAW itu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa yang terus terang dan penuh kebenaran. Tetapi kalimat-kalimat terakhir yang diucapkan oleh Al Husain itu ternyata tidak dapat lagi mereka tahan-tahan. Beberapa orang kemudian mengeluarkan teriakan-teriakan untuk mengganggu dan mengacaukan pidato Al Husain. Mereka malu terhadap apa yang diungkapkan oleh Al Husain itu.

Al Hurr Bin Yazid Insaf
Hiruk-pikuk di kalangan anggota pasukan Kufah itu makin menjadi-jadi, sebab banyak di antara mereka yang terkena oleh kata-kata Al Husain. Tetapi ternyata salah seorang di antara anggota pasukan itu, yang tidak lain adalah Al Hurr bin Yazid telah menerima kata-kata Al Husain itu dengan penuh kesadaran. Selama itu memang dia termasuk di antara salah seorang anggota pasukan Umar bin Saad yang mendengarkan dengan tekun pidato Al Husain. Di tengah-tengah hiruk-pikuk suara mereka yang mengacau amanat Al Husain, maka Al Hurr tiba-tiba bergerak mendatangi komandan pasukannya, yaitu Umar bin Saad.

"Apakah engkau akan berperang dengan sekelompok orang itu?" Tanya Al Hurr bin Yazid kepada Umar bin Saad.

"Ya! Demi Allah, aku akan menggempur dia. Sekurang-kurangnya sampai kepalanya jatuh dan tangannya melayang!" Jawab komandan pasukan, Umar bin Saad itu.

"Apakah engkau tidak setuju dengan salah satu dari tiga saran yang telah dikemukakan oleh Al Husain itu?" tanya Al Hurr bin Yazid lagi.

"Demi Allah," jawab Umar bin Saad dengan mata memandang ke bawah dan suara agak dilirihkan, "jika sekiranya kekuasaan ada di tanganku, tentu saja aku akan menerimanya. Tetapi Kepala Daerah, Ibnu Ziyad. tidak mau menerima (saran Al Husain) itu."

Mendengar jawaban dari atasannya itu Al Hurr tertegun sebentar dan kemudian dengan pelan-pelan mundur. Setelah beberapa langkah mudur ia membalikkan badan kuda yang ditungganginya dan berjalan menuju ke arah berkumpulnya pasukan Al Husain badannya terasa gemetar karena menahan perasaan berat. Baik pasukan dari Kufah maupun rombongan Al Husain melihat peristiwa ini dengan penuh tanda tanya. Suasana sunyi senyap, yang terdengar hanya dengus kuda-kuda pasukan dari Kufah dan langkah-langkah kuda Al Hurr bin Yazid yang menuju ke arah Al Husain. Tiba-tiba, seorang anggota pasukan Kufah yang tidak dapat lagi melihat keadaan yang aneh itu setengah berteriak berkata kepada Al Hurr:

"Demi Allah, belum pernah selama ini aku melihat engkau bertindak demikian dalam suatu peperangan…"

Semua mata diarahkan kepada orang yang mengatakan kata-kata tersebut. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya:

"Sungguh, kalau aku ditanyai orang, siapakah orang Kufah yang paling gagah berani? Hmmm, maka tanpa ragu-ragu lagi aku akan menjawab: 'Yang paling gagah di antara perajurit Kufah adalah Al Hurr bin Yazid' …"

Mendengar kata-kata orang itu maka Al Hurr yang memandang dan berjalan menuju ke tempat Al Husain kemudian berhenti dan berpaling ke arah datangnya suara itu. Di hadapan anggota-anggota pasukan Umar bin Saad kemudian Al Hurr bin Yazid berkata dengan suara lantang: "Demi Allah. Aku telah menyuruh hatiku untuk melakukan pilihan satu di antara dua: surga atau neraka. Dan hasilnya, aku tidak akan mengutamakan sesuatu yang lain di atas surga. Ya, walaupun untuk mendapatkan itu aku harus dicincang dan dibakar hidup-hidup …!"

Selesai mengucapkan kata-kata itu, sebelum pasukan Umar bin Saad dapat berbuat sesuatu, Al Hurr telah membalikkan lagi badan kudanya dan segera memacu tunggangannya itu cepat-cepat menuju ke tempat Al Husain. Tepat di depan Al Husain kuda itu dihentikannya. Segera ia terus dan dengan emosi ia mengatakan kepada cucu Rasul Allah SAW tersebut:

"Wahai putera Rasul Allah SAW semoga Allah menjadikan diriku ini sebagai penebusmu dalam bahaya."

Al Husain belum lagi sempat menyahut dan masih terheran-heran, tetapi Al Hurr sudah melanjutkan kata-katanya dengan mengucapkan:

"… akulah orangnya yang menyebabkan engkau tidak dapat kembali pulang ke Hejaz untuk menyelamatkan dirimu. Akulah yang terus menekan engkau sehingga engkau tiba di tempat ini dan menghadapi keadaan seperti ini. Demi Allah, ya putera Rasul Allah, aku telah melaksanakan tugas itu dengan suatu keyakinan, bahwa mereka akan menerima salah satu dari tiga saran yang telah kau ajukan itu. Aku mempunyai keyakinan bahwa mereka tidak akan menolak seluruh saranmu itu. Ya Allah, kalau saja aku tahu bahwa mereka pasti tidak akan mau menerima saran-saran yang kau ajukan itu, tentu mulai dari kemarin itu juga aku tidak akan sudi menjalankan perintah untuk menghalang-halangi kau!"

Kata-kata tersebut disampaikan oleh Al Hurr dengan emosi dan keras sehingga terdengar oleh kedua kelompok pasukan itu. Dengan suara yang jelas dan tegas kemudian ia melanjutkan:

"Kini, Al Husain, aku datang kepadamu untuk menyatakan taubatku terhadap tindakan yang telah aku lakukan itu sehingga menempatkan engkau dalam keadaan sesulit ini. Sekarang aku menyediakan jiwa dan ragaku untuk memberikan bantuan padamu sehingga aku mati di hadapanmu!"

Pernyataan Al Hurr bin Yazid itu disambut dengan suara gemuruh oleh pasukan Al Husain. Tanpa menghiraukan sambutan orang-orang Al Husain itu, Al Hurr kemudian berbalik menghadap ke arah pasukan Umar bin Saad. Dengan berteriak-teriak ia mengatakan:

"Wahai warga Kufah! Alangkah buruk perbuatan yang kalian lakukan. Kalian telah memanggil Al Husain dengan berbagai macam bujukan dan rayuan. Dan sekarang, ketika ia datang untuk memenuhi panggilanmu itu, maka kalian membiarkannya begitu saja diserahkan pada tangan musuhnya. Bukankah kalian telah menyatakan akan berjuang mati-matian untuk membela Al Husain? Apa kenyataannya sekarang? Kalian datang untuk menyerang dan membunuhnya! Kalian telah mengepung dia! Kalian telah melarang dia untuk menjelajahi bumi Allah yang luas ini. Kalian telah menempatkannya sebagai tawanan yang sama sekali tidak berdaya untuk menolak bahaya yang akan mencelakakannya…"

Suaranya makin parau karena teriakan-teriakan itu, tetapi Al Hurr terus melanjutkan kata-katanya:

"Demikian sampai hati kalian untuk menghalang-halangi Al Husain dan keluarganya serta para sahabatnya untuk mengambil air di sungai Eufrat yang mengalir dengan derasnya itu. Padahal orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan Majusi dapat mengambil dan minum airnya dengan bebas. Bukan mereka itu saja, bahkan babi hutan dan anjing yang najis pun dapat berendam sesuka hati mereka di sungai itu. Tetapi kalian telah mengharamkannya bagi keluarga Rasul Allah dan kalian tega untuk membiarkan mereka sampai mati kehausan. Bukan main buruk perbuatan kalian terhadap keluarga Rasul Allah SAW"

"Ya Allah…," keluh Al Hurr, "semoga kalian tidak akan dapat minum pada saat kalian merasakan dahaga di tengah padang pasir kelak…" Tapi Al Hurr tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Beberapa anak panah telah dilepas oleh pasukan Umar bin Saad dan ditujukan ke arah Al Hurr bin Yazid dan rombongan Al Husain. Pelepasan anak panah ini ternyata menandai dimulainya suatu pertempuran yang sama sekali tidak seimbang antara dua pasukan. Empat ribu anggota pasukan berkuda dan berjalan kaki bersenjata lengkap berhadapan dengan 80 orang yang hanya mengandalkan kepada kebenaran dan kepercayaan kepada Allah SWT. Segera pasukan kecil di bawah pimpinan Al Husain mulai membalas dengan segala kemampuan mereka yang ada. Sedangkan mengenai Al Hurr bin Yazid, sejak detik itu ia selalu berada di samping Al Husain hingga akhirnya gugur dalam menegakkan kebenaran yang diridhoi oleh Allah SWT. 

Tidak ada komentar: