Salah
satu peristiwa besar dalam sejarah Islam pada masa sebelum wafat Rasulullah
SAAW adalah peristiwa Ghadir Khum. Peristiwa Ghadir Khum termasuk riwayat
mutawatir.[1] Dalam hadits Ghadir Khum,
setelah haji wada (haji terakhir), Rasulullah menghentikan perjalanan para
sahabatnya yang sudah hampir pulang ke rumahnya masing-masing di suatu tempat
yang bernama Khum (antara Makah dan Madinah).
Sebelumnya, dalam perjalanan dari
Makah ke Madinah, Jibril turun dan mangatakan ”Hai Rasul,
sampaikanlah!”. Rasulullah tidak langsung menyampaikan, melainkan
mencari situasi dan waktu yang tepat untuk menyampaikan perintah Allah
tersebut. Tidak lama kemudian Jibril turun kembali dan mengatakan,”Hai Rasul,
sampaikanlah!” dan Rasulullah tetap belum menyampaikannya. Kemudian Jibril
turun untuk ketiga kalinya dengan membawa ayat sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Wahai
Rasul, sampaikanlah (balligh) apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu dari
Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan maka engkau tidak menjalankan risalah-Nya.
Dan Allah memelihara engkau dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang kafir “ (QS. Al Maaidah : 67)
Apabila kita perhatikan bahasa Arab ayat di atas, Allah menggunakan kata balligh (sampaikan!), yang menunjukkan perintah Allah yang sifatnya memaksa. Apabila kita perhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an sebanyak 30 juz, kita tidak akan menemukan perintah Allah lain yang sifatnya memaksa Rasulullah sebagaimana yang terdapat di dalam ayat ini. Hal ini tentunya menunjukkan betapa pentingnya perintah “penyampaian” dalam ayat tersebut. Oleh karena itu ayat ini juga disebut ayat tabligh. Pentingnya hal yang perlu disampaikan tersebut juga tergambarkan pada bagian akhir ayat, di mana terdapat ancaman Allah jika Rasul tidak mengerjakan perintah tersebut. Dalam ancaman tersebut seolah-olah perjuangan Nabi selama 23 tahun tidak ada artinya, atau sia sia, jika tidak menyampaikan suatu “hal”.
Penundaan
penyampaian yang dilakukan oleh Rasulullah tentulah didasari oleh adanya
kekhawatiran dalam pikiran Rasulullah mengenai kemampuan ummatnya untuk
menerima dan menjalankan perintah yang disampaikannya. Oleh karenanya
Rasulullah mencari strategi bagaimana agar tidak ada alasan bagi ummat untuk
menolak. Ayat di atas juga menyebutkan bahwa Allah, selain memberikan perintah
kepada Rasulullah untuk menyampaikan suatu “hal” tersebut, juga memberikan
jaminan berupa penjagaan kepada Rasulullah atas gangguan manusia.[2]
Dengan
demikian, terdapat 3 hal penting pada ayat ini, yaitu:
1. Nabi
diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu hal yang penting
2. Allah
menjaga Rasulullah dari gangguan manusia
3. Dampak
dari orang-orang yang tidak menerima apa yang disampaikan oleh Rasulullah
Lalu
bagaimanakan isi tafsir atas ayat tabligh di atas? Sebagaimana perbedaan
penafsiran yang sering kali terjadi, sebagian kecil tafsir menyebutkan bahwa
ayat tabligh tersebut turun di Madinah, yaitu ketika Rasulullah diperintahkan
untuk menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang Yahudi. Apabila kita kritisi
tafsir tersebut, perlu kita ingat bahwa Rasulullah semenjak hijrah dari kota
Mekkah, telah tinggal selama 10 tahun di kota Madinah. Selama Rasulullah berada
di Madinah tersebut, bukankah sudah ada orang orang Yahudi? Lalu kenapa baru
sekarang Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada mereka?
Kenapa pada saat-saat terakhir sebelum Rasullah meninggal, barulah Allah
mengancam Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada Yahudi? Berdasarkan logika
dan pemahaman kita tentang sejarah Islam, tentulah kita dapat menilai bahwa
tafsir ini tidak tepat dan sama sekali tidak berdasar.
Kembali
kepada peristiwa Ghadir Khum. Setelah Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya
untuk berhenti, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menumpuk batu hingga
menjadi sebuah mimbar. Kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar tersebut dan
memberikan ceramah kepada 120 ribu sahabat. Jumlah pendengar yang sangat banyak
inilah yang menyebabkan riwayat ini bukan hanya shoheh, tetapi mutawatir. Dalam
ceramahnya Rasulullah dengan sangat terperinci menjelaskan kepemimpinan setelah
beliau. Beliau mengatakan “Man kuntu maula fa Aliyyun maula (Siapa yang
menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya setelah aku).”
Mengenai perkataan Rasulullah tersebut, ada kelompok yang mengatakan bahwa yang dikatakan Rasulullah adalah “Siapa yang menjadikan aku sebagai kekasihnya maka menjadikan Ali sebagai kekasihnya.” Bila kita kritisi pendapat tersebut, tentulah kita akan menganggap bahwa adalah suatu kesia-siaan bahwa Rasulullah mengumpulkan 120 ribu sahabatnya hanya untuk mengatakan “cintailah Ali”. Kata “Maula” sendiri bukanlah berarti kekasih, melainkan “pemimpin”. Selain itu, dalam penyampaiannya, Rasulullah bukan hanya mengangkat tangan Imam Ali, tetapi juga memindahkan sorbannya ke kepala Ali. Hal ini didasari pada kedudukan Sorban sebagai lambang kepemimpinan, sehingga ummat yang bisu dan tuli, yang tidak dapat mendengar ceramah Rasulullah, dapat memahami maksud yang ingin disampaikan Rasulullah dengan isyarat tersebut. [3]
Riwayat sebagaimana di atas dapat ditemukan dalam kitab-kitab berikut ini:
1. Tafsir Al Manar dari
Muhammad Rasyid Ridho Juz 6 hal 343
Kitab
ini menyebutkan bahwa ayat tabligh (Al Maaidah :67) adalah ayat dimana Allah
menegur keras kekasih-Nya, Rasulullah, untuk menyampaikan tentang wilayah
Amirul Mu’minin.
2. Kitab Kanzul Ummal Al
Allamah Al Hindi Jilid 5 hal 114
Menyebutkan
hal yang sama dengan tafsir Al Manar
3. Fushulul Muhimmah
karya Ibnu Sobbar hal 42
Menyebutkan
hal yang sama dengan tafsir Al Manar
4. Asbabun Nuzul karya
Al Wahidi hal 104
Menyebutkan
hal yang sama dengan tafsir Al Manar, dengan tambahan bahwa setelah ayat ini
turun Umar bin Kathab datang kepada Ali bin Abi Thalib dan
mengucapkan,”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau menjadi
pemimpin kami semua.”
5. Yanabiul Mawaddah
karya Ibrahim Al Qundusi Al Hanafi
6. Tafsir Al Kabir karya
Fakhrurrozi Jilid 6 Hal 53
7.
Mustadrak Shahihain
Juz 3 Hal 330
8. Syawahidu Tanzil
karya Al Hashakani Jilid 1 hal 192
9.
Faraidus shimtain
Jilid 1 hal 63
10. Ibnu
Katsir
11. Al
Milal wal Nihar karya Syakhrestani hal 141
Dalam
kitab ini diceritakan ketika Rasul SAAW hendak meninggal dunia, Rasulullah
memerintahkan pasukan Usamah bin Zaid untuk memerangi suatu kaum. Abu Bakar,
Umar dan Usman diperintahkan menjadi prajurit dibawah komando Usamah. Apa
tujuan Rasul SAAW melibatkan mereka (mengingat usia mereka tidak muda lagi)?
Hal ini didasari kesadaran Rasulullah bahwa dirinya hendak meninggal dunia dan
agar keberadaan ketiga orang tersebut akan mengganggu kelancaran peralihan
kekhalifahan. Rasulullah kemudian juga meberikan ancaman, ”La’natullah orang
yang keluar dari tentara Usamah.” Berangkatlah pasukan Usamah. Ketika dalam
perjalanan, sampailah kabar bahwa Rasulullah meninggal dunia, dan Abu Bakar,
Umar dan Usman keluar dari pasukan.
12. Tafsir
Durul Mantsur karya Imam Suyuthi Jilid 3 hal 117
Menjelaskan
ayat tabligh turun di Ghadir Khum
13. Kitab
Farhul Khadir karya Syaukhani Jilid 2 hal 88
Berdasarkan
riwayat Ghadir Khum, telah jelas bagi kita bahwa hal penting yang diperintahkan
Allah untuk disampaikan oleh Rasulullah adalah mengenai wilayah (kepemimpinan)
Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila kita kembali kepada Al Qur’an, hal ini
dijelaskan dalam surat Al Maaidah (5) : 55 sebagai berikut:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya
penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, yaitu
orang-orang yang mendirikan salat dan membayar zakat dalam keadaan rukuk
(rakiun) ”
Apabila kita baca terjemahan Al Qur’an dari Departemen Agama, kata “Raki’un” dalam ayat di atas diartikan sebagai “tunduk” padahal makna raki’un adalah ruku’. Untuk lebih jelasnya, coba kita lihat QS At Taubah (9): 112 sebagai berikut:
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Mereka itu adalah orang orang yang bertobat, yang bribadat, yang memuji Allah, yangyang berpuasa, yang ruku’ (rakiun), yang sujud, yang menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”
Dapat kita lihat bahwa dalam ayat ini, kata “rakiun” diartikan sebagai ruku’. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam ayat berikut ini:
يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ
الرَّاكِعِينَ
“Hai Maryam, patuhlah engkau pada Tuhanmu, sujud dan rukulah bersama orang-orang yang ruku’ (raaki’iin)“ (QS. Ali Imran : 43)
Kata “rakiun” dalam ayat ini juga diterjemahkan sebagai ruku’. Dengan demikian patut kita pertanyakan mengapa dalam QS Al Maaidah (5):55 kata rakiun diartikan sebagai tunduk?
Kembali ke QS Al Maaidah (5):55, ayat tersebut diawali dengan kata “Innama”. Apabila kita menemukan kata “Innama” dalam Al Qur’an, hal ini menunjukkan kalimatul hasyr (pembatas). Jadi dapat disimpulkan tidak ada pemimpin lain selain yang disebutkan daam ayat tersebut. Dengan demikian, pemimpin (bagi umat Islam) adalah Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Orang-orang beriman manakah yang dimaksud di sini? Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali bin Abi Thalib. Riwayat menyebutkan ketika beliau sedang sholat di dalam mesjid, seorang pengemis datang dan meminta uang kepada sahabat-sahabat Nabi. Sahabat tidak ada yang membawa uang, kemudian Rasul berkata,”Masuklah kamu dan mintalah kepada orang yang sedang sholat.” Imam Ali yang saat itu sedang dalam keadaan ruku’, memberikan sedekah melalui isyarat dengan mengulurkan cincin di jarinya. Jelas bahwa Ini adalah perintah dari Rasulullah SAAW yang memiliki makna besar sehingga terekam dalam Al Qur’an. Lalu bagaimana dengan kata “orang-orang” yang beriman, yang berarti jamak dalam ayat ini? Patut kita diketahui dalam Al Qur’an tidak berarti kalimat berbentuk jamak itu dinisbatkan kepada orang yang banyak. Bisa jadi kalimat jamak dinisbatkan ke satu orang. Contohnya dalam ayat QS Ali Imran (3):61 (Ayat Mubahalah) berikut ini:
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
“Siapa
yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah
(Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu,
wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian
marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang
dusta.”
Kata “Nisaa ana” dalam ayat di atas mempunyai arti “wanita-wanita kami” yang berarti banyak, tetapi hanya dinisbatkan kepada satu orang yaitu Sayyidah Zahra a.s.
Contoh lainnya sebagaimana terdapat dalam QS An Nahl (16):120 sebagai berikut:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sungguh, Ibrahim adalah ummat (ummatan) yang patuh kepada Allah lagi lurus dan dia bukanlah termasuk golongan orang yang musyrik”
Meninjau ayat di atas, ada berapa orangkah Ibrahim? Hanya satu. Akan tetapi Allah menyebutkan “Ummatan”. Ummatan adalah kata jamak tetapi dinisbatkan hanya kepada Nabi Ibrahim. Selanjutnya, QS Al Maaidah (5):55 menyebutkan bahwa seseorang, ketika menjadikan Allah pemimpinnya, Rasul pemimpinnya, orang yang beriman tadi pemimpinnya maka masuk ke dalam golongan hizbollah (pengikut Allah). Jadi syarat untuk masuk sebagai pengikut Allah adalah menjadikan Allah, Rasul dan orang yang beriman tadi sebagai pemimpinnya (berwilayah kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman). Yang tidak menjadikan Allah, Rasul dan orang beriman sebagai pemimpinnya dalam satu kesatuan adalah lawan dari pengikut Allah atau pengikut syaitan.
Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa perintah yang harus disampaikan dalam ayat tabligh adalah wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Isi dari QS Al Maaidah (5):55 menjelaskan bahwa wajib bagi ummat Islam untuk taat mutlak kepada wilayah tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam ayat QS An Nisa (4):59 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulim amri. Jika kamu berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”
Ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang beriman (secara umum) diperintahkan untuk mentaati Allah, Rasul dan ulil amri. Apabila kalian (orang-orang beriman) berselisih mengenai siapa ulil amri tersebut, Allah mengatakan kembalikan lagi kepada Allah dan Rasul yang akan menjelaskan. Kalau memang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir maka harus taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Hal ini sesuai dengan hadits yang terdapat dalam shahih Muslim yang mengatakan siapa yang mati tidak mengenal imam pada zamannya maka mati jahiliyah.
Rasulullah, ketika ditanya siapakah ulil amri, menjawab,”Mereka adalah imam imam dari ahlul baytku.” Hal ini tercantum dalam kitab:
1. Yanabiul
Mawaddah
2. Faraidus
Shimtain
3. Syawahidu
Tanzil.
Setelah
ditetapkannya wilayah melalui nas dan keterangan dari Rasulullah SAAW, apabila
ummat sudah menerima ini semua maka sempurnalah Islam sebagai agama mereka. QS
Al Maaidah (5):3
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku sempurnakan
nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”
Apabila kita lihat kata-kata yang terdapat di dalam ayat di atas, dapat kita lihat bahwa istilah yang digunakan adalah:
Akmaltu
= kusempurnakan
Atmamtu
= kusempurnakan
Kafaitu = aku cukupkan
Dari ayat di atas jelaslah bahwa masih ada yang disempurnakan oleh Allah SWT, yang artinya ada satu masalah yang belum sempurna untuk disampaikan selama ini. Begitu masalah tersebut disampaikan barulah di akhir ayat disebutkan bahwa Allah meridhai agama Islam tersebut. Jadi kita harus mengikuti nikmat yang disempurnakan tadi, bila tidak, tentunya tidak akan mencapai Islam yang di-ridhai Allah SWT.
Dalam kitab Bidayah wal Nihayah Juz 5 hal 464 karya Ibnu Katsir. Dari Abu Hurairah berkata,”Siapa yang puasa pada hari 18 Dzulhijjah ditulis baginya sebagaimana puasa 60 bulan. Dan pada hari Ghadir Khum, pada hari itu Nabi mengambil tangannya Ali. Nabi berkata,”Bukankah aku pemimpinnya orang orang beriman.” “Ya Rasulullah”, jawab mereka. Rasulullah berkata,”Siapa yang menjadikan aku maula, maka Ali adalah maulanya.” Berkatalah Umar bin Khattab, ”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau adalah pemimpin aku, dan pemimpin setiap muslim.” Ketika itu juga Allah menurunkan ayat QS Al Maaidah (5):3.
Setelah sahabat semua membaiat Rasul, satu orang bernama Harris bin Nu’man
tidak mau membaiat. Dia datang ke Rasulullah dan bertanya,”Apakah perintah ini
dari Allah atau karangan engkau sendiri Ya Rasulullah.” Rasulullah
berkata,”Demi Allah, ini adalah perintah dari Allah.” “Kalau begitu turunkan
azab dari Allah kalau benar dari Allah.”, kata Harris. QS Al Maarij (70):1 – 2
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ لِلْكَافِرِينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ
“Seseorang
bertanya tentang azab yang cepat terjadi. Bagi orang orang kafir, yang tidak
seorangpun dapat menolaknya.”
Telah
meminta seseorang siksa yang cepat, Allah menjadikan orang itu kafir, kisah ini
tercantum dalam kitab:
1. Faraidus
ShiMtain Jilid 1 hal 82
2. Tafsir
Qurtubi Juz 9 hal 216
3. Kitab
Fushulul Muhimmah hal 42
4. Faidhul
Ghadir juz 6 hal 268 karya Manawi
5. Kitab
Nur Abshor hal 87 karya Sarblanji
meriwayatkan
cerita tentang Harris bin Nu’man. Ketika ayat ini turun, batu dari langit turun
dan tembus kepalanya.
Sebagai
penutup pembahasan ini, perhatikan ayat QS Az Zukhruf (43):45 berikut ini:
وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِنْ دُونِ الرَّحْمَٰنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ
“Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau. Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain (Allah) Yang Maha Pengasih untuk disembah?”
Ayat di atas menyebutkan bahwa terdapat pertemuan antara Rasulullah dengan Rasul-rasul Allah lainnya, yaitu pada saat Isra Mi’raj. Ayat di atas menyebutkan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah untuk bertanya kepada para Rasul tersebut. Apakah yang diperintahkan Allah untuk ditanyakan tersebut?
Di dalam kitab:
1. Faraidush
Shimtain Juz 1 hal 81 karya Juwaini
2. Tarikh
Damsikh Jus 42 hal 241 karya Ibnu Ashakir asy Syafii
3. Syawahidu
Tanzil juz 2 hal 157 karya Al Hashakani al Hanafi
Diriwayatkan Rasulullah bersabda,”Datang kepadaku malaikat dan berkata,”Tanyakanlah siapa yang telah kami utus dari Rasul-rasul sebelum kamu, untuk apa mereka itu diutus.” “ Menjawab para Rasul, ”Kami membawa wilayah engkau dan wilayah Ali bin Abi Thalib.””
[1] Jika ditinjau dari sisi
riwayat, tingkatan hadis itu ada shoheh, hasan, dhaif, dsb. Tapi ada hadis yang
tingkatannya diatas shoheh, yaitu mutawatir. Jika yang meriwatkan diatas 3 itu
disebut hadis shoheh, tapi jika yang meriwayatkan lebih dari 7 maka disebut
mutawatir. Kedudukan hadis mutawatir hampir sama dengan Qur’an.
[2] Ayat ini juga menepis
pendapat yang menyatakan Rasulullah meninggal karena diracun
[3] Subhanallah tempat Ghadir
Khum itu masih ada sampai sekarang, dan dari tempat Rasulullah berdiri suara
yang berbicara di sana akan terdengar sampai 5km. Itulah bagaimana 120rb
sahabat bisa mendengar kata-kata Rasul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar