![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZEfrkRcB55uH6kcVyF0QMLBPZ2d5w9Ggkc4CKzUPhbRqxnQsVdola7qA9xLY7YRuGiy1jotm2bQdAyR4k-r0EcXKv1bAn9JLbLd8JzxKjQhCiNQrnQZdsVxZzS95zF5eXFj50yV4_7Ott/s200/CG5DF8.png)
Begitu juga mereka
menolak kitab al-Hassan bin al-'Abbas bin al-Harisy yang dicatat oleh
al-Kulaini di dalam al-Kafi, bahkan mereka mencela kitab tersebut. Begitu juga
mereka menolak riwayat al-Kulaini bahwa Nabi yang disembelihkan itu adalah
Nabi Ishaq bukan Nabi Isma'il AS (al-Kafi, IV, hlm. 205). Dengan demikian riwayat
al-Kulaini tentang kekurangan dan penambahan ayat-ayat al-Qur'an
adalah riwayat yang lemah (Majallah Turuthuna, Bil. XI, hlm. 104).
Karena ulama
Syi'ah sendiri telah menjelaskan kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam
al-Kafi, bahkan mereka menolak sebagian besar riwayat al-Kulaini. Begitu juga
dengan kitab al-Istibsar fi al-Din, Tahdhib al-Ahkam karangan
al-Tusi dan Man La Yahdhuruhu al-Faqih karangan Ibn Babuwaih, sekalipun
4 buku tersebut dianggap muktabar di dalam mazhab Syi'ah, umpamanya al-Kafi yang
mempunyai 16,199 hadits telah dibagi menjadi 5 bagian antara lain :
1.
Sahih, mengandungi 5,072 hadith.
2.
Hasan, 144 hadits.
3. Al-Muwaththaq, 1128 hadits (yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
orang yang bukan Syi'h tetapi mereka dipercayai oleh Syi'ah).
4.
Al-Qawiyy, 302 hadith.
5. Dhaif, 9,480 hadits. (Lihat Sayyid Ali al-Milani, al-Riwayat Li Ahadith
al-Tahrif di dalam Turuthuna, Bil. 2, Ramadhan 1407 Hijrah, hlm. 257).
Oleh karena itu
riwayat-riwayat tentang penambahan dan kekurangan al-Qur'an telah ditolak oleh
ulama Syi'ah Imamiyah mazhab Ja'fari sejak dahulu sampai sekarang. Syaikh al-Saduq (w.
381H) menyatakan "i'tiqad kami bahwa al-Qur'an yang telah diturunkan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad SAAW ialah di antara dua kulit
(buku) yaitu al-Qur'an yang berada di tangan kaum muslim dan tidak lebih dari itu.
Setiap orang yang mengatakan al-Qur'an lebih dari itu adalah suatu
pembohongan." (I'tiqad Syaikh al-Saduq, hlm. 93).
Syaikh al-Mufid
(w. 413H) menegaskan bahwa al-Qur'an tidak kurang sekalipun satu kalimah, satu
ayat ataupun satu surah (Awa'il al-Maqalat, hlm. 55).
Syarif al-Murtadha
(w. 436H) menyatakan al-Qur'an telah dijaga dengan rapi kerana ia adalah
mu'jizat dan sumber ilmu-ilmu Syara', bagaimana mungkin ia dapat diubah dan dikurangi?
Selanjutnya beliau menyatakan bahwa orang yang mengatakan al-Qur'an itu kurang atau
lebih tidak boleh dipegang pendapat mereka (al-Tabrasi, Majma' al-Bayan, I,
hlm. 15).
Syaikh al-Tusi
(w.460H) menegaskan bahwa pendapat mengenai kurang atau lebihnya al-Qur'an
adalah tidak layak bagi mazhab kita (al-Tibyan fi Tafsir al-Qur'an, I,
hlm.3).
Begitu juga
pendapat al-Allamah Tabataba'i dalam Tafsir al-Mizan, Jilid 7, hlm. 90 dan
al-Khu'i dalam Tafsir al-Qur'an al-'Azim, I, hlm. 100, mereka menegaskan bahwa
al-Qur'an yang ada sekarang itulah yang betul dan tidak ada penyelewengan.
Demikianlah sebagian dari pendapat-pendapat ulama Syi'ah dahulu dan
sekarang yang mengakui kesahihan al-Qur'an yang ada pada hari ini. Imam Ja'far
al-Sadiq AS berkata, "Apabila datang kepada kamu dua hadits yang
bertentangan maka hendaklah kamu membentangkan kedua-duanya dihadapan Kitab Allah
dan jika tidak bertentangan dengan Kitab Allah, maka ambillah dan jika bertentangan
Kitab Allah, maka tinggalkanlah" (Syaikh, al-Ansari, al-Rasa'il, hlm.
446).
Kata-kata Imam
Ja'far al-Sadiq itu menunjukkan al-Qur'an yang ada sekarang ini adalah
al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi SAAW tanpa tambah dan kurang. Oleh karena itu keyakinan mazhab
Syi'ah Ja'fari sama dengan mazhab Ahlus-Sunnah dari segi keterjagaan al-Qur'an
dari penyelewengan, tetapi yang aneh ialah terdapat banyak riwayat di dalam
buku-buku Sahih Ahlu s-Sunnah sendiri yang mencatat bahwa al-Qur'an telah
ditambah, dikurang dan ditukarkan, di antaranya seperti berikut:
1. Al-Bukhari di dalam Sahihnya, VI, hlm.210 menyatakan (Surah al-Lail (92):3
telah ditambah perkataan "Ma Khalaqa" pada ayat yang asal ialah
"Wa al-Dzakari wa al-Untsa" tanpa "Ma Khalaqa". Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu al-Darda', kemudian dicatat pula oleh Muslim, Sahih, I,
hlm.565; al-Turmudhi, Sahih, V, hlm.191.
2.
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm.94; al-Turmudhi, Sahih, V, hlm.191
menyatakan (Surah al-Dhariyat (51):58 telah diubah dari teks asalnya yaitu, "Inni
Ana r-Razzaq" kepada "Innallah Huwa r-Razzaq" yaitu teks
sekarang.
3.
Muslim, Sahih, I, hlm.726; al-Hakim, al-Mustadrak, II, hlm.224 meriwayatkan
dari Abu Musa al-Asy'ari, "Kami membaca satu surah seperti Surah
al-Bara'ah dari segi panjangnya, tetapi aku telah lupa, hanya aku mengingat
sepotong dari ayatnya, "Sekiranya anak Adam (manusia) mempunyai dua wadi
dari harta, niscaya dia akan mencari wadi yang ketiga dan perutnya tidak akan
dipenuhi melainkan dengan tanah."
4. Al-Suyuti, al-Itqan, II, hlm.82, meriwayatkan bahwa 'Aisyah menyatakan
Surah al-Ahzab (33):56 pada masa Nabi SAAW adalah lebih panjang yaitu dibaca
"Wa'ala al-Ladhina Yusaluna al-Sufuf al-Uwal" setelah "Innalla
ha wa Mala'ikatahu Yusalluna 'Ala al-Nabi..." Aisyah berkata,"Yaitu
sebelum Utsman mengubah mushaf-mushaf."
5. Al-Muslim, Sahih, II, hlm. 726, meriwayatkan bahwa Abu Musa al-Asy'ari
membaca setelah Surah al-Shaf (61) : 2, "Fatuktabu syahadatan fi
A'naqikum..."tetapi ia tidak dimasukkan ke dalam al-Qur'an sekarang.
6. Al-Suyuti, al-Itqan, I, hlm.226 menyatakan bahwa dua surah yang bernama
"al-Khal" dan "al-Hafd" telah ditulis dalam mushaf Ubay bin
Ka'b dan mushaf Ibn 'Abbas, sesungguhnya 'Ali AS mengajar kedua surah tersebut
kepada Abdullah al-Ghafiqi, 'Umar dan Abu Musa al-Asy'ari juga membacanya.
7. Malik, al-Muwatta', I, hlm.138 meriwayatkan dari 'Umru bin Nafi' bahawa
Hafsah telah meng'imla' "Wa Salati al-Asr" setelah Surah al-Baqarah
(2): 238 dan ia tidak ada dalam al-Qur'an sekarang. Penambahan itu telah
diriwayatkan juga oleh Muslim, Ibn, Hanbal, al-Bukhari, dan lain-lain.
8. Al-Bukhari, Sahih, VIII, hlm.208 mencatat bahwa ayat al-Raghbah adalah bagian dari al-Qur'an yaitu "La Targhabu 'an Aba'ikum" tetapi
ia tidak ada di dalam al-Qur'an yang ada sekarang.
9.
Al-Suyuti, al-Itqan, III, hlm.82; al-Durr al-Manthur, V, hlm.180
meriwayatkan daripada 'Aisyah bahwa dia berkata, "Surah al-Ahzab dibaca
pada zaman Rasulullah SAAW sebanyak 200 ayat, tetapi pada masa 'Utsman menulis
mushaf ia tinggal 173 ayat saja."
10.
Al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, V, hlm.192 mencatat bahwa di sana
terdapat ayat yang tertinggal setelah Surah al-Ahzab (33):25 yaitu "Bi
'Ali bin Abi Talib". Jadi ayat itu dibaca, "Kafa Llahul Mu'minin
al-Qital bi 'Ali bin Abi Talib."
11. Ibn Majah, al-Sunan, I, hlm.625 mencatat riwayat dari 'Aisyah dia
berkata: ayat al-Radha'ah sebanyak 10 kali telah diturunkan oleh Allah dan ia
ditulis dalam mushaf di bawah katilku, tetapi manakala wafat Rasulullah SAWAW
dan kami sibuk dengan kewafatannya, maka ia hilang.
12.
Al-Suyuti, al-Itqan, III, hlm.41 mencatatkan riwayat dari 'Abdullah bin
'Umar, dari bapaknya, 'Umar bin al-Khattab, dia berkata, "Janganlah seorang berkata aku telah mengambil keseluruhan al-Qur'an, apakah dia tahu
keseluruhan al-Qur'an itu? Sesungguhnya sebagian al-Qur'an telah hilang dan
katakan saja aku telah mengambil al-Qur'an mana yang ada."
Ini berarti sebagian al-Qur'an telah hilang. Demikianlah diantara
catatan para ulama Ahlu s-Sunnah mengenai al-Qur'an yang telah mengalami penambahan dan pengurangan yang terdapat
di dalam buku-buku Sahih dan muktabar mereka. Bagi orang yang mempercayai bahwa
semua yang tercatat di dalam sahih-sahih tersebut adalah betul dan wajib
dipercayai, akan menghadapi dilema, kerana kepercayaan demikian akan membawa
mereka kepada keyakinan bahwa al-Qur'an yang ada sekarang tidak sempurna, ada berkurangan atau berlebihan. Jika mereka mempercayai al-Qur'an yang
ada sekarang adalah sempurna, ini berarti kitab-kitab sahih
mereka tidak sempurna dan tidak sahih lagi. Bagi Syi'ah mereka tidak menghadapi
dilema ini kerana mereka berpendapat bahwa tidak semua riwayat di dalam
buku-buku mereka seperti al-Kafi, al-Istibsar fi al-Din dan lain-lain adalah
sahih, bahkan terdapat juga riwayat-riwayat yang lemah.
Oleh karena itu untuk mempercayai bahwa al-Qur'an yang ada sekarang ini
sempurna sebagaimana yang dipercayai oleh Syi'ah mazhab Ja'fari, maka Ahlu
s-Sunnah terpaksa menolak riwayat-riwayat tersebut demi mempertahankan kesempurnaan
al-Qur'an. Dan mereka juga harus menolak riwayat-riwayat yang bertentangan
dengan al-Qur'an dan akal seperti hadith yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah, "Sesungguhnya Neraka Jahanam tidak akan
penuh sehingga Allah meletakkan kakiNya, maka Neraka Jahanam berkata: Cukup,
cukup."(Al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 127; Muslim, Sahih, II, hlm. 482). Hadith
ini adalah bertentangan dengan ayat al-Qur'an Surah al-Sajdah (32):13 yang
bermaksud,...."Sesungguhnya Aku akan penuhi Neraka Jahanam dengan jin dan
manusia." Juga bertentangan dengan Surah al-Syura (42):11 yang menafikan
tajsim "Tidak ada suatu pun yang menyerupaiNya." Lantaran
itu, tidak heran jika al-Suyuti di dalam Tadrib al-Rawi, hlm. 36 menyatakan
bahwa al-Bukhari telah mengambil lebih 480 periwayat yang tidak disebut atau
diambil oleh Muslim dan ia mengandung para periwayat yang lemah, yang
disebabkan oleh pembohongan dan sebagainya, sementara Muslim pula mengambil 620
periwayat yang tidak disebut atau diambil oleh al-Bukhari dan terdapat di
dalamnya 160 periwayat yang lemah. Murtadha al-Askari pula menulis buku
berjudul 150 sahabat khayalan, Beirut, 1968. Hanya nama-nama mereka saja
yang disebutkan oleh al-Bukhari dan Muslim tetapi mereka sebenarnya tidak pernah
ada. Oleh karena itu 'sahih" adalah nama buku yang diberikan oleh orang
tertentu, misalnya al-Bukhari menamakannya 'Sahih" yaitu sahih menurut pandangannya, begitu juga Muslim menamakan bukunya 'Sahih" yaitu sahih
menurut pandangannya. Justeru itu buku-buku 'sahih' tersebut hendaklah dinilai
dengan al-Qur'an, kerana Sahih yang sebenar adalah sahih di sisi Allah SWT. Dan al-Qur'an menjadi saksi bahwa al-Qur'an yang ada di hadapan kita ini adalah sahih dan tidak boleh
diperselisihkan lagi. Dengan itu tidak ada lagi yang menganggap Syi'ah mempunyai
al-Qur'an 'lebih atau kurang' isi kandungannnya, kerana mereka sendiri
menolaknya. Dan ia telah dicatat di dalam buku-buku Sahih dan muktabar Ahlu
s-Sunnah tetapi mereka juga menolaknya.
Dengan demikian Syi'ah dan Sunnah adalah bersaudara di dalam Islam dan
mereka wajib mempertahankan al-Qur'an dan beramal dengan hukumnya tanpa
menjadikan 'ijtihad' sebagai alasan untuk menolak (hukum)nya pula.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar