![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjITf3SupfGXayxsiBUmI4YHb5qiGs_PNFF1Ex-3yPkjxlK0yDw8jwgmydPyyyRJSKPZriiFOc5enTqDCkW_J0qWLHFSIYoxzvZyyoJqa2MpAqrez3YyJcidadkT_gskFv1NdpUns7cyZUk/s200/CGCBD9.png)
Sebagaimana Allah Swt telah menegaskan akan menambahkan balasan, ganjaran dan keberkahan bagi orang-orang yang mensyukuri segala pemberian dan nikmat-nikmat-Nya, demikian pula Dia mengancam dengan siksa dan berbagai bencana terhadap orang-orang yang mengkufuri nikmat-nikmat-Nya. Tulisan kali ini mengenai tafsir tematik dan atas ayat-ayat pilihan pada kesempatan kali ini adalah tentang kufur nikmat.
Sehubungan dengan mengkufuri
nikmat, Allah Swt berfirman di dalam surat an-Nahl ayat 112 dan 113 sebagai
berikut:
وَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً قَرْيَةً كانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً
يَأْتيها رِزْقُها رَغَداً مِنْ كُلِّ مَكانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذاقَهَا
اللهُ لِباسَ الْجُوعِ وَ الْخَوْفِ بِما كانُوا يَصْنَعُونَ. وَ لَقَدْ جاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمُ
الْعَذابُ وَ هُمْ ظالِمُونَ.
"Dan Allah telah
membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi
tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi
(penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itulah Allah mengenakan
kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu
mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari
mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya. Karena itu, mereka dimusnahkan
oleh azab Ilahi dan mereka adalah orang-orang yang zalim”.
Dua ayat di atas ingin
menjelaskan tempat kembali orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat-nikmat
Allah Swt, dan bahkan mereka mengkufurinya. Karenanya Allah Swt menimpakan siksa
yang berat kepada mereka.
Penjelasan
Di dalam ayat tersebut Allah Swt
berfirman: (قَرْيَةً وَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً)“Dan
Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri atau kota”.
Al-Quran al-Majid menyerupakan dan membuat perumpamaan orang-orang kafir yang
mengingkari nikmat-nikmat Allah dengan sebuah kampung[1] berpenduduk yang memiliki kekayaan matertial dan imaterial yang melimpah.
Kampung ini dicirikan dengan empat karakter berikut ini:
1.
”(dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman”. (كانَتْ آمِنَةً)
Ciri pertama kampung atau negara
ini adalah sebuah kampung atau negara yang aman. Memang, rasa aman adalah
termasuk nikmat Ilahi yang paling penting. Karenanya ia didahulukan
penyebutannya dari nikmat-nikmat lainnya.
Sebenarnya, apabila suatu tempat
atau suatu daerah yang berpenduduk telah kehilangan keamanannya, maka ia juga
akan kehilangan sistem ekonomi yang baik. Demikian juga, ia akan kehilangan
kenyamaan belajar-mengajar, serta pengembangkan keahlian dan kegiatan industri.
Bahkan pelaksanaan ibadah, dan syi’ar-syi’ar agama pun menjadi tidak kondusip
dan tidak semarak lagi. Artinya sebuah kegiatan tidak akan bisa berjalan secara
maksimal tanpa terciptanya sebuah keamanan.
Masyarakat dan bangsa Indonesia
tentu tidak akan lupa ketika menghadapi berbagai problem di tengah-tengah
perjuangan suci membela tanah air dan mengusir penjajahan Belanda. Dan termasuk
kesulitan yang dialami oleh umat islam pada waktu itu dalam pelaksanaan ibadah.
Sebagian kaum muslimin di tengah-tengah shalatnya mendengar suara bom dan
tembakan sehingga membuat mereka khawatir dan tidak tenang dalam beribadah.
Mereka merasakan ketidaksempurnaan pelaksanaan shalatnya. Karena itu, kondisi
aman merupakan kenikmatan yang sangat besar yang berpengaruh terhadap cara
pelaksanaan ibadah.
Ketika telapak kaki Ibrahim
al-Khalil As menapak di tanah Makkah yang tandus dan kemudian beliau membangun Baitullah
al-Haram, beliau As berdo`a untuk penduduk Makkah kelak dengan sebuah do`a
yang diabadikan oleh Allah Swt di dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 126 sebagai berikut:
وَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا
آمِنًا وَ ارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ
الْآخِرِ قَالَ وَ مَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيْلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ
النَّارِ وَ بِئْسَ الْمَصِيْرُ.
"Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim berdoa: "Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang
aman sentosa, dan berikanlah rizki berupa buah-buahan kepada penduduknya yang
beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman:
"Dan kepada orang yang kafirpun Aku akan beri kesenangan sementara, tetapi
kemudian Aku seret ia secara paksa untuk
menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.
Di dalam ayat ini kita membaca
bahwa do`a pertama yang dipanjatkan nabi Ibrahim As untuk penduduk kota ini
adalah keamanan.
Di dalam suatu negara, apabila
sebagian saja penduduknya melalaikan keamanan, maka seluruh masyarakatnya akan
merasakan penderitaan yang berat dan tidak merasa aman dalam menjalani
kehidupan. Sesungguhnya perampok-perampok yang bersenjata, baik dengan senjata
api atau bukan, tetap dikategorikan sebagai pengganggu dan perusak keamanan,
karena ulahnya itu akan menimbulkan akibat yang dahsyat berupa hilangnya
kemanan dan ketentraman. Demikian juga orang-orang yang melalaikan keamanan
wilayahnya yang luas, mereka dikategorikan sebagai para perusak di muka bumi
ini, dan balasan bagi mereka adalah kehancuran dan siksa yang pedih.
2.
”lagi tenteram”. (مُطْمَئِنَّةً)
Sebelum itu, kota tersebut
dicirikan sebagai kota yang penuh dengan keamanan, namun keamanannnya tidaklah
tetap dan permanen, kemudian ciri berikutnya adalah memiliki keamanan yang
tetap dan permanen. Tentram atau mutmainnah yang disebutkan ayat ini
menunjukkan pada keamanan yang bersifat tetap dan permanen.
3.
”rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat”. (يَأْتيها رِزْقُها رَغَداً مِنْ كُلِّ مَكانٍ)
Sebagaimana telah disebutkan tadi
bahwa keamanan harus mencakup semua bidang, termasuk diantaranya adalah bidang
ekonomi yang sehat dan kuat. Negara yang
aman dari gangguan ini pasti akan memberikan rizki kepada penduduknya dari
segala arah dan tempat. Ia menyediakan berbagai lahan pekerjaan yang banyak dan
bermacam-macam.
4.
”Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka
sendiri”. (وَ لَقَدْ جاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ)
Allah Swt, di samping memberikan
kenikmatan-kenikmatan material (keamanan dan ketentraman), juga memberikan
kenikmatan-kenikmatan imaterial (maknawi), yaitu berupa pengutusan seorang nabi
maksum (terjaga dari dosa) dan seorang bijak dari kalangan mereka sendiri
sehingga pengetahuan dan pendidikan mereka menjadi sempurna.
Dari ayat tersebut dapat kita
pahami bahwa penduduk kota atau negara ini menikmati empat jenis kenikmatan dan
hidup dalam kemewahan, hanya saja mereka tidak mau bersyukur kepada Allah Swt
atas nikmat-nikmat-Nya ini.
Allah Swt berfirman: “tetapi
(penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan
kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan”.
(فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ
اللهِ فَأَذاقَهَا اللهُ لِباسَ الْجُوعِ وَ الْخَوْفِ)
Penduduk negeri ini telah berlaku
kufur dengan tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Bahkan nikmat-nikmat
tersebutlah yang telah menyebabkan mereka berlaku sombong, congkak dan egois,
setelah berlaku zalim dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat tersebut secara benar.
Maka, akibat dari sikap semacam itu, turulah azab Ilahi kepada mereka. Sebagai
efeknya, Allah Swt memberi mereka makanan yang pahit, yaitu kelaparan dan
mencabut kondisi aman dari mereka. Setiap saat mereka dihantui aksi para pencuri
dan perampok, kondisi perekonomian yang tidak menentu serta kehidupan melarat
akibat dari hilangnya keamanan negeri mereka.
Barangkali timbul pertanyaan di
dalam hati dari sebagian kita, bahwa ungkapan “adzâqahâ (Allah merasakan
kepada mereka)” tidaklah sesuai dengan ungkapan libâas (pakaian), yang
tepat adalah ungkapan albasahâ (-Allah- memakaikannya -kepada mereka-)?
Jawabnya adalah: Terdapat dua
poin penting terkait penggunaan kata adzâqa bersama libâs.
Berikut ini kami paparkan kedua poin tersebut:
a. Libas (pakaian) mencakupi seluruh badan, demikian juga azab Ilahi telah meliputi
seluruh perkampungan atau negara tersebut.
b. Terkait
ungkapan adzâqahâ, yang harus diperhatikan adalah bahwa penginderaan dan
penyingkapan seseorang kepada sesuatu, itu dilakukan melalui beberapa tahapan;
Seseorang memahami atau menangkap
sesuatu itu melalui alat indera pendengaran, sebagaimana ketika ia mendengar
suara api, ia akan memahami adanya sebuah kebakaran.
Terkadang seseorang melihat api
dan langsung menangkapnya melalui penginderaan mata. Alat penginderaan ini jauh
lebih tinggi dari alat indera sebelumnya.
Terkadang ada orang yang
menyentuh api sehingga mengetahui betul keberadaannya. Penginderaan seperti ini
jauh lebih tinggi dibanding dua cara pengindraaan sebelumnya.
Terkadang juga seseorang memahami
sesuatu melalui rasa (dzauq), dan ini jauh lebih sempurna lagi dari pengetahuan
melalui ketiga indera di atas. Tujuan penggunaan kata adâqa (dzauq) pada
ayat tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kedahsyatan kemampuan mereka dalam
memahami dan merasakan adzab Ilahi dan makanan yang pahit tadi. Allah Swt
berfirman: ”disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”.
)بِما كانُوا يَصْنَعُونَ(
Artinya perbuatan penduduk kampung atau negara tersebut telah menyebabkan turunnya
adzab Ilahi. Mereka benar-benar telah memancing datangnya azab yang efeknya
akan dirasalan oleh mereka sendiri.
Sebagai contoh, apabila sebuah
aturan sudah tidak lagi berfungsi di sebuah masyarakat atau negara tertentu,
dan orang-orang kayanya tidak lagi memberikan hak-hak fakir dan miskin, maka
keseimbangan ekonomi akan hilang dari masyarakat ini dan efek buruknya akan
kembali kepada kelompok kaya itu sendiri. Penyebabnya adalah semata karena
keengganan mereka memberikan bantuan dan berinfak kepada saudara-saudaranya
yang fakir dan miskin.
Karenanya, dalam sebuah riwayat
disebutkan: ”Apabila orang-orang kaya kikir dengan kewajibannya, maka
orang-orang fakir akan menjual akhiratnya dengan dunianya.” [2]
Artinya bahwa kefakiran telah
menyebabkan maraknya tindak pencurian, dan akhirnya berkembang pada hilangnya
keamanan di sebuah masyarakat. Demikian ini seperti disebutkan dalam sebuah
riwayat: ”jagalah harta-harta kalian dengan sedekah.” [3]
Artinya bahwa cara menjaga harta
bukanah dengan membangga-banggakannya, melainkan dengan mensedekahkan
sebagiannya, sehingga api kefakiran tidak sampai menyala dan membakar keamanan
masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengancam harta-harta mereka.
Pesan-pesan ayat
Melalui ayat tersebut, paling
tidak ada dua pesan yang bisa kita ambil sebaai ibrat dan pelajaran penting.
1. Azab dan malapetaka adalah
akibat perbuatan manusia
Di antara yang dapat disimpulkan
dari ayat-ayat al-Qur’an dan terutama dari kedua ayat di atas ialah bahwa
problema yang kita hadapi dan malapetaka yang menimpa kita, sebenarnya adalah
hasil dari perbuatan kita juga. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menzalimi
seorang pun.
Misalnya, apabila mayoritas para
pemuda di sebuah masyarakat atau negara tidak merasakan kehidupan yang layak,
bahkan terancam tidak bisa melakukan pernikahan, padahal negara mempunyai
kekayaan yang melimpah, sementara di pihak lain terdapat sekelompok orang yang
hidup dengan bergelimpangan fasilitas mewah, mereka memberikan berbagai
fasilitas wah bernilai milyaran rupiah serta biyaya pernikahan besar kepada
anak-anaknya, maka jika demikian, akan berkembanglah segala keburukan, tindak
kriminal dan ketidakamanan. Dengan demikian jelaslah bahwa penyebab segala
kebrutalan dan keburukan ini adalah karena individu-indibidu masyarakat atau
negara itu sendiri.
Al-Qur’an al-Karim di dalam surat
ar-Rum ayat ke 41 menjelaskan sebagai berikut:
ظَهَرَ الْفَسادُ
فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ بِما كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذيقَهُمْ بَعْضَ الَّذي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ.
”Telah nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)”.
Sungguh benar, bahwa sumber segala bencana dan problema adalah karena ulah manusia
itu sendiri. Seorang ayah yang kerjanya hanya memikirkan bagaimana mengumpulkan
harta serta membangga-banggakannya, ia lupa pada pendidikan anak-anak dan
keluarganya, jika pada masa berikunya ia menemukan berbagai permasalahan amoral
dan malapetaka dari anak-anaknya yang telah menjadi korban NARKOBA, maka janganlah menyalahkan siapapun kecuali
dirinya sendiri, karena dia sendirilah penyebab semua problema yang telah
menimpanya itu.
Salah seorang ulama kota suci Qum
bercerita bahwa pada tahun 1342 HS, yaitu pada masa kekuasaan Reza Pahlevi yang
merupakan boneka Amerika pada saat itu,
pemerintah melakukan penangkapan terhadap sejumlah politikus dan
agamawan. Kemudian mereka dijebloskan ke dalam penjara. Seorang ulama yang termasuk ditangkap dan
ditahan itu berkata, "Selama beberapa hari di dalam penjara, kami
mendengar suara-suara yang menakutkan. Kami menduga bahwa suara-suara itu
adalah akibat dari tekanan yang dilakukan para sipir penjara kepada mereka.
Tetapi dugaan kami itu salah, karena kemudian kami ketahui bahwa suara-suara
itu adalah teriakan-teriakan para pecandu NARKOBA yang ketagihan dan sudah
saatnya untuk mengkonsumsi obat-obat haram dan terlarang tersebut. Namun karena di dalam penjara mereka tidak bisa lagi mendapatkannya, maka
mereka merasakan kesakitan yang sangat dahsyat dan berteriak-teriak secara
histeris dan menakutkan." Tidak diragukan lagi bahwa kondisi ini adalah
akibat dari ulah perbuatan mereka sendiri. Tidak ada yang harus disalahkan,
kecuali diri mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu, para pengguna narkotik itu
menyebarkan kerusakan moral di tengah-tengah masyarakat secara luas dan dengan
leluasa, mereka menawarkan dan menjual narkotik tersebut kepada para pemuda
lainnya sehingga semua pemuda menjadi rusak.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya
para musuh Islam telah menempuh berbagai macam cara untuk menjerumsukan para
pemuda kita ke dalam sebuah perangkap jahat, dan NARKOBA adalah salah satu dari
jalan yang mereka tempuh. Mereka mengetahui bahwa seorang pemuda yang telah
mengkonsumsi dan kecanduan obat-obatan narkotika ini akan kehilangan
kehendaknya, sehingga ia bisa diarahkan kemana saja sesuai yang mereka
inginkan.
2. Apakah kampung itu ada
wujudnya?
Yang dapat dipahami dari ayat
tersebut ialah bahwa kampung yang memiliki empat karakter tersebut benar-benar
ada wujud nyatanya. Karena itu, telah terajdi diskusi dan perbedaan pendapat di
kalangan para mufassir dalam menjawab apa nama kampung tersebut.
Terdapat beberapa kemungkinan
mengenai nama kampung tersebut. Sebagai contoh, di sini saya akan menyebutkan
dua nama saja;
1. Beberapa
mufassir meyakini bahwa kampung yang dimaksud pada ayat tersbut adalah kota
Makkah.[4] Makkah diyakini sebagai perwujudan dari kampung yang aman dan tentram.
Sebagaimana dalam kenyataannya, kota ini dianugerahi berbagai macam kenikmatan,
meskipun beberapa kenikmatan tidak ada di sana, namun sebagian yang tidak ada
itu masih bisa didatangkan dan diinpor dari wilayah dan negara-negara lain yang
memilikinya. Karenanya, ia benar-benar memiliki segala macam kenikmatan.
Ketika Rasulullah Saw berhijrah
dari Makkah menuju Madinah, Makkah pada saat itu dilanda kekeringan selama
tujuh tahun. Malapetaka ini diakibatkan oleh kekufuran penduduknya terhadap
nikmat yang disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada mereka. Kekeringan tersebut
telah mendorong Rasulullah Saw untuk mengirimkan bantuan bahan makanan kepada
mereka dari kota Madinah. Kekeringan ini pun telah menyebabkan hilangnya rasa
aman di dalam kota tersebut.
Sungguh benar, bahwa kufur
terhadap nikmat itu akan diikuti oleh azab Ilahi, dan ini merupakan sunnah
Ilahiyah yang benar-benar terjadi di setiap tempat dan zaman. Setiap kali
kekufuran terhadap nikmati terulang di suatu tempat, maka azab Ilahi pun akan
terulang di tempat tersebut. Tidak terkecuali bencana yang menimpa negara
kita.
2. Sebagian mufassir lain
meyakini bahwa yang dimaksud dengan kota tersebut adalah kota Saba,[5] sebagaimana disebutkan di dalam
surat Saba. Negara Saba adalah negara yang amat makmur. Di sana terdapat sebuah
bendungan bernama Maarib. Dengan adanya bendungan ini, negri Saba berubah
menjadi negri yang gemah ripah loh jinawi, dimana kenikmatan berupa
makanan dan perhiasan melimpah ruah hingga melebihi kebutuhan penduduknya.
Cukup dengan berjalan di jalan-jalannya dan meletakkan wadah di kepala, maka
setelah beberapa saat dengan sendirinya wadah tersebut akan dipenuhi beraneka
macam buah-buahan di pinggiran jaran.
Sesungguhnya kota ini telah
memperoleh berbagai kenikmatan, kenyamanan dan ketentraman. Namun sangat
disayangkan, penduduknya lebih memilih mengkufuri nikmat-nikmat ini dan
meninggalkan syukur kepada Allah Swt. Maka Allah Swt mewahyukan kepada tikus-tikus untuk
menghancurkan kota ini. Tikus-tikus ini menggerogoti bendungan Maarib tersebut
hingga sedikit demi sedikit bendungan ini pun jebol pada malam hari. Airnya
membanjiri seluruh wilayah kota dan menghancurkan jalan-jalan, kebun,
pepohonan, rumah dan apapun yang ada di dalamnya. Kehancurannya mencapai titik
paling parah hingga memaksa penduduknya hijrah ke tempat lain, dan kota
tersebut kini tidak lagi bisa dihuni.
Kita yang hidup pada msa sekarang
ini, secara nyata dan jelas tengah merasakan buah pengkufuran nikmat Allah Swt.
Apabila kita tidak mau memperbaiki hubungan kita dengan Allah Swt, tidak mau
bersyukur, tidak mau bertaubat, tidak mau beribadah secara benar dan tetap
bergelimpangan dalam maksiat, maka kehancuran negara dan masyarakat kita ini
akan semakin parah.
Sebelum perang dunia ke dua,
Eropa merupakan negara yang tenggelam dalam berbagai macam kenikmatan.
Kota-kotanya makmur dan memiliki kemajuan budaya dan tekonologi luar biasa
hebat. Ia memiliki jenis kenikmatan apapun. Namun karena kekufurannya terhadap
nikmat, mereka dilanda perang terbuka yang menelan korban jiwa hampir tigapuluh
juta jiwa, dan tigapuluh juta lainnya terluka. Efek dari perang tersebut adalah
kehancuran sebagian besar wilayah Eropa.
Atas dasar ini, ayat-ayat
tersebut merupakan peringatan kepada kita agar tidak mengkufuri nikmat-nikmat
Allah, baik materil maupun imateril. Kita betul-betul harus mensyukurinya.
Harapan dan doa saya, semoga apa
yang telah kita kaji pada kesempatan pertemuan ini, dapat kita pahami dengan benar
dan dapat pula kita amalkan dengan baik dan ikhlas sehingga bisa membuahkan dan
melahirkan apa yang kita harapkan dan idam-idamkan, yaitu berupa kemanan dan
ketentrama yang sejati dan abadi. [Sumber : ABNA]
_______________________
[1] Istilah qaryah (kampung) dalam
al-Qur`an tidaklah berarti sama dengan kota sekarang. Secara umum ia berarti
sebuah kawasan yang berpenduduk, baik
berbentuk kota besar maupun kota kecil. Istilah qaryah ini dimaksudkan sebagai
ibu kota Mesir pada masa nabi Yusuf a.s.
[2] Bihârul Anwar,
juz 47, hal. 741. dan Nahjul Balaghah, pada Kalimat_Kalimat Ringkas”, kalimat
ke 364.
[3] Ibid,
Nahjul Balaghah, kalimat ke 146.
[4] Lihatlah
Tafsir Majma` al-Bayân, juz 6, hal. 39. dan At-Tibyân, juz 6, hal. 432.
[5] Lihat
tafsir al-Amtsal, juz 8, hal. 311-312.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar